PDIP Harus Lebih Cermat Menyikapi Perkembangan Politik
18 July 2014 | 1:30 am | Dilihat : 472
Megawati dan Pengurus PDIP (foto: politik.news.viva.co.id)
Bangsa Indonesia harus bersyukur, pelaksanaan pemilu presiden pada tanggal 9 Juli 2014 telah berjalan dengan tertib dan aman. Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan, "Optimis partisipasi pemilih akan lebih dari 75%, karena partisipasi di Malaysia, Singapura, Hong Kong, Taiwan sangat signifikan. Berkisar 2-4 kali lipat," jelasnya kepada wartawan di TPS 12, Pejaten, Jakarta, (9/7/2014). Maka, dia yakin partisipasi pemilih di dalam negeri juga akan terkerek menembus partisipasi pemilih pada Pileg lalu. Seperti yang diketahui, tingkat golput pada pileg lalu mencapai 25% dari total jumlah pemilih tetap.
Data KPU menyebutkan, Jumlah DPT Pilpres 2014 dalam negeri ialah laki-laki 94.301.112, perempuan 93.967.311, jumlah total 188.268.423. Sedangkan untuk DPT dari luar negeri, laki-laki 919.687, perempuan 1.119.024, jumlah total 2.038.711. Jumlah total DPT keseluruhan, laki-laki 95.220.799, perempuan 95.086.335. Jumlah total DPT Pilpres 2014 190.307.134
Dari data KPU, pada pilpres 2009, Golput tercatat sebanyak 49.212.158 orang atau 27,77% dari total jumlah pemilih yang berjumlah 177.195.786. KPU mencatat, jumlah pemilih yang menggunakan haknya dalam Pilpres 8 Juli 2009 yaitu 127.999.965 orang atau 72,24%, dan sisanya sekitar 27,77% (49.212.158) orang tidak menggunakan haknya. Sementara dari jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya, suara sah tercatat sebanyak 121.504.481 dan suara tidak sah 6.479.174.
Meningkatnya jumlah pemilih, terutama disebabkan karena hanya ada dua yang tampil untuk dipilih. Karena itu maka para pendukung dan simpatisan kemudian berbondong-bondong menuju bilik suara hanya ingin mendukung jagonya agar menang. Sederhana memang, itulah yang menarik dari konstituen di Indonesia.
Setelah pilpres kemudian dilakukan penghitungan quick count oleh beberapa lembaga survei, yang kemudian menjadi ricuh karena kesimpulan akhirnya berbeda. Dan dinamika terus bergerak aktif, saat KPU melakukan real count, penghitungan manual yang sifatnya transparan. Bersamaan itu pula ada warga yang ikut melakukan penghitungan dengan melibatkan relawan. Walau dinyatakan mereka bukan resmi, tetapi banyak yang kemudian percaya, sehingga terjadi perang antara hacker dan cracker, beberapa situs menjadi down.
Karena transparansi dan diawasi dengan ketat, sebaiknya kita percayai Komisi Pemilihan Umum yang sudah diwanti-wanti (dipesan) agar jangan curang. Bahkan presiden menyarankan agar KPU mengajak kedua kubu langsung mengawasinya. Kalau kita sudah tidak percaya kepada KPU lantas kita percaya dengan siapa lagi ? Husin Kamil jelas takut main-main, mau digantung orang banyak apa? Begitulah kira-kira.
PDIP Harus Cermat
Pada tahun 2011 penulis membuat artikel di blog pribadi, dengan judul "Ramalan Intelijen dan Ramalan Jayabaya Presiden 2014", http://ramalanintelijen.net/?p=4315, dimana kesimpulannya penulis menyimpulkan bahwa Presiden RI 2014 adalah Ibu Megawati. Kemudian penulis sempat bertemu Bu Mega dan menyampaikan mengapa menulis dengan kesimpulan dan fakta-fakta pendukung. Ibu Mega mengatakan tetapi ada "faktor X" yang membuat beliau tidak jadi presiden. Nah saat ditanya apakah penulis tahu? Penulis mengatakan kepada Ratu Banteng (penulis menyebutnya begitu), bahwa faktor 'X' adalah apabila Ibu Mega tidak dicalonkan menjadi capres PDIP.
