Pesawat Intai Bagian dari Operasi Intelijen
8 February 2012 | 8:43 am | Dilihat : 2049
Akhir-akhir ini media banyak membahas soal pengadaan pesawat intai untuk TNI yang berita awalnya dirilis oleh Ketua Komisi I DPR Mahfud Sidik. Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat itu, mengatakan, bahwa pada pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) yang akan berlangsung hingga 2014 salah satu yang akan dibeli adalah pesawat intai tanpa awak. "Secara kebutuhan itu memang kebutuhan TNI cuma waktu itu pernah dibahas terkait dengan sumber pengadaannya," kata Mahfud di Gedung DPR, Rabu 1 Februari 2012.
Komisi I menolak rencana pengadaan pesawat dari Israel. "Seingat saya ada dua pesawat yang dibutuhkan. Pesawat itu kan dibutuhkan untuk patroli di daerah perbatasan," kata Mahfud. Namun, katanya TNI akan membeli dari Filipina. "Infonya dari Filipina, tapi yang perlu didalami apakah itu produk Filipina atau buatan Israel," kata dia.
Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro belum mendengar rencana pembelian pesawat intai dari Israel."Saya belum ada informasi soal itu. Itu apa sih? dari mana info itu?" ucap Purnomo, saat ditemui di kompleks Istana, Jakarta, Kamis (2/2/2012). Bersamaan dengan Purnomo, Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono menampik kabar rencana pembelian pesawat intai dari Israel. “Enggak, enggak ada itu,” bantahnya. Panglima TNI, mengakui bahwa pesawat intai tanpa awak memang dibutuhkan. Alasannya, Indonesia masih belum memilikinya. “Kalau pesawat intai tanpa awak ya kita butuh, kan kita belum punya,” jelasnya.
Nampaknya berita yang dilansir Ketua Komisi I menjadikan kedua petinggi tadi menjadi kurang nyaman, karena disebutnya nama Israel. Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel, tetapi memang sejarah pernah menyebutkan bahwa Indonesia pernah mendapatnya dari Israel melalui saluran intelijen.
Sebenarnya apa yang disebut pesawat intai? Indonesia, TNI dan khususnya TNI AU memiliki pesawat intai maritim Boeing 737 dan CN-235, yang di operasikan untuk melakukan pengintaian/ pemantauan udara terkait dengan maritim. Dalam prakteknya informasi dari jajaran TNI AU disalurkan ke Gugus Tempur TNI AL.
Selain pesawat intai maritim, TNI AU memang merencanakan pembentukan satu skadron pesawat intai tanpa awak terdiri dari enam pesawat, yang dikenal di dunia internasional sebagai UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Negara-negara maju kini lebih memodernisir UAV menjadi mesin pembunuh udara yang paling efektif, efisien dan aman. Penulis menuliskan dalam artikel "UAV mesin pembunuh paling mematikan" http://ramalanintelijen.net/p=4224 .
Keberadaan UAV yang pada umumnya dioperasikan oleh Angkatan Udara selalu terkait dengan jaringan intelijen. AS dalam mengoperasikan beberapa macam jenis UAV, dalam praktek pertempuran memberikan wewenang kepada CIA untuk mengendalikannya. Operasi intelijen (Pulbaket, pengumpulan bahan keterangan) yang dilakukan AS di Afghanistan, Pakistan, Yaman, Iran dan bahkan di Korea Utara dilakukan dengan beberapa type UAV/drones seperti Predator, Sentinel dan Shadow. Kelebihan pesawat intai tanpa awak ini selain mampu terbang berjam-jam, dapat menyadap saluran telpon, dan bahkan dengan teknologi terbarunya Sentinel dapat memonitor dan menterjemahkan gerakan manusia dibawahnya.
