Kabin; Ada Pihak Ketiga Bermain di Tolikara

24 July 2015 | 7:53 am | Dilihat : 1079

peringati-hut-papua-merdeka-10-kota-di-australia-kibarkan-bendera-bintang-kejora_9n60f9t599_standarna

Bendera Bintang Kejora di Darwin (foto : papuapost.wordpress.com)`

Pada saat penulis diundang TVOne menjadi narsum pada hari Selasa (21/7/2015) soal kasus Tolikara, ditanyakan oleh presenter, apakah benar ada setting dibelakang kasus tersebut? Menurut penulis, setting jelas ada. Karena Papua menjadi daerah ketiga yang harus dicermati aparat keamanan, masih adanya  potensi ancaman instabilitas keamanan. Penulis menjelaskan kini, tercatat ada tiga daerah dimana masih berkeliaran kelompok sipil bersenjata selain di Papua, yaitu di Aceh dan Poso. Di Aceh, persoalan politik selesai, keinginan merdeka sudah hilang.  Sipil bersenjata adalah mereka yang tidak puas, mantan GAM yang tidak terwadahi, motif lebih kepada ekonomi dan narkoba. Kelompok ini kecil dan mudah ditekan aparat keamanan.

Di Poso, sipil bersenjata terkait dengan jaringan terorisme dipimpin oleh DPO Santoso. Mereka bukan ingin merdeka, tetapi kelompok teror ini lebih kepada keinginan sektoral, berdirinya negara Islam dan penerapan syareat Islam. Densus serta BNPT  telah berhasil dalam melakukan mapping dan menekan kelompok ini. Nah, khusus di Papua, kondisi dapat dinilai masih rawan karena  masih adanya kelompok separatis, yaitu mereka yang ingin merdeka. Kerawanan Papua menyangkut, pendidikan warga yang masih rendah, cara berfikir sederhana, dukungan kelompok warga asing serta kekayaan alamnya yang sangat aduhai. Salah satu bukti adalah tambang Freeport.

Lantas bagaimana dimainkannya Papua? Ancaman lepasnya Papua dengan memainkan isu separatis, mencari dukungan internasional serta tetap menjaga kekisruhan secara berkala.  Sesuai dengan aturan adat lokal, di Papua kini terlalu banyak faksi yang secara garis besar terdiri hanya dua yaitu politik dan tentara (sipil bersenjata) atau TPN (Tentara Pembebasan Nasional).  Di dalam tentaranya itu ada lagi faksi-faksi yang berbeda, ada yang di pesisir, pegunungan dan perbatasan. Masing-masing ada panglima dan masing-masing saling tidak mengakui panglima dari lain faksi. Faksi politiknya mendapat dukungan asing, seperti kelompok di Belanda, beberapa partai kecil (green party di Australia) serta kelompok Melanesian Brotherhood di kawasan Pasifik Selatan.

Saat pemerintahan Presiden SBY, pernah dibentuk tim UP4B, dimana negosiator handal, Farid,yang sukses di Aceh,  menjelaskan bahwa bisa saja perundingan damai Papua meniru perundingan Aceh, dengan melibatkan pihak asing sebagai pengawas. Perundingan Papua bukan internasionalisasi, tetapi mengajak orang (lain) untuk mengawasi, supaya kita masing-masing menahan diri.  Berbicara di Papua tidak membicarakan soal aspirasi kemerdekaan. Karena Papua sudah NKRI. Jadi (soal keinginan keluar dari Indonesia) tidak  dibicarakan. Yang kita bicarakan kenapa masih ada begini (berbagai persoalan di Papua), Itulah pengamatan Farid. Jadi siapapun yang berbicara soal Papua harus menguasai permasalahan yang dihadapi, peta politik di daerah konflik.

Langkah Antisipatif Pemerintah

Sebagai langkah antisipatif dari kasus penyerangan sholat Idul Fitri di Karubaga, Tolikara agar tidak meluas, jajaran pemerintah langsung melakukan langkah pembinaan rasa damai dengan mengadakan pertemuan lintas agama. Acara jabat tangan damai antar pemimpin serta tokoh agama dilakukan dari strata elit tertinggi (presiden) hingga tingkat middle class.

Presiden Joko Widodo mengumpulkan tokoh lintas agama di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (23/7/2015) sore. Kurang lebih ada 25 tokoh masyarakat dan tokoh agama berkumpul sore ini. Jokowi menilai insiden di Tolikara yang bertepatan di hari raya Idul Fitri kemarin seharusnya tidak perlu terjadi apabila komunikasi dan silaturahmi berjalan dengan baik antarumat beragama. Presiden juga berharap insiden di Tolikara tidak sampai memprovokasi masyarakat yang akhirnya merembet ke daerah-daerah lain.

