EFEK SU-35, UU CAATSA AMERIKA AKAN MEMBIDIK PRABOWO SEKALIGUS JOKOWI
9 March 2020 | 12:24 pm | Dilihat : 2782
Sukhoi 35 (Impressionistic Art of Joe Millich)
Saat acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan, Yayasan Suluh Nusantara Bakti dan FKPPI, dengan judul "Aktualisasi Menggalang Ketahanan Nasional Demi Kelangsungan Hidup Bangsa" di Hotel Sultan hari Sabtu ( 7/2 /2020 ), menjadi menarik saat salah satu narasumber (Laksda Pur Bob Mangindaan) memaparkan ancaman terhadap Indonesia. Beliau ini teman diskusi penulis, karena pintarnya kita panggil Profesor.
Salah satu pengertian politik saat penulis kuliah menurut dosen, adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan. Presiden Jokowi yang terpilih sebagai presiden Indonesia untuk periode 2019-2024, juga harus mempertahankan kekuasaannya, kata lainnya menjaga amanah dari ATHG, khususnya mengatasi ancaman dari dalam dan luar negeri agar bisa menyelesaikan kepemimpinan nasional hingga 2024.
Disampaikannya, ancaman dari dalam dan luar negeri terhadap Indonesia pada era kepemimpinan Presiden Jokowi ditinjau dari persepsi intelijen pada 2020- 2024, yaitu Krisis identitas, Krisis nasionalisme, Pembangkangan, Radikalisme, Terorisme, Negara Khilafah, Pemisahan-Separatisme, Korupsi, Narkoba, Cyber Attack Informational Warfare, Trade War, Currency war, Proxies, Bio-warfare.
Indonesia Aktor Global
Sejak Amerika memindahkan wilayah kepentingannya dengan istilah rebalancing, dari kawasan Timur Tengah ke Asia Pasifik, ditinjau dari sisi geopolitik dan geostrategis, Indonesia menjadi negara yang sangat penting dan semakin menonjol sebagai bagian dari aktor global.
Penegasan AS disampaikan oleh Presiden Obama di Jepang tahun 2009, yang menyatakan selain punya sekutu di kawasan Asia Pasifik, Jepang, Australia, juga India, saat itu Amerika menginginkan dua negara lain yaitu Malaysia dan Indonesia untuk menjadi mitranya. PM Najib menolak karena China adalah partner dagang utama. Melalui beberapa indikasi adanya ops intelijen, Najib akhirnya jatuh, setelah terjadi serangan klandestin terhadap MH370 dan MH17, serta diungkapnya kasus korupsinya di 1MDP.
Kini diberitakan pada awal tahun 2020, AS melakukan penilaian posisi politik dan kebijakan LN (resetting) terhadap empat negara yaitu India, Jepang, Korea Selatan dan Indonesia. India cerdik, menyatakan mendukung AS, dan beberapa waktu lalu Presiden Trump berkunjung ke India.
Amerika di satu sisi merasa terancam dengan ulah China, yang menggunakan instrumen ekonomi menciptakan "debth trap" di kawasan Asia dan berupaya meluaskan wilayah hegemoninya melalui OBOR. Terjadi trade war antara AS dengan China. AS menegaskan musuh utamanya adalah China dan Rusia, tertuang dalam dokumen 'National Security Strategy' dan 'National Defense Strategy ' (2017). Sebagai musuh utama keduanya secara teori haruslah dipangkas, ruang geraknya dibatasi, diciptakan kompartmentasi dengan negara-negara lain, baik pada sisi intelstrat komponen ekonomi, sosial, dan pertahanan.
Masalah Krusial Pembelian Sukhoi-35 untuk TNI AU
Setelah diangkat menjadi Menhan RI pada tanggal 23 Oktober 2019, Prabowo telah mengunjungi delapan negara, Malaysia, Thailand, Turki, China, Jepang, Filipina, dan Prancis dan Rusia. Pada tanggal 28 Januari 2020 saat mengunjungi Rusia, Prabowo bertemu dengan Menhan Rusia Sergey Shoygu di kantor Kemhan Rusia, Moskow. Beragam hal dibicarakan dalam rangka diplomasi pertahanan kedua negara.
