Langkah Taktis Mengatasi Banjir Jakarta

23 January 2013 | 9:34 pm | Dilihat : 763

Dalam beberapa hari sejak Kamis (17/1/2013), banjir membuat masyarakat Jakarta panik, bingung dan resah. Mulai dari rakyat di gang-gang sempit hingga di perumahan mewah di pluit dan beberapa tempat lainnya semuanya menderita karena rumahnya dikepung banjir, barang-barang rusak dan mobil mewahpun terendam. Dalam dua hari banjir, tercatat 14 korban yang meninggal.  Dibandingkan dengan curah hujan dan banjir tahun 2007, banjir pada 2013 ini curah hujannya lebih rendah, tetapi banjirnya lebih hebat dan meluas. Menurut Gubernur DKI Jokowi, kerugian akibat banjir sekitar Rp 20 trilyun. Jelas tidak main-main. Makin hari banjir di Jakarta semakin buruk akibatnya.

Selalu timbul pertanyaan, banjir di Jakarta sebenarnya tanggung jawab siapa? Ya pastinya tanggung jawab Gubernur sebagai pemimpin daerah. Tetapi karena DKI Jakarta adalah Ibukota negara, maka presiden akhirnya ikut bicara. Banjir salah siapa? Yang disalahkan adalah karena adanya kiriman air dari kawasan Bogor dan puncak yang katanya hutannya gundul dan air kemudian berkumpul di Katulampa. Alasan klasik tersebut terus disuarakan setiap banjir. Sebenarnya banjir bisa ditanggulangi seperti di negeri jiran misalnya.

Nah, banjir di awal Januari 2013 ini terbilang sebagai banjir yang paling memalukan. Jalan Thamrin dan bundaran HI yang merupakan  jalan protokol yang selalu dibanggakan menjadi kolam 'butek,' yang menyebabkan beberapa kendaraan mogok. Yang lebih memalukan, Istana presiden juga kebanjiran, sampai presiden turun ke lapangan,  tidak takut gatal karena meninjau banjir di istana dengan bertelanjang kaki.

Tapi dari semua peristiwa banjir yang diberitakan, rakyat dibeberapa pemukiman seperti Kampung Melayu, Bukit Duri, Tanjung Barat dan beberapa kawasan lainnyalah yang paling menderita. Masyarakat mengungsi, ada yang ditenda penampungan, mesjid, sekolah , rumah tetangga dan dibawah jalan tol. Walau pemerintah dan para darmawan menyumbang makanan, tetap saja rakyat menderita, susah. Yang jelas pemerintah daerah tidak atau belum mampu mengantisipasi serangan banjir. Lantas apa saja yang dikerjakan Gubernur yang lalu itu?Kenapa kok banjir makin meluas?Inilah bukti bahwa memang berat mengatasi banjir di Jakarta.

Jokowi, sebelum banjir telah mencoba 'blusukan' untuk membuat rencana mengatasi banjir Jakarta. Rencana tersebut dalam bahasa militer perang adalah pulbaket untuk pembuatan rencana strategis untuk memenangkan perang terhadap musuh, dalam konteks ini mengatasi banjir di Jakarta. Tetapi apakah Jokowi sudah membuat rencana taktis dalam menghadapi serangan banjir yang pasti akan melanda beberapa kawasan di Jakarta? Rencana taktis kalau di militer perlu dibuat untuk memenangkan pertempuran. Kira-kira itulah dasar berfikirnya. Banjir tidak setiap hari terjadi, tetapi ancamannya lebih dahsyat dibandingkan kemacetan, karena juga menyerang sektor perekonomian.

Nah, yang selama ini dibicarakan adalah bagaimana menghadapi banjir tahunan yang siklusnya semakin pendek. Yang sedang dibahas oleh Kementerian PU misalnya dengan meniru Malaysia membuat tunnel, membuat waduk di Depok (yang batal), membuat waduk tandon di Ciawi (sepertinya akan batal juga), walau sudah dapat arahan presiden. Juga membereskan sungai di Jakarta. Yang lebih aneh lagi adanya ide memindahkan Ibukota ke tempat lain. Lantas kalau pindah, misalnya ibukota ke gunung, Jakarta apa tetap diikhlaskan banjir? Mestinya cara berfikirnya tidak demikian. Effort serta resiko psikologisnya akan besar dan berat apabila ibukota dipindahkan. Kadang orang pinter itu sering "sak eling-eling" (seingatnya)  kalau memberi saran.

Lantas, bagaimanakah langkah taktis untuk mengatasi banjir di beberapa kawasan? Banjir tidak terjadi apabila debitnya dalam batas wajar. Maksudnya kalau suatu daerah tidak terendam ya tidak banjir. Apakah banjir bisa diatasi dengan menanam pohon di kawasan Bogor? Atau pembangunan situ (waduk) yang dahulunya berjumlah 14 buah disekitar Jakarta, tetapi kini sudah menjadi perumahan. Atau Pemda memperbaiki gorong-gorong? Atau membereskan bantaran sungai? Semua itu jelas bisa saja dilaksanakan, tetapi yang pasti membutuhkan waktu yang cukup lama, artinya sebelum pekerjaannya selesai, banjir kembali beberapa kali akan menyerang Jakarta.