Ternyata kemudian PDIP setelah melalui dua periode (10 tahun), pada pemilu 2014 menjadi parpol terunggul (18,95 persen), juara dua Golkar (14,75 persen), ketiga Gerindra (11,81 persen), keempat dan seterusnya, Demokrat (10,19 persen), PKB (9,04 persen), PAN (7,59 persen), PKS (6,79 persen), NasDem (6,72 persen), PPP (6,53 persen), Hanura (5,26 persen), PBB (1,46 persen), PKPI (0,91 persen).
Penulis mengikuti perkembangan PDIP dalam dinamika dan kecerdikan politik yang dalam beberapa keputusan strateginya kalau boleh dikatakan kurang cerdik. Sebagai contoh, setelah Presiden Soeharto dipaksa mundur pada 21 Mei 1998, maka Wapres Habibie menjadi presiden. Kemudian dilaksanakan pemilu pada tahun 1999 diikuti 48 parpol, dimana PDIP berhasil mendapat dukungan spektakuler (33,74 persen), Golkar (23,44 persen), PKB (12,61 persen), PPP (10,71 persen), PAN (7,12 persen), 43 parpol lainnya dibawah 2 persen. Yang terjadi, karena MPR yang memilih presiden, Megawati sebagai Ketua Umum PDIP kalah dalam voting, yang menjadi presiden adalah Gus Dur dengan dukungan poros tengah.
Penulis kemudian banyak mendapat informasi dari Bapak Matori Abdul Djalil (Alm) saat menjadi Menhan (penulis sebagai penasihat intelijen), bahwa setelah kalah, para politisi PDIP mutung (tidak mau mencalonkan Bu Mega dalam pemilihan Wapres), akhirnya Pak Matori pasang badan sebagai Ketua Umum PKB mencalonkan Bu Mega. Para anggota PKB walk out, tetapi Pak Matori "kekeuh" bertahan, menang dan jadilah Bu Mega menjadi Wapres. Ternyata Pak Matori benar, karena kemudian Gus Dur dilengserkan (juga oleh bekas pendukungnya), dan Ibu Mega otomatis menjadi presiden.
Pada pemilu 2004 yang diikuti 24 parpol, Golkar (21,58 persen), PDIP (18,53 persen) dan PKB (10,57 persen), PPP (8,15 persen), Partai Demokrat (7,45 persen), PKS (7,34 persen), PAN (6,44 persen), sementara 17 parpol hanya mendapat suara dibawah 2,62 persen. Dari perolehan suara, terlihat para elit PDIP tidak berhasi mempertahankan keunggulan suaranya dari pemilu 1999 (33,74 persen) turun pada pemilu 2004 (18,53 persen). Kondisi saat itu Ketua Umumnya menjadi presiden. Disinilah nampak bahwa manajemen serta kecerdikan elit PDIP sangat lemah apapun alasannya.
Apabila disimak pada pilpres 2004, pada putaran pertama yang diikuti lima pasang calon, jago PDIP (Megawati-Hasyim Muzadi) mendapat suara 26,61 persen, sementara pasangan SBY-JK (33,57 persen). Pada putara kedua SBY-JK mendapat 60,62 persen, Mega-Hasyim 39,38 persen. Sebagai pimpinan koalisi, elit PDIP gagal memenangkan jagonya. Pasangan Mega-Hasyim hanya mendapat tambahan 12, 77 persen, sementara pasangan SBY-JK mendapat tambahan suara 27,05 persen.
Apabila dilihat pada pemilu 2009 yang diikuti 44 parpol, Partai Demokrat (20,85 persen), Golkar (14,45 persen), PDIP (14,03 persen), PKS (7,88 persen), PAN (6,01 persen), PPP (5,32 persen), PKB (4,94 persen), Gerindra (4,46 persen), Hanura (3,77 persen), sementara 35 parpol lainnya dibawah 1,79 persen. Perolehan suara PDIP terus merosot dibandingkan perolehan pemilu 2004, turun 4,5 persen. Pada pilpres 2009, pasangan SBY-JK unggul (60,80 persen), Megawati-Prabowo (26,79 persen) dan JK-Wiranto (12,41 persen).