Salah satu poin penting dalam pembicaraan itu adalah rencana Prabowo membeli 11 jet tempur Sukhoi Su-35 senilai US$ 1,14 miliar (Rp 15,57 triliun dengan asumsi kurs Rp 13,658.26). Demikian diungkapkan oleh Duta Besar RI untuk Rusia Wahid Supriyadi seperti dilaporkan cnnindonesia. com, Rabu (29/1/2020). Rencana Indonesia membeli 11 Su-35 ini sudah berlangsung dalam dua tahun terakhir. Tetapi kontrak belum juga dapat terealisasikan.
Rusia tak menampik salah satu hambatan pembelian Sukhoi ini adalah bayang-bayang sanksi Amerika Serikat. Meski begitu, Prabowo menegaskan Indonesia adalah negara berdaulat sehingga keputusan apa pun tidak bisa diintervensi apalagi diancam negara lain.
Dalam pertemuan, kedua pihak mengutarakan keinginan untuk meningkatkan kerja sama bilateral, termasuk dari sisi militer. Shoygu pun berharap penandatanganan kemitraan strategis antara Rusia dan Indonesia dapat ditanda tangani tahun ini.
"Kami memandang Indonesia sebagai salah satu partner penting Rusia di kawasan Asia Pasifik. Interaksi antara kedua negara dibangun berdasarkan persahabatan dan saling percaya. Kami mencatat hal itu merupakan prasyarat untuk membawa hubungan bilateral kedua negara ke level kemitraan strategis," kata Shoygu.
Prabowo mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan Shoygu. Ia pun menyebut Indonesia ingin terus meningkatkan hubungan dengan Rusia. "Kami di Indonesia melihat Rusia sebagai salah satu negara terkuat di dunia. Rusia, atau sebelumnya Uni Soviet, selalu menolong Indonesia di masa-masa sulit, selalu di sisi kami," kata Prabowo.
UU CAATSA Amerika Bisa Membidik Prabowo dan Jokowi
Pada 27 Oktober 2017, AS mengeluarkan kebijakan yang disebut Countering America’s Adversaries Through Sanctions (UU CAATSA). Kebijakan tersebut disahkan oleh Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, sebagai instrument AS di bidang intelijen dan pertahanan.
UU CAATSA lahir sebagai upaya counter berupa upaya kompartmentasi atas ulah Rusia dengan apa yang dikenal sebagai hybrid war, yaitu operasi clandestine Rusia yang dilanjutkan dengan invasi ke Crimea dan Ukraina. UU CAATSA ini merupakan bentuk tekanan politik melalui skema CAATSA.
Sebelum pengesahan UU CAATSA itu diberlakukan, pada tanggal 29 September 2017, Presiden AS, Donald Trump mendelegasikan wewenang untuk melaksanakan bagian 231 itu kepada kementerian luar negeri AS. Bagian 231 intinya mensyaratkan pengenaan sangsi tertentu terhadap orang-orang yang terlibat secara sengaja dalam transaksi signifikan, pada atau setelah tanggal UU CAATSA itu diundangkan, dengan atau atas nama seseorang yang merupakan bagian atau operasi untuk atau atas nama sektor pertahanan atau intelijen pemerintah Rusia, AS akan memberikan sangsi.
Penjatuhan sanksi CAATSA akan berlaku untuk waktu yang tak terbatas, dan apabila sanksi tersebut telah dikenakan, jelas akan sulit untuk ditarik kembali
Pada tanggal 15 Februari 2018, pimpinan delegasi Kementerian Luar Negeri AS, Undersecretary International Security for Weapon Non Proliferation, Ms Ann Ganzer, telah menyampaikan kepada delegasi Kementerian Pertahanan RI di Jakarta, bahwa Kongres AS telah mengeluarkan UU CAATSA untuk menjatuhkan sanksi terhadap Rusia dan negara-negara yang melakukan kerjasama pengadaan alutsista Rusia yang terkait dengan bidang pertahanan dan intelijen.
Apabila dikaitkan dengan UU CAATSA tersebut, Indonesia yang telah melakukan transaksi kontrak pengadaan/akuisisi Su-35 senilai US$1,14 miliar itu, sudah termasuk dalam kriteria negara yang bisa dikenakan sanksi CAATSA.
Analisis
Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, dari persepsi intelijen, Presiden Jokowi sebaiknya lebih waspada terkait dengan persepsi ancaman yang mungkin muncul. Posisi Indonesia sebagai aktor global justru menempatkan Indonesia pada posisi rawan. Dalam teori intelijen, kerawanan biĺa dieksploitir lawan akan menye babkan kelumpuhan, bahkan kelumpuhan permanen.