UAV dapat dioperasikan dari jarak beberapa puluh km dan bahkan dari jarak ribuan kilometer. Type terakhirnya yang paling modern adalah RQ-170 Sentinel yang termasuk berkemampuan anti radar (teknologi stealth). Selain dilengkapi dengan kamera video, pesawat hampir dipastikan membawa peralatan komunikasi untuk menyadap, serta dilengkapi dengan sensor yang dapat mendeteksi sejumlah kecil isotop radioaktif dan bahan kimia lainnya yang dapat memberikan petunjuk adanya kegiatan penelitian nuklir.
Untuk apa sebetulnya pesawat intai tanpa awak itu? Pesawat intai tanpa awak kini merupakan alutsista (alat utama sistim senjata) terpopular dari negara-negara maju, dimana negara yang menerapkan sistem demokrasi, maka nilai nyawa manusia di negara mereka sangatlah tinggi. Apabila pesawat tersebut ditembak jatuh, tidak menyebabkan korban jiwa. Pola dan metoda serta strategi perang negara maju telah bergeser dari pengerahan kekuatan baik perangkat perang dan manusia digantikan dengan teknologi perang.
Perang sipil di Libya misalnya, AS dan NATO tidak menggelar pasukan dalam jumlah besar untuk terlibat dalam perang campuh. Tetapi mereka memainkan kekuatan udara (air power) untuk menghancurkan dan mendikte militer loyalis Kolonel Khadafi.
Yang bertempur langsung di darat adalah para pejuang pemberontak bersenjata. Kemenangan demi kemenangan diraih pemberontak, karena alutsista militer Khadafi terus dihancurkan.
Perang pada masa mendatang bagi Amerika kini lebih terinspirasi perang melawan teroris Al-Qaeda yang melakukan aksi teror. Karena itu AS dengan tegas mengklasifikasikan ancaman terhadap negaranya sesuai dengan intensitas ancaman. Bila ancaman besar dan kuat, maka mereka akan mengerahkan kekuatan dalam jumlah besar, bisa ancaman kecil, maka yang akan dijadikan sasaran hanyalah tokoh-tokoh utamanya saja. Penyerangan dilakukan dengan dukungan penuh pesawat intai tanpa awak yang canggih itu. Prinsip preemtive strike atau menyerang lawan jauh digaris belakang pertahanannya tetap menjadi pegangan negara-negara besar tersebut.
Bagaimana Indonesia? Ancaman terhadap Indonesia masa kini dan masa mendatang diperkirakan masih berkisar dengan konflik perbatasan. Perkiraan strategis yang berupa ancaman langsung terhadap kedaulatan negara belum nampak. Yang menonjol, terjadinya gangguan dari kelompok bersenjata dalam skala kecil dengan pola teror. Kemungkinan beberapa tahun mendatang, Indonesia akan terkena imbas dari konflik dua kekuatan besar dunia AS dengan China yang kemungkinan bisa terjadi di kawasan Laut China Selatan dan kawasan Pasifik.
Oleh karena itu, untuk menghadapi kondisi baik keamanan maupun pertahanan di dalam negeri memang TNI membutuhkan pesawat intai tanpa awak tersebut. Baik type maupun kemampuan pesawat sangat tergantung dengan anggaran yang tersedia. Operasi pesawat intai tanpa awak akan memberikan data-data intelijen udara (air intelligence) yang sangat penting untuk kepentingan pertahanan dan keamanan. Dengan memiliki pesawat intai tersebut, memonitor teroris yang bersembunyi didalam hutanpun bukan pekerjaan yang sulit. Yang terpenting kini, dibutuhkan kesamaan pendapat bahwa kebutuhan tersebut memang sangat mendesak.
Mengenai sumber pesawat, dengan penolakan jenis pesawat buatan Israel, ya tidak usah dibeli, masih banyak negara lain yang memproduksinya dan teknologinya juga tidak kalah. Kenapa mesti ribut, kata Gus Dur (Alm) "Begitu saja kok repot." Semoga bermanfaat.
Ilustrasi Gambar: Pesawat Intai buatan Israel Searcher-II