Sulit Menaklukan Jokowi, Prediksi Pilpres Satu Putaran

3 May 2014 | 11:59 pm | Dilihat : 2703

Joko-Widodo-Megawati-

Jokowi dan Bu Mega (sumber foto : solopos.com)

Sesuai dengan peraturan KPU tentang tahapan pemilihan umum presiden beserta tahapannya yang tertuang dalam PKPU 4/2014, pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden dibuka  dari tanggal 18 sampai 20 Mei 2014. Ini berarti tanggal 20 Mei adalah batas akhir pendaftaran.

Setelah pelaksanaan pemilu legislatif dilaksanakan pada tanggal9 April 2014, walau hasilnya belum secara resmi diumumkan oleh KPU, beberapa lembaga survei telah mengeluarkan hasil sementara perolehan suara.   Lembaga Survei Indo Barometer mengamati hasil quick count Pemilu 2014 dan dari data yang masuk, setelah dianalisis dibuat perkiraan perolehan kursi dari 10 parpol yang lolos ke Senayan.

Jumlah kursi tiap parpol sangat berarti sebagai syarat 20 persen dari total 560 total kursi di DPR, untuk pengajuan pasangan capres dan cawapres. Disamping itu bisa juga parpol atau koalisi parpol mengajukan calon pasangannya apabila perolehan suara nasional mencapai 25 persen. Ternyata pemilu kini tidak ada yang mencapai 25 persen.

Kini hitung menghitung jumlah kursi menjadi penting bagi masing-masing parpol, sebagai kekuatan dan nilai tawar dalam membangun koalisi dan menentukan siapa pemimpin koalisi.

Indo Barometer mengeluarkan perhitungan berdasarkan quick count, dengan perkiraan perolehan kursi masing-masing parpol. PDIP adalah parpol terunggul yang sukses mendulang 19 persen suara nasional (SN), diperkirakan akan mendapat plus minus 109 kursi, selanjutnya Partai Golkar (14,30 persen SN, 83 kursi), Partai Gerindra (11,81 persen SN, 67 kursi), Partai Demokrat (9,61 persen SN, 57 kursi), PKB (9,19 persen, 51 kursi), PAN (7,50 persen SN, 44 kursi), PKS (6,90 persen SN, 40 kursi), Partai Nasdem (6,91 persen SN, 39 kursi), PPP (6,68 persen SN, 39 kursi) dan Hanura (5,49 persen, 31 kursi).

Nah berdasarkan perkiraan sementara perolehan kursi tersebut, maka mulailah gerilya, upaya dan lobi politik untuk membangun koalisi, karena tidak satupun yang berpeluang mengajukan sendiri pasangan capres dan cawapresnya. Ditengah-tengah masuknya informasi kecurangan suara, maka sebuah parpol tidak bisa hanya berkutat pada masalah itu. Yang terpenting bagaimana membangun koalisi agar persyaratan pengajuan jagonya bisa memenuhi syarat dan mendapat boarding pass.

Dalam sebuah pemilu presiden, maka calon menjadi bagian penting, karena seberapa besarnya sebuah koalisi, apabila calonnya tidak populer, tidak disukai rakyat ya parcuma (bahasa Ambon dari kata percuma). Sebagai contoh saat pemilihan cagub DKI Jakarta, Jokowi yang hanya didukung PDIP dan Gerindra ternyata berhasil mengungguli pasangan incumbent Foke dan Nara yang didukung demikian banyak parpol. Jadi dalam sebuah pemilihan baik kepala daerah maupun presiden, maka ketokohan, kesukaan dan kepercayaan masyarakat kepada si calon jauh lebih penting nilainya dibandingkan suara parpol.

Penulis melihat bahwa pada pemilu presiden tahun 2014 mendatang, kunci kemenangan akan berada pada tokoh-tokoh yang sudah dimunculkan itu. PDIP menurunkan Jokowi, Gerindra Prabowo, Golkar mengusung Aburizal Bakrie, sementara Partai Demokrat belum memastikan mengusung calonnya, ada gambaran kemungkinan Pramono Edhie Wibowo.

