Antara Hierarki, Pilpres dan Keprihatinan Seorang Old Soldier
6 June 2014 | 10:32 pm | Dilihat : 1301
Kompak hingga kapanpun (foto : lensaindonesia.com)
Pada saat penulis memasuki pendidikan militer, para senior mengatakan kepada juniornya, yang perlu diketahui, “senior can do no wrong,” maksudnya para senior tidak pernah disalahkan. Benar terus. Tetapi, setelah lulus dan bertugas di pasukan, dalam kepemimpinannya selalu berlaku aturan, tidak ada anak buah yang salah, yang salah adalah pemimpinnya. Jenderalnya yang salah. Begitulah kira-kira.
Itulah sekelumit, istilah-istilah di militer yang berlaku. Dalam, hirarki militer, hingga kinipun penulis merasakan, senior itu selalu dihargai oleh para juniornya, sampaipun setelah dia purnawirawan. Terlebih apabila si senior adalah purnawirawan berbintang, terlebih lagi apabila bintangnya berderet banyak.
Nah, kini penulis ditanya oleh beberapa teman sipil dan tidak faham dengan soal-soal kehidupan militer. Mereka bertanya pandangan penulis tentang masalah yang kini sedang hangat, terbelahnya para mantan petinggi-petinggi TNI, sebagian ke poros Jokowi-JK, sebagian ke poros Prabowo-Hatta.
Menurut aturan dan Undang-Undang yang berlaku, seorang purnawirawan itu boleh untuk terjun ke politik, mempunyai hak memilih dan dipilih. Untuk anggota TNI aktif jelas-jelas dilarang. Aturannya sangat jelas. Menurut UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pasal 43 dan 44, intinya melarang aparat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon. Nah dengan demikian, maka merapatnya para Jenderal, Laksamana, dan Marsekal seperti yang diberitakan ke salah satu kubu dipastikan tidak melanggar Undang-undang.
Ternyata keberadaan para mantan pembesar militer itu kini mulai menimbulkan masalah. Masalah berawal dari ungkapan yang disampaikan oleh Jenderal Purn Hendro Priyono yang mantan Kabin. Pada hari Selasa (3/6/2014) Pak Hendro saat menjadi pembicara di forum relawan Jokowi mengatakan tahu dengan hasil tes psikologi Prabowo Subianto, dipaparkannya hasil tes dan levelnya.
Hendro mengaku mengenal Prabowo sejak masih aktif sebagai anggota TNI. selalu menjadi atasan Prabowo semasa keduanya masih aktif sebagai anggota TNI. Menurutnya, setiap anggota TNI yang ingin naik pangkat harus menjalani tes prakesehatan jiwa (prakeswa). "Saya waktu itu bisa melihat hasil tesnya karena menjadi atasannya. Hasil prakeswa Prabowo itu G4, gila, bahkan mendekati skizofrenia," katanya. Hendro mengatakan juga, seorang anggota TNI dengan kondisi kejiwaan seperti itu sangat temperamental dan amarahnya mudah terpancing. "Ini bukan hanya emosional, tetapi sudah psikopat," katanya. (Kompas.com, 4 Juni 2014).
Menanggapi apa yang diungkapkannya, seorang purnawirawan perwira Polisi (Akabri 1974), yang bernama Alfons kemudian melaporkan Hendro Priyono ke Bareskrim Mabes Polri. Alfons yang satu angkatan dengan Prabowo menyatakan keprihatinan mengapa senior tentara justru menjelek-jelekkan bekas anak buahnya.
Disamping itu juga, Letjen (Purn) Suryo Prabowo (Alumnus AMN 1976, mantan Wakil Kepala Staf TNI AD) sebagai tim sukses Prabowo menyindir, menyatakan terima kasih kepada seniornya, Hendro Priyono yang telah menyebut Prabowo “gila.” Ditegaskannya, ”Bagaimana tidak gila, Pak Prabowo berkali-kali telah mereka bunuh karakternya, tidak mati, bahkan mampu bangkit dan tampil lebih prima” katanya, Kamis (5/6/2014).
Disamping mulai mencuatnya serangan, pembelaan para jenderal di kubu masing-masing, kini muncul berita yang menyentuh jajaran TNI. Adanya Babinsa (Bintara Pembina Desa) dari TNI AD, yang diberitakan dikerahkan untuk mendukung capres Prabowo. Kejadian diberitakan oleh Kompas.com (5/6/2014) di Jakarta Pusat, saat salah satu warga didatangi petugas yang mengaku Babinsa setempat. Petugas tersebut katanya mencatat DPT dan pilihan warga.
