Kini Pejabat TNI Yang Masih Aktif Ikut Prihatin
11 June 2014 | 4:15 am | Dilihat : 1137
Pangdam Brawijaya, Mayjen TNI Eko Wiratmoko (kiri), Foto : matahati.co
Publik di Indonesia kini disuguhi dengan suatu tontonan yang demikian ramai tetapi agak menakutkan dalam perjalanan menuju pemilu presiden tanggal 9 Juli 2014. Pasalnya kini terjadi konflik bicara atau statement yang dilemparkan para mantan serdadu dari dua kubu capres.
Setelah konflik pernyataan tidak terima dari kubu Capres Prabowo -Hatta yang disampailan Letjen (Purn) Suryo Prabowo , mantan Wakasad yang mengkritisi seniornya Jenderal (Purn) Hendro Priyono tentang hasil tes kesehatan dari Capres Prabowo, kini muncul masalah lainnya.
Pangdam V/Brawijaya, Mayor Jenderal TNI Eko Wiratmoko, prihatin dengan para seniornya yang sudah pensiun, kini saling serang satu sama lain menjelang Pilpres 2014. Pangdam yang mantan prajurit Kopassus itu menyatakan, "Saya sangat prihatin dengan apa yang dilakukan para petinggi TNI yang sudah purnawirawan. Mereka saling menghujat, saling membuka aib. Di mana hal itu bertentangan dengan apa yang mereka ajarkan pada saat mereka aktif dulu kepada juniornya sesama tentara," kata Eko. Menurutnya, aib TNI adalah aib kita semua
Keadaan ini menurutnya justru akan memperkeruh suasana. Terutama, menimbulkan antipati dari rakyat dan para prajurit TNI yang masih aktif. Dulu, katanya, semua prajurit TNI solid. Saling bahu membahu satu sama lain. "Sekarang gontok-gontokan. Ini memalukan," tegas Eko. Dia berharap agar para seniornya itu saling menghargai, dan menjaga kehormatan satu sama lain.
Selain itu Pangdam V ini juga memberikan klarifikasi atas tuduhan adanya anggota Babinsa di dalam jajarannya di Koramil Waru, Kodim Sidoarjo yang dikatakan memasang baliho Capres Prabowo-Hatta. Mayjen Eko menyatakan keprihatinan atas tuduhan seniornya purnawirawan Pati TNI tersebut. Dia menegaskan sudah meminta klarifikasi keberbagai pihak. Menurut Agus Wakil PP Jawa Timur, saat memasang baliho, tidak ada Babinsa yang dilibatkan.
Nampaknya tuduhan dinyatakan oleh kubu capres Jokowi-JK yang disampaikan oleh Mayjen (Purn) Tubagus Hasanudin, Wakil Ketua Bapilu PDIP. "Tadi malam (Jumat), saya mendapatkan informasi dari lapangan. Informasi ini valid. Seorang Babinsa di Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, memasang baliho salah satu capres tertentu. (Baliho) sudah diturunkan beramai-ramai oleh masyarakat," kata Hasanudin kepada wartawan di Gedung Sabuga, Jalan Tamansari, Kota Bandung, Sabtu (7/6/2014). JSelain itu juga dikatakan ada Babinsa yang melakukan door to door ke warga Cimanitin Kabupaten Sumedang supaya nyoblos nomor urut satu. Setelah dikonfirmasi oleh media, Kepala Penerangan Kodam III Siliwangi M Affandi menolak tuduhan kubu Jokowi-JK tentang pemberitaan seorang Babinsa di Kabupaten Sumedang yang memihak salah satu calon.
PDIP selaku pengusung capres-cawapres Jokowi-JK meminta Pangdam V/Brawijaya dan Pangdam III/Siliwangi mengecek informasi oknum Babinsa yang tidak netral. "Hal seperti itu tidak netral. Kalau benar, ambil tindakan. Kalau salah informasi ini tolong klarifikasi," tegas Tubagus yang juga Ketua DPD PDIP Jabar. Hasanudin menegaskan ada tiga kemungkinan kenapa oknum tentara berpangkat Bintara itu memihak salah satu pasangan capres-cawapres. "Pertama, barangkali ada perintah dari atasannya. Kedua, inisiatif. Ketiga, dibayar," katanya. Ketiga kesalahan itu harus ditindak katanya.
