Jokowi Capres? Terlalu Jauh Rasanya

23 September 2012 | 1:01 am | Dilihat : 400

Pada saat Jokowi head to head dengan Foke di putaran kedua Pemilukada DKI Jakarta, dalam sebuah tayangan di media elektronik, Foke menyindir bahwa Jokowi baru sekelas walikota yang posisinya dibawah Gubernur. Nah, begitu Foke terjungkir, dikalahkan Jokowi di partai final, kini media melihat bahwa untuk pilpres 2014 mendatang, besarnya sebuah parpol  atau berkoalisinya beberapa parpol belum tentu  menjamin calon yang diusung  akan menang dalam sebuah pemilihan langsung. Figur Jokowi demikian menonjol, sederhana dan terkesan bersih, dicintai media dan jadilah Jokowi sebagai sampel  pemimpin.

Para pengamat politik menyatakan bahwa pemilukada DKI adalah sebuah penggambaran dinamika politik di Indonesia yang harus menjadi pelajaran dalam persiapan pemilu serta pilpres 2014 nanti. Kompas menegaskan, dari pelajaran pemilukada DKI, parpol harus melakukan upaya tidak hanya dengan menggerakkan mesin partai agar lebih efektif mendulang suara pada Pemilihan Umum 2014, tetapi juga dengan mencari calon alternatif untuk Pemilu 2014.

Demokrasi kebebasan yang semakin membuat masyarakat maju jelas terlihat, pilkada DKI sebagai sebuah contoh kasus. Penduduk kota metropolitan ini memperlihatkan bahwa pendukung Foke-Nara yang terdiri dari gabungan sepuluh parpol (Foke-Nara didukung Partai Demokrat, Golkar, Hanura, PAN, PKB, PBB, PMB, PKNU, PPP, dan PKS) tidak mampu mengatasi daya tarik Jokowi-Ahok yang hanya didukung PDIP dan Gerindra. Kemudian para tokoh parpol seperti biasa setelah kalah, bersahut-sahutan memberi tanggapannya harus begini dan begitu.

Menurut penelitian penulis, faktor figur baik dalam pemilihan Bupati, Walikota, Gubernur hingga presiden masih menempati rangking pertama yang harus diperhitungkan. Sebagai contoh, pada pemilukada Jawa Barat, pada bulan April 2008, pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf mengungguli pasangan Danny Setiawan (Gubernur incumbent)- Mayjen (purn) Iwan Sulandjana dan pasangan Jenderal TNI (purn) Agum Gumelar-Nu'man Abdulhakim (Cawagub). Baca ulasan penulis ; Pelajaran Dari Pilkada Jabar http://ramalanintelijen.net/?p=136.

Pada awalnya pemenang ini dianggap hanya sebagai underdog, penampilannya sangat sederhana. Ahmad Heryawan-Dede Yusuf saat itu diusung PKS dan PAN yang pada Pemilu 2004 di Jawa Barat (Jabar) suara gabungannya adalah 16,77%. Pasangan Agum Gumelar- Nu'man Abdulhakim diusung PDIP, PKB, PPP dengan perolehan suara gabungan sebesar 34,34%. Pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulandjana diusung Partai Golkar dan Demokrat dengan perolehan suara gabungan pada Pemilu 2004 mendapat 35,67% suara. Logikanya pasangan dengan pendukung parpol diatas 30% yang harusnya berkiprah, tapi kenyataannya lain sama sekali.

Dalam pemilihan langsung itu, ternyata pasangan muda Heryawan dan Dede Yusuf yang baru berumur 42 tahun menang. Pertanyaannya mengapa? Pada saat itu ada berita tersiar bahwa incumbent tersangkut masalah korupsi. Nah pukulan citra itu langsung meruntuhkan kedua pasangan senior yang walau didukung parpol besar, dengan prosentase perolehan suaranya lebih besar 100 persen dibandingkan lawan mudanya itu. Heryawan yang anggota DPRD DKI Jakarta serta Dede Yusuf yang artis dan anggota PAN akhirnya menjadi alternatif pilihan masyarakat Jawa Barat. Mereka berdua menjadi figur orang yang dinilai bersih, tidak terkontaminasi dengan korupsi. Masyarakat Jabar terasa jenuh dengan para pembesar dan bekas pembesar itu, yang tampil dengan hebatnya,  karena itulah mereka mencari tokoh alternatif.