Keliru sedikit saja Presiden Jokowi memutuskan kebijakan politik dan diplomasi Luar Negeri, maka upayanya dalam mempertahankan kekuasaannya akan makin mengecil. Posisi politik di dalam negeri masih dapat dipertahankan dengan dukungan publik dan konstitusi. Para aktor politik yang walaupun mulai bermimpi dan merancang kekuasaan pada 2024, tetap berfikir hati-hati walau mulai terlihat adanya kolaborasi yang jelas tapi semu (tidak terpercaya dengan habit pragmatis).
Bagian ancaman terhadap Indonesia yang sering disepelekan, karena kita sebagai aktor yang berada di wilayah konflik antara AS versus China dan Rusia, dua musuh utamanya bisa terkena imbas. Banyak yang berpegang kepada politik bebas aktif, yang katanya harus yakin jangan didikte oleh negara lain.
Kini, dengan langkah Menhan ke Rusia dan menegaskan akan melanjutkan pembelian Alutsista Rusia (Sukhoi 35), Prabowo bisa terkena UU CAATSA. Apakah cukup sampai di situ? Jelas Presiden Jokowi dan Indonesia juga akan terkena UU tersebut, presiden dan menhan dinilai sebagai satu paket. Rusia jelas akan mati-matian menjual produknya, walau tahu sejak 2017 dihambat Amerika. Rusia tidak peduli tentang UU CAATSA itu. Mereka faham atau mengerti ada yang gagal faham di Indonesia.
Nah, kini pasti AS sudah membidik Prabowo dan presiden Jokowi. Bagi Prabowo persoalan lama (HAM) saja belum selesai, bisa terkena masalah baru yaitu UU CAATSA. Demikian juga bagi presiden, sebagai decesion maker, bila kontrak dilanjutkan, sangsi Amerika hanyalah soal waktu.
Sebagai purnawirawan TNI AU, Sukhoi-35 memang pilihan terbaik dalam melanjutkan program Su-27/30, (baca : http://ramalanintelijen.net/2016/02/15/dengan-memiliki-super-flanker-su-35-indonesia-jelas-makin-disegani/ ), tetapi dari sisi pertimbangan intelijen fungsi pengamanan, disarankan sebaiknya ditunda/ dibatalkan, resikonya terlalu besar.
Bagi Prabowo bila terkena CAATSA akan rugi besar kalau masih ingin maju pada pilpres 2024. Pelanduk bisa terjepit diantara gajah. Bagi pak Jokowi, ada bahaya atau ancaman serius, yang tersembunyi, Najib lengser, Sadam Husein dihabisi, Afghanistan diserbu, Syria berantakan, Iran sedang repot dan kini China ikut berantakan dengan virus Corona baru (COVID-19). Operasi intelijen tidak pernah terungkap, mereka bisa menggunakan instrumen yang dimiliki untuk menyerang, umumnya sukses karena dudukung telnologi tinggi.
UUK Intelijen dan Saran
Apakah badan intelijen yang ada sebagai pelindung Presiden Jokowi dinilai sudah mampu mengatasi ancaman seperti yang disampaikan Prof. Bob? Tolong dijawab. Sudah mampukah kita mengatasi Cyber Attack, Informational Warfare, Trade War, Currency war, Proxies, Bio-warfare?
Xi-Jinping yang dinilai sebagai manusia setengah Dewa oleh WN China (RRT) saja kini tiap hari migrain menghadapi serangan Covid-19. Kini sudah tercipta kompartmentasi, hampir semua negara alergi kedatangan tamu dari negara China dan semua menolak ke China. Mission accomplished, kesimpulan penuls seperti itu
Apabila kasus COVID-19 ini bio-warfare, kita bersyukur tidak diarahkan ke Indonesia, artinya kita masih dianggap penting dan berharga, ada yang menjaga Indonesia agar tidak babak belur. Pendidikan dan disiplin masyarakat di sini masih rendah dan mudah panik. Tapi ya mestinya kita, khususnya para pemimpin harus awas, cerdik, faham dan bijak.
Sepertinya pak Jokowi perlu mendengar presentasi, penjelasan teman penulis itu Prof. Bob Mangindaan tentang masalah geopolitik dan geostrategi itu (maaf memberanikan diri hanya sekedar saran dari Old Soldier). Semoga bermanfaat. Pray
Oleh : Marsda TNI (Pur) Prayitno Wongsodijojo Ramelan, Pengamat Intelijen , www.ramalanintelijen.net