Analisis
Dari informasi diatas, apa sebenarnya yang perlu kita cermati bersama? Yang sudah pasti kini terjadi sebuah konflik walaupun hanya berupa pernyataan-pernyataan diantara para mantan petinggi TNI di kedua kubu. Keberadaan mantan serdadu di kubu capres sebenarnya merupakan hal yang wajar, mereka sudah pensiun dan menjadi masyarakat biasa, sama statusnya dengan rakyat kebanyakan. Hanya yang membedakan adalah mereka adalah sosok yang pernah dilatih tempur, dan mendapat pendidikan ilmu macam, macam terutama ilmu memenangkan pertempuran dan peperangan dan suka memakai topi dengan bintang berderet.
Para serdadu tua itu hingga kapanpun tidak akan kendor semangat bela negara. Mereka kini meyakini bahwa capres yang didukungnya adalah yang terbaik bagi bangsa dan negara. Itulah sebenarnya keberadaan para tokoh tersebut. Walaupun tidak juga dikesampingkan tudingan miring masyarakat bahwa ada apa-apa dibelakangnya, baik soal jabatan atau kepentingan lainnya seperti urusan periuk belanga besarnya (misalnya).
Tetapi mungkin kini ada yang mungkin dilupakan beliau-beliau, bahwa beliau setelah fungsi sospol dahulu, kini kembali masuk ke pusaran politik. Kita semua faham bahwa politik itu keras dan cenderung sadis serta banyak tidak jujurnya. Politik itu kotor, dan menurut beberapa ahli politik, di Indonesia, politik itu kotor sekali. Nah, kini kita menyadari keterbukaan dan kebebasan demokrasi, tokoh-tokoh yang ahli perang, pengalaman bertempurm pernah berada pada posisi mati hidup, kini bersatu dengan sikon politik yang kotor sekali.
Maka munculah konflik awal yang membuat resah dan galau para junior di TNI disatu sisi, tetapi jelas membuat senang mereka yang anti TNI. Hingga kini para pemecah belah bangsa dan mereka yang anti TNI faham bahwa TNI adalah benteng awal dan terakhir penjaga keselamatan bangsa dan negara. Negara ini titik rawannya apabila TNI pecah, mudah diacak-acak dan di kuasai.
Ungkapan Pangdam Brawijaya, Mayjen TNI Eko Wiratmoko, Alumnus Akmil 1982 tersebut dapat dikatakan mewakili kegundahan para junior di TNI AD yang prihatin dengan kondisi saat ini. Walau konflik masih dalam bentuk pernyataan, tetapi yang mungkin tidak disadari ada sesuatu yang hilang, yaitu rasa hormat junior kepada seniornya serta juga anggapan junior akan pentingnya jiwa korsa. Anggota TNI, khususnya alumnus Lembah Tidar sejak dahulu selalu menjaga persatuan dan kesatuan, bahkan persaudaraan yang penulis rasakan sebagai alumnus Akabri tetap erat dengan sesama alumnus satu Angkatan baik diantara ketiga matra maupun dengan teman dari Polri hingga setelah lama pensiun.
Apakah kini rasa persaudaraan setelah masuk ke dunia politik akan dikorbankan? Mudah menjawabnya, kita berada di alam demokrasi. Apakah demokrasi akan memecah belah kita? Tidak juga sebenarnya, hanya bagaimana beliau-beliau mau menjaga emosi dan tidak berpolitik seperti contoh beberapa politikus yang justru suka sadis dalam melakukan "character assasination." Tetapi ada saja sebenarnya karakter orang yang ingin dianggap hebat dan berjasa oleh partainya dan capresnya barangkali, bersikap dan tampil beda.
Apa kesimpulannya? Sulit apabila seseorang sudah kesengsem, jatuh cinta baik rasa maupun emosinya sulit untuk diingatkan, termasuk jatuh cinta kepada sang capresnya itu. Mereka yang keras-keras itu dan kini mengabdi kepada politik, akan mengatakan "sudahlah biarkan, kami sedang berjuang demi bangsa dan negara, junior diam, I know what I'm doing," kata siapa itu?. Dan si Junior akan merenung, yah sudahlah "emang gua pikirin."
Apa yang paling berbahaya? Yaitu apabila para simpatisan di grass root nanti akan makin berani, keras dan galak, karena di kubunya ada jenderal jagoan. Nah, saat itulah penulis perkirakan sangat mungkin akan terjadi konflik yang sesungguhnya, yaitu konflik fisik horizontal dan bisa saja berubah menjadi konflik vertikal. Barulah kita akan menyesal bersama.
Entah bagaimana menerjemahkan ungkapan Jenderal McArthur di negara Pancasila ini, yang mengatakan " Old Soldier Never Die, They Just Fade Away." Selamat berjuang Jenderal, penulis hanya ingat sebuah pemahaman, "Dalam berpolitik hanya memanfaatkan atau dimanfaatkan," begitulah kira-kira.
Oleh : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net