Atas kejadian tersebut, Komandan Kodim 0501/Jakpus, Letnan Kolonel Infantri Yudi Pranoto mengatakan, telah terjadi kesalahpahaman antara warga dan anggota bintara pembina desa (babinsa). "Ini hanya miskomunikasi saja. Ada salah paham antara warga dan anggota Babinsa," kata Yudi. Kasus juga ditanggapi serius oleh Panglima TNI Jenderal Moeldoko yang menegaskan TNI netral dalam pilpres.
Menanggapi isu Babinsa tersebut, Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Mayjen TNI Fuad Basya kepada wartawan di Kompleks DPR/MPR, Jakarta, Kamis (5/6/2014) menegaskan, "Anggota (TNI) yang mendukung salah satu pasangan peserta pemilu pasti akan diambil tindakan," katanya.
Analisis
Penulis sebagai salah seorang purnawirawan TNI terus mengikuti perkembangan isu keamanan dalam pilpres yang akan diselenggarakan tanggal 9 Juli mendatang. Dari dua kasus diatas, kini mulai nampak ekses dari keberpihakan para purnawirawan yang penulis sebut telah terbelah.
Disatu sisi, keberadaan purnawirawan merupakan kemajuan pada era demokrasi yang sudah dipilih oleh bangsa ini. Tetapi dilain sisi, nampaknya sisa-sisa semangat tempur para purnawirawan tersebut masih besar dalam membela capres yang didukungnya. Nah, semangat, karakter serta pengalaman bertugas menghadapi musuh negara pada masa lalu itulah yang kini berpotensi akan mencederai baik citra maupun nama serta almamater lembah Tidar.
Apakah persatuan dan kesatuan yang telah dibina selama bertahun-tahun akan dirusak? Penulis merasakan, bahwa pendidikan Akabri yang pernah dilalui telah merekatkan rasa persaudaraan diantara alumnus dari TNI AD, AL, AU dan bahkan Polri. Memang sangat sayang kalau kemudian hanya karena sebuah demokrasi bebas, persatuan dan kesatuan yang telah lama dijaga dan dibina kemudian menjadi tercederai. Bukankah keberadaan mereka justru akan memperkuat keyakinan siapa calon terbaik yang akan menjadi pimpinan nasional bangsa Indonesia?.
Kita sangat mengharapkan para senior maupun junior itu lebih elok hanya memberi masukan kepada tim sukses masing-masing tentang strategi pemenangan. Rasanya tidak perlu sampai ada ucapan atau tindakan yang akan mencederai sebuah kerukunan sesama purnawirawan. TNI hingga kini adalah benteng negara, mempertahankan negara hingga akhir hayatnya. Pejabat TNI, termasuk purnawirawan akan terus diamati dan dinilai rakyat hingga dia masuk ke lubang kubur. Presiden SBY termasuk yang sudah mengingatkan agar keberadaan para mantan pemimpin pada tim sukses itu tidak untuk saling menghancurkan.
Karena itu, demi bangsa negara yang kita cintai ini, penulis mengimbau kepada para senior maupun junior di kubu manapun, silahkan bersama-sama tetap berjuang dengan kepentingannya masing-masing untuk memilih pasangan capres dan cawapres yang diyakininya tanpa mengorbankan persatuan. Mari kita buktikan kepada rakyat bahwa kita tetap menjadi pengayom dan sebagai militer cadangan yang siap mati demi bangsa dan negara. Semakin mapan, syarat pengalaman, di usia senja dia diharapkan menjadi sosok bak begawan. Kira-kira begitulah. Penulis mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan, salam, selamat berjuang dan mengabdi.
Sebagai penutup, salah seorang teman penulis satu angkatan (Mas Soewadji), alumnus Akabri 1970 menuliskan di status Face Book-nya pantun yang penulis kutip, menggambarkan rasa keprihatinannya:
Pulau lombok ono kuto Ampenan, Pulau Bali ugo ono kuto Tabanan. Poro Purnawirawan wus lali lan ngalekne keguyuban, Amergo panjenengane kabeh wus podo berpolitik tenanan.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan (Old Soldier)
Artikel terkait :
-Jenderal Pada Dua Poros dan Wilayah Perang Opini Dua Media Berita, http://ramalanintelijen.net/?p=8441
-Purn Jenderal Terbelah, Menunjukan Demokrasi Semakin Baik, http://ramalanintelijen.net/?p=8417
-