Densus 88 Mau Dibubarkan?Janganlah!

5 March 2013 | 9:57 am | Dilihat : 1155

[google-translator]

Penulis agak terkejut membaca berita adanya saran Densus 88 dibubarkan. Saran itu berasal dari Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin saat bertemu dengan Kapolri, Kamis 28 Februari 2013. Din mendatangi Kapolri dan menyampaikan laporan adanya tindakan brutal sejumlah orang berseragam terhadap terduga teroris di Poso. Media memberitakan tindakan tersebut berupa kekerasan dan penembakan langsung terhadap mereka yang ditahan.

Din yang juga menjabat sebagai sebagai Sekretaris Umum MUI Pusat mengatakan, "Saya kira Densus 88 itu harus dievaluasi, bila perlu dibubarkan, tapi diganti dengan sebuah lembaga dan pendekatan baru bersama-sama memberantas terorisme," katanya.

Polri yang diwakili Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan bahwa Polri tidak menyetujui saran dibubarkannya Densus 88. Dikatakannya bahwa Densus 88 dibentuk berdasarkan UU 15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Dikatakan Boy bahwa Densus dibentuk karena pada saat itu kondisi Indonesia masih diselimuti trauma akibat serangan bom Bali-I tanggal 12 Oktober 2001.

Boy menegaskan pembubaran Densus 88 perlu dipikirkan masak-masak, karena versi Mabes Polri keberadaan mereka saat ini masih sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Tentang video kekerasan tersebut, Boy mengatakan bahwa Polri sudah mengadakan penyelidikan dan didapat informasi, pembuatan video pada tahun 2007, saat di Poso ada serangkaian kegiatan penegakan hukum.

Penulis hingga saat ini masih bertugas di BNPT sebagai salah satu anggota kelompok ahli. Membicarakan Densus 88 jelas tidak terlepas dengan BNPT.  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini dibentuk berdasarkan Perpres No. 46 Tahun 2010. Ruang lingkup tugas BNPT meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan dan penyiapan kesiapsiagaan nasional (http://ramalanintelijen.net/?p=2328).

BNPT dibentuk merupakan sebuah regulasi sebagai elaborasi UU No.34/2004 tentang TNI dan UU No.2/2002 tentang Polri, untuk mengatur ketentuan lebih rinci tentang "Rule of Engagement" (aturan pelibatan) TNI, terkait tugas Operasi Militer selain perang, termasuk aturan pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme dan tugas perbantuan TNI terhadap Polri. Dalam hal ini BNPT dapat membentuk Satgas-satgas yang terdiri dari unsur-unsur terkait, juga dapat melibatkan masyarakat. Penugasan TNI dan Polri dalam Satgas BNPT bersifat "disiapkan" atau Bawah Kendali Operasi (BKO).

Nah, pembentukan Satgas (Satuan Tugas) nampaknya terkendala karena adanya resistensi yang tinggi dari masyarakat apabila  TNI langsung dilibatkan dalam pemberantasan terorisme. TNI selama ini mempunyai pasukan anti teror yang sangat handal. TNI AD mempunyai pasukan khusus Satgultor (Satuan penanggulangan teror) tergabung di Kopassus, TNI AL mempunyai  Den Jaka (Detasemen Jala Mengkara) tergabung di Marinir, TNI AU memiliki pasukan anti teror Den Bravo 90, tergabung di Paskhasau. Selain itu ada juga beberapa satuan yang mempunyai klasifikasi anti teror seperti Kopaska, Tontaipur, Raiders, Gegana.  Sementara Polri secara aktif dan langsung menangani terorisme dalam waktu yang cukup lama dengan Detasemen Khusus 88 yang dikritik oleh Din Syamsuddin itu.

Menurut penulis, membentuk sebuah satuan anti teror operasional tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Pasukan tersebut harus benar-benar menguasai segala seluk beluk tentang terorisme, dimana di setiap negara karakter dan latar belakangnya jelas berbeda. Di Indonesia lebih kepada latar belakang ideologis, yang mana faham terorisme menyusup ke benak mereka yang kurang pendidikan melalui jalur kepercayaan dan ketaatan. Bukti kuatnya faham ini terlihat dari banyaknya pelaku teror yang tertangkap, diadili dan dipenjara, setelah keluar mereka kembali bergabung dan melakukan aksinya kembali.

Kelompok-kelompok serta pelaku teror ideologis pada umumnya berani mati, dan kejam. Mereka mau melakukan pengeboman dan pembunuhan karena kepercayaan bahwa tindakannya adalah jihad, dan apabila mati, mereka mati syahid. Kita lihat dimasa lalu, betapa kejamnya pengeboman di Bali. Tiga hari setelah bom Bali-I, penulis mendampingi Menhan meninjau ke Kuta. Rasanya bergidik melihat duaratus tubuh tercerai berai dan di pilah untuk disatukan. Demikian juga saat bom JW Marriott-I, hampir saja penulispun menjadi korban. Baca"Allah menyelamatkan penulis dari Bom Marriott "http://ramalanintelijen.net/?p=1516, atau http://umum.kompasiana.com/2009/07/20/.

Jadi, agak sulit menindak lanjuti saran Din Syamsudin untuk membubarkan Densus 88. Satuan ini sudah mempunyai data base dan mapping lengkap tentang kelompok teror yang kini semakin berkembang walau aksinya kecil. Menurut Kepala BNPT pada saat serah terima Deputi Pencegahan Perlindungan dan Deradikalisasi, pada tahun 2012 sekitar 800 tersangka teroris telah ditangkap dan lebih dari 600 yang diadili dan masuk penjara, tetapi pada tahun 2013 sekitar 300-an teroris yang dipenjara akan dilepaskan karena habis masa tahanannya.

Nah, dengan demikian apakah valid apabila kita membubarkan Densus dan kembali membentuk sebuah lembaga baru? Mungkin kritisi Din bisa ditanggapi Polri dengan mengadakan koreksi tindakan serta SOP Densus dalam menangani terorisme. Memang kadang para anggota Densus acapkali harus bertindak keras sebagai dinamika dalam menghadapi para pelaku terorisme tadi. Lawan yang mereka hadapi jelas tidak main-main dan berbahaya, mereka bersenjata dan kadang membawa bom. Kita teringat bagaimana empat anggota Brimob ditembak teroris di Poso?

Demikian sedikit masukan dan gambaran penulis tentang kritisi Din Syamsuddin. Mari kita dukung Densus 88 dan juga kita awasi bersama, seperti keinginan para penggiat anti HAM. Semoga bisa difahami tantangan berat menghadapi kelompok teror yang sudah berkembang tersebut. Semoga bermanfaat.

Oleh : Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

Ilustrasi Gambar : tribunnews.com

This entry was posted in Hankam. Bookmark the permalink.