Dari tiga partai PDIP, Golkar dan Gerindra, baru PDIP yang nampaknya memiliki boarding pass, suara PDIP (109 kursi) ditambah dengan Nasdem (39 kursi) sudah 148 kursi, memenuhi kebutuhan syarat  112 kursi. Terlebih kini PKB sebagai partai yang disukai parpol jangkar, nampaknya cukup pintar merapat ke PDIP meninggalkan Demokrat. Belum lagi second layer politisi PPP nampaknya juga akan ke PDIP. Nah Jokowi sebagai capres PDIP kini menjadi orang pertama yang sudah yakin akan dapat mendaftarkan diri sebagai capres karena syaratnya sudah terpenuhi.

Bagaimana dengan Golkar dan Aburizal Bakrie (ARB)? Parpol kawakan ini kini justru mengalami degradasi kepercayaan  terhadap ARB sebagai capres Golkar. Beberapa elitnya menyarankan agar ARB melakukan down grade, hanya menjadi capres saja. Ada juga faksi yang menginginkan agar kader lainnya saja yang di cawapreskan. Entah apa yang terjadi di internal Golkar. Dengan perolehan 83 kursi, elit Golkar justru tidak percaya kepada Ical.

Mungkin mereka percaya kepada survey bahwa elektabilitas Ical di bawah Jokowi dan Prabowo, sehingga peluang menangnya kecil, seperti yang terjadi pada tahun 2009, pasangan JK-Wiranto hanya berada di posisi ketiga. Kini, alih-alih memperjuangkan kesepakatan pencapresan, justru mereka  ribut sendiri, sepertinya ada pemikiran yang salah di internalnya. Kepentingan individu dan faksi serta pragmatisme lebih menonjol dibandingkan dengan sasaran besarnya. Apabila Hanura ditarik Golkar berhasil menjadi mitra koalisi, maka gabungan keduanya akan berjumlah sekitar 114 kursi,  minim tetapi bisa mengajukan ARB. Persoalannya siapa cawapresnya, walau bisa saja Wiranto kembali sebagai cawapres Golkar seperti pilpres 2009.

Bagaimana dengan Prabowo? Kini  Partai Gerindra nampaknya baru akan mendapat partner PKS, dan menurut perkiraan Indo Barometer gabungan keduanya masih belum aman, karena sementara baru 107 kursi. Prabowo nampaknya gagal mendapat dukungan PPP melalui Ketum Surya Darma Ali, karena di boikot second layer-nya (Sekjen PPP, Wakil Ketum dan sebagian pengurus DPW). Lantas siapa cawapres Prabowo?

Tokoh yang  dilirik Prabowo dan menonjol sebagai cawapres serta mempunyai gerbong suara dan kursi adalah Hatta Rajasa (PAN, 44 kursi), apabila PAN bergabung dan Hatta Rajasa menjadi cawapresnya, maka Prabowo akan aman mempunyai kursi koalisi sekitar 151 kursi. Masalahnya, apabila Partai Demokrat akan membangun koalisi keempat, nampaknya Hatta akan sungkan meninggalkan SBY sebagai besannya.

Disinilah Prabowo akan menjumpai masalah, belum mempunyai cawapresnya serta parpol penguat koalisi. Mungkin Hanura mulai di dekati sebagai sesama mantan militer. Tetapi chemistry Hanura akan lebih berat ke Golkar dibandingkan ke Gerindra. Prabowo nampaknya harus berjuang keras paling tidak untuk menarik PPP tetap berkoalisi, atau langkah ekstrim mendekati Demokrat.

Bagaimana dengan Partai Demokrat? Ada dua alternatif bagi Demokrat. Pertama membangun koalisi keempat dan mendudukkan capres peserta konvensinya sebagai capresnya. Dengan perolehan kursi sementara 57 kursi, apabila PAN tetap bersama, maka baru akan tercapai 101 kursi, masih dibutuhkan 11 kursi lagi. Partai yang belum menentukan gambaran hanya Hanura (31 kursi). Akan tetapi dari pengalaman pemilu yang lalu, Hanura juga bukan merupakan pasangan Demokrat. Peluang lainnya adalah PPP, tetapi nampaknya agak sulit. Karena itu Demokrat masih di posisi rawan. Peluang lainnya berkoalisi dengan Gerindra.  Tanpa berkoalisi, Demokrat akan menjadi oposisi nampaknya.