Kepala BIN baru, Sutiyoso yang sejak menjabat aktif dan rajin muncul di media, mengumpulkan Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo serta beberapa pemuka agama di rumah dinasnya, Jalan Denpasar, Jakarta Selatan, Rabu (23/7/2015).  Nampak hadir  Ketua Umum PB HMI,  M. Arief Rosyid Hasan, Ketua KNPI, Muhammad Rifai Darus, dan Sekjen PBNU, Marsudi Syuhud, Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia Ignatius Suharyo, dan Sekretaris Umum Majelis Pengurus Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Gomar Gultom.

kabin kapolri

Kabin, Kapolri dan Panglima TNI bertemu Tokoh Lintas Agama di kediaman Kabin untuk menjelaskan kasus Tolikara (Foto : radarbandung.id)

Dikatakan oleh Kepala BIN, "Perlu pemahaman tentang pentingnya persatuan kesatuan. Pemuka agama tokoh dan pemuda saya harapkan bagaimana bisa memberikan contoh betapa pentingnya persatuan kesatuan kita jalin," katanya.

Pengurus Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta diwakili oleh Imam Daerah Habib Muchsin bertemu dengan Mayjen Agus di Makodam Jaya, Cililitan, Jaktim, Kamis (23/7/2015).  Dalam kesempatan tersebut, Pangdam Jaya Mayjen Agus Sutomo mengingatkan agar kejadian Tolikara tidak menular hingga ke Ibu Kota. Dalam pertemuan itu, Pangdam Jaya meminta seluruh unsur termasuk FPI harus menyikapi insiden di Tolikara, Papua, dengan bijak, cerdas, arif, dan mengedepankan kekeluargaan.

Menurut Pangdam, ini ibarat sumbu panjang yang pada akhirnya dapat meledak. Oleh sebab itu, kita semua harus bertanggung jawab untuk memadamkan sumbu api itu, kata Agus Sutomo . Dia meminta masyarakat untuk lebih mementingkan kepentingan nasional. Maunya mereka yang membuat skenario kejadian ini di mana-mana, maka petasannya akan meledak. Mereka itu ingin Indonesia jatuh di mata dunia, ekonomi jatuh, timbul kerusuhan di mana-mana dan yang rugi kita semua.

Informasi Keterlibatan Asing Di Tolikara

Penyidik kepolisian menyelidiki keterlibatan orang dari negara lain di dalam insiden kekerasan di Tolikara. Kapolri, Badrodin Haiti mengatakan, dalam proposal pengajuan acara seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) pemuda GIDI memang mencantumkan beberapa nama orang asing. "Nah tentu kita mesti lakukan penyelidikan lagi apa terkait atau tidak," ujar Badrodin di kediaman Kepala BIN, Sutiyoso, Jakarta, Kamis (23/7/2015).

Badrodin tidak menyebutkan apa urusan para warga negara asing ini dalam acara tersebut. Ia juga tak menyebutkan asal negara mereka. Badrodin hanya menyebutkan, jumlah mereka yakni lima orang, diketahuinya saat ke Tolikara tanggal 18/7/2015. "Dalam izin koordinasi (acara GIDI di Tolikara) ada lengkapnya. Tapi kelengkapan itu tidak disampaikan kepada Polri," lanjut Badrodin.

Sementara Kepala BIN, Sutiyoso menduga ada pihak ketiga yang sengaja memanfaatkan  insiden kerusuhan di Tolikara, Papua, pada Jumat (17/7/2015). Disinyalir, pihak ketiga itu tengah mengincar sumber daya alam di Papua. "Ada pihak ketiga yang mengincar resources energi. Negara kita juga kaya raya resources terutama Papua yang kita tak tahu kekayaan di dalamnya. Tapi yang lain bisa deteksi lewat satelit. Kita negeri kaya raya SDA dan SDM-nya nomor empat di dunia," katanya di rumah dinasnya, Jalan Denpasar, Jakarta Selatan, Rabu (23/7/2015).

Analisis

Kasus konflik di Tolikara yang menurut Presiden Jokowi merupakan sentuhan kasus SARA, memang kedepannya harus dihindari, karena sangat berbahaya, oleh sebab itu nampak kini kalangan pejabat dan elit serta middle class melakukan pertemuan agar ekses peristiwa tidak meluas kedaerah lain. Langkah bagus ini memang harus dilakukan pemerintah, hanya pertanyaannya apakah persoalan lantas selesai? Sekali saja sebuah peristiwa menyangkut soal SARA, maka konflik harus diselesaikan dengan tuntas.

Penulis pernah mngingatkan, bahwa konflik yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan selalu merupakan bahaya potensial, mendorong timbulnya kebencian dan keinginan balas dendam, membantu munculnya kelompok-kelompok yang mempunyai tujuan utama mengobarkan kekerasan bahkan perang. Kondisi ini menyediakan tanah penyemaian yang ideal bagi jenis orang yang bersedia terlibat dalam aksi teror. Hingga kini sudah terjadi aksi perorangan di empat daerah di Indonesia. Rinciannya, dua kejadian di pulau Jawa dan dua lainnya di wilayah Sulawesi dan Ternate.