Dari data tersebut terlihat bahwa perolehan suara PDIP merosot 4,5 persen, tetapi Bu Mega mampu tampil sebagai capres pemenang kedua dengan dukungan 26,79 persen, suaranya stabil (26,61 persen pada pilpres 2004). Dengan demikian maka penulis menyimpulkan bahwa kharisma Megawati lebih besar dibandingkan upaya elitnya.
Bagaimana dengan pemilu dan pilpres 2014? Pada pemilu 2014 PDIP mampu bangkit menjadi parpol terunggul (18,95 persen), juara dua Golkar (14,75 persen), ketiga Gerindra (11,81 persen), keempat Demokrat (10,19 persen), PKB (9,04 persen), PAN (7,59 persen), PKS (6,79 persen), NasDem (6,72 persen), PPP (6,53 persen), Hanura (5,26 persen), PBB (1,46 persen), PKPI (0,91 persen). PDIP kembali bangkit karena menjadi parpol yang tidak terkontaminasi/terindikasi korupsi, demikian juga dengan Gerindra, sehingga keduanya mendapat dukungan cukup kuat. Ironisnya kemudian PDIP yang pada pilpres berkoalisi dengan Gerindra, kini harus head to head dalam pilpres.
PDIP membangun koalisi kecil dengan keyakinan capresnya elektabilitasnya tinggi. PDIP hanya berkoalisi dengan NarDem, PKB dan Hanura serta PKPI. Sementara Gerindra didukung tujuh parpol. PDIP menyatakan berkoalisi tanpa janji ikatan, tuntutan apapun. Nah, yang terjadi, menjelang pemilu 9 Juli 2014, koalisi merah putih melakukan langkah politis, melakukan Perubahan UU MD3 yang memuat perubahan tata cara pemilihan Ketua DPR, dimana dalam rapat paripurna, koalisi merah pimpinan PDIP kalah, walaupun walk out.
Maka menanglah koalisi pimpinan Gerindra. Menurut ketua sidang, Prio Budi Santoso, dari opsi yang disepakati dalam rapat tersebut, nantinya, anggota DPR akan memilih sendiri pimpinan mereka lewat paket pimpinan DPR yang diajukan. Paket tersebut berisi Ketua DPR dan empat Wakil Ketua DPR.
Dari kasus sidang MD3, nampaknya elit PDIP harus lebih cermat dalam menyikapi dinamika politik yang terjadi. Kasus MD3 adalah contoh betapa lemahnya PDIP apabila tanpa dukungan mayoritas di DPR sebagai the rulling party. Apabila nanti jago PDIP (Jokowi- JK) menang misalnya, nampaknya para elit politik PDIP sebagai pimpinan koalisi harus melakukan pemeriksaan kasus seperti yang penulis sampaikan diatas. Dalam sistem demokrasi kita tidak bisa hanya mengandalkan rakyat belaka. Tetapi kecerdikan politis harus dilaksanakan dan selalu diukur, ada sistem yang sudah tertata.
Jangan terlalu terpaku dengan keyakinan bahwa apabila nanti Jokowi menang misalnya, lantas beberapa parpol akan pindah koalisi. Belum tentu juga. Bangga boleh, tetapi para elitnya sebaiknya jangan bersikap arogan. Wilayah politik adalah wilayah bekerjasama dengan baik. Diakui bahwa ada elit yang hanya berfikir oportunis, kepentingan diatas segala-galanya. Yang terpenting adalah bagaimana membangun koalisi di DPR, dengan maksud bekerja bersama demi bangsa dan negara.
Bukan waktunya lagi menang-menangan, tetapi waktunya berfikir bersama menuju Indonesia yang aman, adil makmur. Itulah yang penulis bisa sampaikan, semoga disadari bahwa Megawati lebih besar dari PDIP, seperti SBY yang jauh lebih besar dari Partai Demokrat. Harus diakui sejak 1999 ada kegagalan elitnya yang sebaiknya menjadi pelajaran untuk lebih maju. Apakah begitu? Hanya para elit itu yang tahu. Penulis hanya mencoba mengamati saja.
Oleh : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net