Berebut Tiket Cagub, Jadi Pengantin Parpol

18 January 2012 | 11:03 am | Dilihat : 306

Kegaduhan politik, menjadi istilah menarik setelah Presiden SBY menjelang Tahun Baru 2012, menyampaikan imbauan kepada seluruh politisi maupun elit politik negara untuk menciptakan kestabilan politik nasional. Terutama tidak menimbulkan perpecahan dan persaingan politik secara berlebihan. Gaduh itu artinya ribut, berisik, berseteru dan akhirnya bermusuhan.

Nah, kini di Jakarta  terasa agak gaduh menjelang Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI, termasuk penulis juga ikut meramaikan pesta demokrasi yang dilakukan tiap lima tahun sekali. Sebagai calon independen, penulis selalu menghindari kegaduhan, karena saat ini tidak bersentuhan dengan partai politik. Penulis percaya bahwa para calon yang maju akan menyumbangkan ilmu pengetahuan, kemauan, semangat dan ketulusan kalau menjadi pimpinan di Ibukota tercinta ini.

Masyarakat kini sangat mudah membedakan para Cagub (Calon Gubernur) yang maju dari dua sisi yang berbeda. Yang satu sebagai cagub yang diajukan parpol, sisi lainnya sebagai cagub independen (bukan calon parpol). Semua memainkan strategi agar menang dalam pilkada yang akan dilaksanakan pada tanggal 11 Juli 2012 nanti.

Menurut data yang ada, pada pilkada 2007, tercatat ada 10  parpol yang mendapat kursi di DPRD DKI, dengan total kursi 94 buah. Perinciannya, Partai Demokrat (32 kursi), PKS (18), PDIP (11), Golkar (7), P-3 (7), Gerindra (6), PAN (4), PDS (4), Hanura (4), PKB (1). Persyaratan agar dapat mengajukan cagub dari jalur parpol untuk pilkada 2012 adalah 15% kali jumlah 94 kursi, yaitu 14,1 kursi (dibulatkan jadi 15 kursi).

Nah, berarti yang langsung bisa mencalonkan hanya Partai Demokrat dan PKS, karena kini memiliki kursi diatas 15. Sementara parpol lainnya mau tidak mau harus berkoalisi. PDIP  bisa berkoalisi hanya mengambil satu parpol sebagai koalisi, misalnya dengan Golkar, atau P-3, atau Gerindra atau PAN, atau PDS atau juga Hanura. Sementara parpol kuat lainya, Golkar dengan kursi 7 mau tidak mau harus mengambil dua parpol utk berkoalisi agar syarat 15 kursi terpenuhi, kecuali apabila berkoalisi dengan PDIP. Demikian juga P-3 peluangnya sama dengan Golkar.

Nah, kini yang menjadi masalah, kalau parpol, akan mengutamakan kadernya sebagai calon utama. Mana ada parpol mengajukan yang bukan kader sebagai cagub di DKI sebagai propinsi yang demikian penting ini. Para calon yang maju sebagai cagub parpol harus memenuhi kriteria esensial parpol misalnya, dia kader, elektabilitas tinggi, brand image baik, pokoknya harus orang terkenal dan lebih baik apabila disukai masyarakat Jakarta yang sangat kritis dan mempunyai segudang permasalahan.

Oleh karena itu, baik parpol maupun si calon mau tidak mau harus membesarkan diri dan namanya bahwa dia harus yang terhebat dari yang paling hebat (begitu barangkali), agar terpilih sebagai cagub sebuah parpol atau gabungan beberapa parpol. Bermacam cara dilakukan agar dia terlihat hebat. Semua terlibat, baik beberapa parpol, Bang Foke sebagai incumbent, ada Alex Nurdin, Boy Sadikin, Mayjen (Pur) Nachrowi, Mayjen (Pur) Hendardji, Priya Ramadhani, Tantowi Yahya, Mayjen (Pur) Prijanto, Letjen Mar (Pur) Nono Sampono dan bahkan artis Wanda Hamidah, Hasnaeni, Irjen Pol (Pur) Nugroho Djajusman, belum lagi ada Djoko Widodo, dan beberapa nama lagi.