Kasus ini juga terjadi di pemilukada DKI Jakarta. Jokowi, yang namanya demikian fenomenal, menjadi tokoh hebat dan bersih dimata publik Jakarta. Semua sebenarnya ulah media dan mungkin kehandalan team suksesnya?. Hingga disebut sebagai media darling. Jokowi, tokoh sederhana, dengan tertawa khasnya gaya Solo, yang gajihnya kabarnya tidak diambil, sering turun ke kampung, dengan salam tiga jarinya, serta baju kotak-kotak akhirnya menjadi ikon media, layak dijual. Ini yang membuat banyak pemilih muda Jakarta menjadi pendukung fanatisnya. Menanglah Mas Jokowi sebagai tokoh alternatif. Sangat terasa penduduk Jakarta pada umumnya sudah agak bosan dengan Foke, tidak merasakan kemajuan selama dia memimpin, katanya begitu.

Salah satu  isu yang tersebar saat kampanye adalah serangan ke kubu Jokowi-Ahok, apabila menang dan dia menjadi Gubernur DKI, sukses memimpin Jakarta selama dua tahun, Jokowi  akan maju pada pilpres 2014. Kemudian Ahok-lah yang akan menjadi Gubernur DKI. Isu tersebut ditujukan untuk mengangkat inkonsistensi Jokowi sekaligus mengangkat sentimen anti cina. Hantaman isu ternyata tidak merusak dan meruntuhkan citra keduanya, masyarakat sudah demikian fanatis dengan harapan perubahan yang akan dilakukan Jokowi di Jakarta dengan sampel kecilnya kota Solo. Terbentuknya harapan dan perubahan itulah kekuatan Jokowi, dengan segala bukti, apa yang telah dikerjakannya di Solo.

Lantas, bagaimana kalau Jokowi akan coba dimainkan sebagai capres atau cawapres pada 2014. Menurut penulis, parpol pengusungnya dipastikan PDIP dan mungkin dengan Gerindra. Dengan siapa dia akan maju? Sebagai capres kok rasanya berat, Jokowi harus bersaing di internal PDIP dengan Ratu Banteng Megawati yang menurut penulis sebagai salah satu calon terkuat yang akan memenangkan pilpres 2014. Baca ulasan penulis "Ramalan Intelijen dan Ramalan Jayabaya Presiden 2014"http://ramalanintelijen.net/?p=4315. Selain itu pilpres jauh berbeda dibandingkan dengan pilgub, capres siapapun dia harus menjadi patron dahulu, dengan dasar pemikiran masyarakat Indonesia masih kental budaya paternalistiknya.

Atau mungkin sebagai cawapres? Siapa yang akan menjadi capresnya? Apakah dengan Mega atau mungkin dengan Prabowo? Ini masih mungkin, karena Mega dan Prabowo berpeluang menjadi capres dan belum didapat gambaran calon alternatif cawapresnya. Sebuah catatan penulis, apabila kemudian Jokowi maju sebagai cawapres, publik akan menjadi kurang respek kepadanya. Penurunan respek tersebut akan menular ke masyarakat lainnya, dan ini akan menjadi isu buruk yang bisa dimainkan lawan politiknya untuk menyerangnya. Jokowi justru bisa menjadi kartu mati bagi pasangannya.

Peningkatan karir politik seorang warga negara ataupun politisi memang sah-sah saja dalam panggung politik di Indonesia. Demikian juga dengan Jokowi sebagaimana dia meningkatkan karir politiknya kali ini. Tetapi ada yang sebaiknya dijaga oleh Jokowi apabila dia berfikir akan maju atau dimajukan parpol atau siapapun ketingkat nasional, dengan segala macam alasannya. Nilai itu adalah kehormatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Apabila rasa hormatnya terhadap jabatan itu dia hilangkan karena ditinggalkannya untuk sebuah karir atau apapun bentuk ulah politiknya, maka masyarakat akan tidak menghormatinya lagi. Langkah ini menurut penulis justru bisa menjadi blunder politiknya. Jakarta dan Jokowi akan sama-sama merugi, kira-kira begitulah.

Karena itu, walaupun pilpres masih tersisa dua tahun lagi, rasanya terlalu jauh apabila Jokowi akan menjadi/dijadikan capres ataupun cawapres pada 2014. Sudah Mas, mari  fokus benahi Jakarta agar menjadi kota yang nyaman, aman dan bermanfaat untuk kita tempati. Kesuksesan anda dalam lima tahun  akan diukir dengan tinta emas, jauh melebihi kehebatan pendahulu-pendahulu anda itu. Dalam lautan dapat diukur, dalam hati siapa yang tahu, begitu bukan?. Semoga berhasil dan sukses memimpin Jakarta Mas Jokowi, Aamiin. Salam dari anak Kemayoran.

Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

Ilustrasi Gambar : nasional.kompas.com

 

 

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.