Doktor Hendro, Noordin Dan Osama
29 July 2009 | 12:13 pm | Dilihat : 190
Hendro yang dimaksud adalah Jenderal TNI (Purn) Dr AM Hendropriyono mantan Kepala Badan Intelijen Negara. Sosok pria yang kental dengan aksen betawi ini dilahirkan 7 Mei 1945 di Yogya, alumnus AMN Magelang tahun 1967. Penulis mengenal Pak Hendro sebagai seorang senior yang "smart," ramah, ulet, ceplas-ceplos tapi serius. Beliau adalah sosok penggila ilmu, belajar dengan tekun dan cerdas. Penampilannya selalu netjis, dengan rambut dan pakaian yang rapih dan licin. Bertemu, berbicara dan berdiskusi dengan beliau adalah bagian yang menyenangkan. Pengetahuannya luas, tapi pengutaraannya tidak muluk-muluk, langsung dengan bahasa yang mudah difahami. Mantan anggota pasukan elit Kopassus ini pernah menjabat sebagai Menteri, jabatan terakhirnya sebagai Kepala BIN.
Pada hari Sabtu (25/7) Pak Hendro yang nama lengkapnya Ir. Abdullah Mahmud Hendropriyono, S.H., S.E., M.B.A., M.A., berhasil meraih gelar doktor dari UGM dengan predikat cumlaude. Hendropriyono berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul 'Terorisme dalam Filsafat Analitika; Relevansinya dengan Ketahanan Nasional.' Prof. Dr. Kaelan selaku promotor mengatakan proses pengerjaan penelitiannya, penulisan disertasi promovenduz sangat mendukung dengan pengangkatan tema terorisme. Dalam disertasinya, Hendropriyono menyebutkan bahwa terorisme adalah suatu fenomena sosial yang sulit untuk dimengerti, bahkan oleh para teroris sendiri. Menurutnya, taktik dan teknik teroris terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan strateginya berkembang seiring dengan keyakinan ontologis atas ideologi atau filsafat yang menjadi motifnya.
Lebih jauh, Hendro menjelaskan bahwa para teroris menggunakan pembenaran epistemologis sendiri dan menafsirkan ideologi-ideologi serta ungkapan kebenaran dengan cara melakukan manipulasi makna. “Manipulasi ungkapan bahasa kebenaran tersebut kerap kali bersumber dari kaidah-kaidah agama, yang ditafsirkan dan dimanipulasikan dengan ungkapan bahasa. Hal tersebut dijadikan dasar pembenaran bagi segala tindakannya yang revolusioner dan dramatis,” terangnya. Yang menarik Hendropriyono menyampaikan bahwa “Aktif atau pasifnya kegiatan terorisme yang timbul tenggelam, tergantung kepada kondusif atau tidaknya lingkungan masyarakat yang menjadi habitat hidupnya. Fundamentalis atau aliran keras 'wahabisme' merupakan lingkungan yang paling kondusif bagi terorisme. Aliran tersebut sudah mulai menginfiltrasi sebagian pikiran umat Islam Indonesia.”
Dengan gelar Doktor tersebut, maka Hendro dapat dikatakan telah menjadi seorang pakar dalam masalah terorisme, lengkap dengan penelitiannya, pendidikan dan pengalaman jabatan. Bagaimana pandangannya dalam serangan bom di kawasan Mega Kuningan baru-baru ini? Hendro mengatakan bahwa Jamaah Islamiyah (JI), walau sering terlibat dalam aksi teror, kini telah kocar-kacir. Noordin M Top, gembong teroris asal Malaysia itu, saat ini lebih mencantol kepada teroris internasional Al-Qaeda dibawah kepemimpinan Osama Bin Laden (RM 28/7). Sejak awal Noordin menginginkan agar JI berhubungan langsung dengan Al-Qaeda. Noordin sulit ditangkap karena secara tidak langsung mendapat perlindungan Al-Qaeda. Dan juga didukung oleh sebagian masyarakat kita yang memberi ruang hidup kepada teroris untuk hidup, mencari makan dan numpang hidup. Walaupun gerak Noordin tidak dibawah organisasi JI yang solid, perekrutan agen bisa dilakukannya terus dengan sangat efektif.
Hendropriyono menjelaskan bahwa orang mau disuruh melakukan bom bunuh diri, karena soal keyakinan dan cinta, cinta kepada pemimpinnya. Persoalan ekonomi bukan yang utama orang mau jadi teroris, toh Osama yang kaya juga mau jadi teroris, katanya. "Ingat biaya melakukan teror dengan bom juga nggak mahal. Paling hanya 1.400 dollar, dana ini sangat mudah dikirim Al-Qaeda." Kita semua harus waspada, karena mereka bisa saja terus mengembangkan aksinya sesuai dengan kecanggihan teknologi.
Terkait adanya penilaian lemahnya BIN dalam mengantisipasi teror, dikatakannya, kita mestinya iri dengan negara-negara lain seperti Malaysia dalam mengatasi teror. Malaysia memiliki ISA (Internal Security Act) yang memberi kewenangan bagi lembaga intelijen untuk menangkap orang yang dicurigai akan melakukan teror. "Di Indonesia intelijen tidak boleh menangkap, menyentuh saja dilarang," katanya. Dalam masalah ini Hendro mengusulkan agar segera dibuatkan UU Intelijen yang salah satunya mengatur instrumen ISA seperti Malaysia. Apabila masyarakat khawatir disalah gunakan, untuk menangkap orang, Hendropriyono menyarankan dibuatkan satu ayat, kalau disalah gunakan untuk menangkap orang asal-asalan, maka gantian yang nangkap akan ditangkap. Intinya kini dibutuhkan UU Intelijen agar supaya jelas apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Nah, kini bagaimana dengan pendapat anda? Ancaman teror jelas semakin berbahaya, nampaknya kita akan terus menghadapi kegiatan teroris internasional Al-Qaeda yang bermusuhan dengan AS, tetapi numpang perangnya disini. Kita yang repot bukan?. Teroris hanya bisa ditangkap, tetapi bukan berarti kita bisa menghapus terorisme. Menurut Hendro, ini adalah paham Global, otaknya di luar negeri. Kita sebaiknya berangkat dari UU Intelijen dahulu, jangan alergi, jaman kini adalah jaman keterbukaan. Sehingga kitapun sebagai masyarakat bisa ikut mengontrol. Tapi entahlah bagaimana alam pikiran kita, alergi sama UU Intelijen atau alergi sama bom bunuh diri...terserah deh. Sebagai penutup, penulis menyampaikan kepada senior yang satu ini...Selamat Pak Hendro atas keberhasilannya meraih gelar Doktor, salam hangat selalu. Walau kita sudah diluar sistem, kita sepakat tetap berbakti kepada bangsa dan negara ini..."Old Soldier Never Die, They Just Fade Away."
PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana
Sumber: http://umum.kompasiana.com/2009/07/29/doktor-hendro-noordin-dan-osama/ (Dibaca: 1517 kali)