Nah, bagaimana peluangnya? Pada Pilkada 2007, hanya ada dua calon yang harus dipilih masyarakat Jakarta, yaitu Bang Foke melawan Komjen Pol (Pur) Adang Darajatun. Bang Foke didukung beberapa deret parpol dan Adang hanya didukung PKS. Kalahlah Adang saat itu. Untuk Pilkada 2012 ini, dapat dipastikan para parpol akan berbicara dari sisi kepentingan parpolnya dahulu. Jelas parpol besar akan menuntut kadernya yang jadi cagub, cawagubnya terserah begitu mestinya. Disinilah titik rawan, biasanya kepentingan politik akan menguasai ruang berfikir tanpa kompromi.

Demokrat dengan 32 kursi, jelas akan bermain sendiri, kecuali apabila mereka menghitung turunnya citra sebagai akibat persidangan mantan bendaharanya Nazaruddin yang berceloteh menghantam elit Demokrat. Dari arus bawah, nampaknya peluang Nachrowi yang terbesar, tetapi belum tentu juga, belum ada tanda-tanda dari Ketua Dewan Pembinanya. Bisa saja calonnya lain. Fauzy Bowo jelas akan menjadi salah satu calon yang harus dihitung dan bisa menjadi kuda hitam sebagai calon Demokrat.

PDIP, apakah akan mengambil Djoko Widodo (Djokowi) yang terkenal karena isu ESEMKA? Peluang Djokowi akan bersaing dengan Alex Nurdin yang menjadi jago Golkar untuk posisi cagub apabila Golkar berkoalisi dengan PDIP, terus kemana Tantowi?. Apabila Golkar tidak berkoalisi dengan PDIP maka Alex peluang jadi cagub besar dengan cawagub Tantowi, asalkan Priya Ramadhani mau mundur. Ruwetlah masalah di internal Golkar itu. PKS hanya mempunyai Bang Sani (Triwisaksana). Dari pengalaman 2007, nampaknya PKS akan berhitung tidak maju sendiri. Dia akan berkoalisi nampaknya.

Sementara parpol-parpol lainnya jelas akan menunggu saat yang tepat lebih baik berkoalisi dari pada harus bersaing dengan parpol kuat. Tahun lalu terjadi kesepakatan Panitia bersama (Panbers) empat partai, Golkar, Gerindra, Hanura dan Partai Damai Sejahtera memunculkan tiga nama calon Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 pada pemilihan umum kepala daerah langsung Tiga nama yang kini mengerucut adalah DR. H. Fauzi Bowo (Gubernur DKI), H. Nachrowi Ramli (Ketua DPD Demokrat) dan Djan Faridz (anggota DPD RI asal DKI Jakarta, saat itu belum menjadi Menteri). Bisa saja Golkar dan tiga parpol lainnya akan kembali ke pola lama ini.

Bagaimana dengan calon lainnya? Semua cagub yang mengambil jalur parpol mau tidak mau harus membesarkan dirinya dimuka parpol, entah bagaimana caranya harus tinggi hasil surveinya. Pendekatan khusus harus dilakukan ke partai yang dirasa akan memilihnya. Jadi itulah masalah utama para calon utama. Beberapa dari mereka kini mulai mencoba bergeser menjadi calon independen, yang terasa  berat karena harus bermodalkan pengumpulan KTP (407.000) dan harus diserahkan pada 12 Februari 2012.

Penulis memilih jalur independen, karena inilah sebenarnya kekuatan cagub, tidak tersandera dengan kepentingan politik. Apabila cagub independen mampu mengumpulkan 500.000 KTP, wah... kata Faisal Basri (calon independen juga), jangan main-main. Selamat berusaha calon pemimpin di DKI dari jalur parpol. Penulis doakan semoga sukses deh. Yang perlu diingat Jakarta adalah kota yang berbeda dengan kota lainnya, kota dengan penduduk heterogen, penuh masalah, keras, banyak yang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, bahkan dan kadang kejam.

Tetapi inilah Ibukota Indonesia yang harus dipimpin dengan jujur, dapat dipercaya, akuntabel dan cerdas serta adil. Jatuh bangunnya Republik ini banyak tergantung dengan kondisi serta stabilitas Jakarta. Sedikit berisik bolehlah, tetapi jangan gaduh yang menyebabkan instabilitas yang bisa menyebabkan kehancuran. Karena itu tagline penulis sebagai calon independen "Bismillah...Kami Tegas dan Independen." Salam kepada pembaca semuanya, penulis hanyalah rakyat biasa saja. Kalau mau mendukung...Alhamdulillah, mari kita benah Jakarta bersama-sama, itu saja kok. Prayitno Ramelan (www.ramelanteddy.com)

Ilustrasi Gambar : bakalpengantin.com

 

 

 

 

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.