Jadi koalisi parpol sementara ini menjadi penting hanya untuk mendapatkan boarding pass belaka. Parpol yang sudah mulai memikirkan koalisi di parlemen nampaknya baru PDIP. Bu Mega serta Jokowi tidak ingin ada perjanjian bagi-bagi jatah kursi, karena akan menyusun kabinet profesional. Nasdem serta PKB sudah menyetujuinya. Sementara Golkar menyatakan akan tetap maju sendiri, tetapi menyatakan akan berkoalisi nanti di parlemen. Golkar sudah pernah menyatakan kepada Jokowi, bahwa apabila kalah dalam pilpres, mereka akan bergabung dalam gerbong koalisi PDIP di parleman.

Gerindra menjumpai dua masalah, pertama  harus melengkapi kursi koalisi untuk mengajukan Prabowo, dan kedua belum mendapat cawapres potensial. Sementara Partai Golkar yang belum pernah berpengalaman sebagai oposisi, jelas tetap akan mengajukan capresnya sendiri, kecuali ARB dilengserkan sebagai ketua umum, peta koalisi bisa berubah sewaktu-waktu.

Dengan peta kekuatan Jokowi sebagai capres, yang penulis prediksi "the Jokowi Lover" bisa berkisar diatas 50 persen pada saat pilpres. Menurut penulis, calon presiden nilainya jauh lebih penting dalam sebuah pemilu presiden dibandingkan koalisi  parpol menjelang pilpres. Pada pilpres 2004, dengan hanya bermodalkan 7,45 persen suara nasional, Pak SBY berhasil menjadi Presiden RI. Mengapa? Karena momentumnya tepat, munculnya suasana kebatinan rakyat yang memimpikan perubahan, kagum dengan sosok jenderal yang gagah dan memberi harapan untuk masa depan.

Pada pilpres 2014, menurut penulis, keinginan rakyat akan kembali merefleksikan seperti keinginan rakyat pada pilpres 2004. Intinya rakyat menginginkan perubahan. Apa yang paling diinginkan dan di gandrungi rakyat? Era demokrasi telah mencerdaskan rakyat, mereka membutuhkan presiden yang berasal dari rakyat, jujur dan mau bekerja. Bukan presiden hebat tetapi hanya duduk di sangkar dan mobil mewah, melihat kesulitan mereka dari jauh. Pemberantasan korupsi tanpa disadari telah membentuk rakyat, mereka anti dan membenci korupsi. Rakyat telah cukup disuguhi tontonan penangkapan koruptor. Korupsi terjadi di kalangan Eksekutif, Legislatif dan terakhir justru di pucuk pimpinan Yudikatif yang dianggap dewa keadilan.

Karena itu maka akan sulit melawan Jokowi pada pilpres tanggal 9 Juli 2014 nanti, konstituen lawan politik Jokowi akan banyak yang berpihak kepadanya. Memang kini mulai bertebaran black campaign dan negative campaign menyerang Jokowi, tetapi opini  telah terbentuk. Itulah tadi dasarnya, rakyat semakin cerdas, mereka sulit dipengaruhi. Opini telah membentuk rakyat, yang menurut ilmu intelijen, rakyat telah diberikan kesempatan berfikir dan mereka dibiarkan memutuskan. Jadi itulah kondisinya, tanpa mengurangi rasa hormat kepada Prabowo, Bang Ical, prediksi penulis pilpres hanya akan berlangsung satu putaran saja.

Penulis : Marsda (Pur) Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

Artikel terkait :

-Antara PDIP, Keberanian Jokowi dan Jenderal (Purn) Ryamizard,  http://ramalanintelijen.net/?p=8285

-Antara MH370, Cawapres Militer Jokowi dan Purnawirawan TNI AU,  http://ramalanintelijen.net/?p=8275

-Antara Ramalan Intelijen Presiden 2014 dan Jokowi,  http://ramalanintelijen.net/?p=8218

-Jokowi Akan Dijadikan Musuh Bersama,  http://ramalanintelijen.net/?p=7601

-Numpang Populer atau Menyerang Jokowi, Strategi yang Salah,  http://ramalanintelijen.net/?p=7668

-Prabowo masih Harus Kerja Keras untuk bisa Maju,  http://ramalanintelijen.net/?p=8251

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.