Menurut informasi  sementara, peristiwa itu diduga imbas masyarakat yang terprovokasi atas kerusuhan di Tolikara. Misalnya, pada Senin, 20 Juli, dua gereja di Purworejo, Jawa Tengah, dan Bantul, Yogyakarta, diteror orang tak dikenal. Kedua gereja itu hendak dibakar menggunakan ban bekas yang dibakar api oleh seseorang yang menggunakan sepeda motor.

grasi presiden di papua

Presiden Jokowi pada bulan Mei 2015 memberi grasi kepada lima tapol di Papua (Foto: westpapuainfo.wordpres.com)

Seperti dikatakan presiden, negara ini majemuk, dimana banyak terdapat suku, etnik, agama yang bermacam-macam, ini harus disikapi dengan komunikasi yang benar. Seperti kasus damai di Aceh, perdamaian di Tolikara itu gampang, jabat tangan sudah selesai. Tapi kapan perdamaian itu bisa bertahan, itu harus dijaga, ini yang terpenting. Tetapi yang jauh lebih penting adalah kepuasan hati umat muslim lainnya, kepercayaan harus dijaga untuk kepanjangan perdamaian. Sebagai langkah damai di Papua pada bulan Mei 2015, presiden melepas lima tahanan politik di Papua.

Sementara, dari penjelasan Kepala BIN Sutiyoso, ada pihak ketiga yang ikut bermain di Tolikara. Memang seperti kata Kapolri saat kejadian itu ada lima orang asing yang sedang mengikuti kegiatan KKR GIDI. Intelijen bisa membuat perkiraan, berdasarkan indikasi sekecil apapun, agar tidak terkena unsur pendadakan dan melakukan antisipatif, berupa preemtif ataupun preventif. Sementara Polri sebagai penegak hukum harus berdasarkan fakta, tidak bisa ngarang sedikitpun.

Seperti kata Sutiyoso, pihak ketiga mengincar sumber daya alam di Papua. Benarkah begitu? Penulis pernah menuliskan bahwa memang  kini sedang terjadi persaingan hidup di dunia. Luas dunia serta sumber daya alam, energi serta makanan semakin berkurang, sementara jumlah penduduk diperkirakan pada tahun 2050 akan berjumlah sekitar 9 miliar jiwa. Ketidak seimbangan antara keduanya menyebabkan munculnya persaingan hidup. Negara-negara di dunia berlomba mencari wilayah baru yang subur serta masih memiliki sumber daya alam yang besar. Indonesia dengan luas wilayah dan kekayaan alamnya menjadi target menarik pastinya.

Nah, apakah keterlibatan orang asing itu terkait masalah kerusuhan di Tolikara? Bisa dan mungkin saja. Saat talk show, penulis menyampaikan bahwa akan ada yang terus berusaha menciptakan kerusuhan di sana, untuk membuktikan bahwa  pergolakan tetap ada. Tujuannya adalah menunjukkan eksistensi separatis tidak padam dan tetap menggeliat. Dengan demikian maka faksi politik bisa meniupkan dan mencari dukungan masalah Papua di dunia internasional. Oleh karena itu, apakah ada masalah separatis di Tolikara dan bukan hanya konflik SARA?

Penulis saat di TVOne Selasa lalu berpendapat, bahwa kasus Tolikara ada yang men-setting bak pisau bermata dua, di satu sisi menunjukkan masih adanya gejolak di Papua serta terjadinya pelanggaran HAM, karena ada warga yang tewas tertembak. Sementara dilain sisi, diharapkan munculnya efek berantai muncul aksi balas dendam umat muslim di lain daerah. Karena itu kredibilitas pemerintah menjadi turun. Seperti dikatakan Pangdam Jaya, ini adalah sumbu panjang, yang pada akhirnya dapat meledak.

petasan_besar

Petasan sumbu panjang sudah dibakar? (foto: jppn.com)

Oleh karena itu, baik aparat keamanan (Polri), serta khususnya Badan Intelijen Negara tetap mewaspadai kemungkinan aksi-aksi lainnya yang bisa menciptakan instabilitas. Jabat tangan di middle class maupun elit memang sudah dilakukan, semoga para grass root mau mentaatinya juga. Yang harus sangat diwaspadai adalah kemungkinan adanya aksi serigala tunggal (lone wolf) atau anjing liar (stray dog) dalam melakukan aksinya. Mereka sulit dimonitor karena tidak terkait dengan organisasi manapun. Mau-maunya sendiri, dan meradikalisasi dirinya sendiri, terpengaruh media dan juga sosmed yang bertebaran tidak terkendali. Lantas mereka bertindak.

Disitulah tantangan BIN dalam pulbaket, mengondisikan dalam pengertian counter intelligence. Intelijen AS saja yang demikian canggih sudah beberapa kali gagal, tidak mampu mencegah aksi mereka, karena keputusan serangan ada dalam hati serigala itu sendiri dan tidak ada seorangpun yang tahu. Kini memang baru ban bekas yang dibakar, bagaimana kalau ada yang meniru aksi lone wolf di AS, Australia, Tunisia. Perancis, dan Kuwait? Take care Sir.

Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen www.ramalanintelijen.net

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.