Nah, sebuah langkah sederhana tetapi bisa menjadi salah satu solusi taktis adalah dengan membuat hujan buatan. Maksudnya sebelum awan pembawa hujan itu berada diatas pulau Jawa atau Bogor, hujan diupayakan dan dikondisikan dijatuhkan di laut Jawa atau Samudera Hindia. Jadi toh kalau hujan jatuh di Bogor atau Jakarta tinggal sisanya saja. Teori ini pernah diutarakan BPPT, tetapi nampaknya kurang mendapat perhatian atau respon, mungkin sulit dibayangkan implementasinya. Penulis pada saat masih bertugas, pernah ikut mempelajari soal hujan buatan ini, dimana TNI AU dilibatkan dalam penyediaan pesawat terbang.

Yang mempunyai teknologi menangani hujan buatan di Indonesia adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dengan pelaksana Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan (UPTHB).  Pelaksanaan hujan buatan dikerjakan dalam operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Penjelasan singkatnya adalah sebagai berikut:

Hujan buatan merupakan sebuah teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan dan mempercepat jatuhnya hujan. Agar bisa terbentuk hujan buatan maka diperlukan ketersediaan awan yang mempunyai kandungan air yang cukup, memiliki kecepatan angin yang rendah, serta syarat-syarat lainnya. Pada musim hujansaat ini maka ketersediaan awan jelas banyak.

Hujan buatan dibuat dengan cara menyemai awan dengan menggunakan bahan yang bersifat higroskopik (menyerap air) sehingga proses pertumbuhan butir-butir hujan di dalam awan akan meningkat dan selanjutnya akan mempercepat terjadinya hujan. Awan yang digunakan untuk membuat hujan buatan adalah jenis awan Cumulus. Setelah lokasi awan ditemukan, pesawat terbang yang membawa garam untuk menurunkan hujan diterbangkan menuju awan.

Untuk bisa membentuk hujan deras, biasanya dibutuhkan bubuk khusus sebanyak 3 ton yang disemai ke awan Cumulus. Potensi hujan buatan, ditentukan kondisi kualitas awan saat itu, karena proses sifatnya mempercepat  hujan. Ketika musim kemarau memang dibutuhkan waktu cukup lama. Sedangkan apabila musim hujan, hanya butuh sekitar lima menit untuk jadi hujan. Sementara biaya operasi hujan buatan, misalnya dalam kasus hujan buatan di Jambi, sekitar Rp 3,5 miliar selama 30 hari., dan hasilnya sukses. Biaya untuk operasi pesawat Casa-200 dan garam NaCl sebanyak 10 ton.

Itulah sekilas tentang langkah taktis dijatuhkannya hujan sebelum memasuki daerah krusial (Bogor dan Jakarta). Dengan tidak jatuhnya hujan di tempat rawan, maka akan berkuranglah debit air yang mengakibatkan banjir di Jakarta. Apakah cukup BPPT menggerakkan hanya satu pesawat? Jelas tidak, Untuk mengamankan Jakarta, paling tidak dibutuhkan paling tidak empat hingga enam pesawat, operasi tersebut bisa juga dilaksanakan gabungan dengan TNI, khusus dalam penggunaan pesawat angkut ringan.

Nah dengan penggabungan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dengan BPPT, Kementerian PU serta Pemda DKI, penulis perkirakan operasi penghindaran (pengurangan)  banjir dalam skala taktis bisa tercapai. Disinilah peran Pemda DKI sebagai inisiator untuk menyelamatkan Jakarta serta rakyatnya. Pemda sebaiknya jangan hanya tergantung kepada Menteri PU saja. Upaya apapun sebaiknya dilakukan untuk mengatasi banjir yang semakin berbahaya. Pemda harus segera bertindak, karena Jakarta adalah ibukota Indonesia. Jadi, atasi dahulu ancaman jangka pendek, baru pikirkan langkah jangka panjang. Kalau memang mau dan berniat, rasanya bisa.

Langkah taktis mengatasi banjir dengan hujan buatan biayanya berkisar sekitar Rp 10-15 miliar hingga musim penhujan selesai. Jauh lebih murah dibandingkan kerugian yang dikatakan Pak Gubernur RP 20 triliun. Kini semua terserah kepada Jokowi, sebagai pertanggung jawaban amanah yang diembannya. Semoga kepemimpinan Gubernur di Jakarta yang didukung masyarakat sukses mengatasi banjir yang sudah makan korban itu, makin lama memutuskan, akan makin banyak yang menderita pastinya.  Disamping itu Gubernur beserta jajarannya tetap  meneruskan langkah dan rencana strategisnya, apa iya kita mesti kalah sama Malaysia dalam mengatasi banjir? Semuanya hanyalah kemauan dan keberanian  dalam mengambil keputusan.

Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

Ilustrasi Gambar : megapolitan.kompas.com

 

This entry was posted in Umum. Bookmark the permalink.