Akan Terungkapkah Motif Penyerangan di Cebongan?

4 April 2013 | 10:36 pm | Dilihat : 552

Draft Artikel Penulis sebelum Konperensi Pers Tim Investigasi TNI AD

 

Penyerangan kelompok bersenjata ke  Cebongan yang kini menjadi magnit media dan Komnas HAM telah berlangsung sekitar 12 hari, sejak  kelompok bersenjata melakukan serangan penetrasi  Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Cebongan. Raid yang dilakukan oleh sekitar  17 orang tak dikenal Sabtu (23/3/2013) sekitar pukul 00.30 WIB kemudian melakukan eksekusi tegas langsung terhadap empat tahanan yang langsung tewas ditempat.

Beberapa pihak kemudian menjadi pesimis terhadap kemungkinan terbukanya siapa pelaku serta apa motif penyerangan tersebut. Di era demokrasi menurut Hendardi, Ketua Setara Institute secara terbuka di ILC menyatakan ragu apabila ada militer yang terlibat, kasus akan terbuka transparan. Perdebatan berlangsung dengan beberapa mantan petinggi (Jenderal Purnawirawan) bahwa mereka tidak sependapat kasus (penyerang) melibatkan Kopassus. Letjen Purn Kiki Syahnakri memberikan beberapa argumen bahwa tidak relevan penyerang berasal dari korps kebanggaan TNI AD itu  khususnya dan Bangsa serta negara ini pada umumnya.

Demikian juga pendapat dari Mayjen Pur Hasanudin yang kini aktif di PDIP, menyatakan bahwa penyerang tidak perlu orang yang sangat terlatih, katanya cukup dua hari di latih akan bisa. Mantan Sekmil Presiden tersebut juga menjelaskan secara tehnis yang dikuasainya tentang kaliber peluru 7,62mm yang sebaiknya merupakan titik awal penyelidikan.

Penulis selalu melihat sebuah kasus secara independen, sebagai indie blogger. Rasanya tidak sependapat, bahwa penyerang cukup dilatih satu atau dua hari saja. Kelompok penyerang penulis nilai mempunyai perencanaan yang sangat baik, terlatih baik cara menggunakan senjata, cara melakukan intimidasi, dan menguasai Lapas secara penuh dibawah kontrol mereka.

Menyerang lapas bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Lapas Cebongan adalah sebuah instansi pemerintah dibawah jajaran Kemenkumham yang dilengkapi dengan sebuah sistem keamanan. Pertama adanya tiga lapis pagar yang cukup kokoh, kawat berduri, dan tinggi, kedua adanya penjaga (sipir yang terbiasa dengan kehidupan keras karena selalu menghadapi tahanan (kriminal), ketiga, adanya kelengkapan CCTV yang terus merekam, dan ke empat lapas juga dilengkapi dengan senjata api (panjang, pendek dan senjata kejut).

Nah, ini berarti si penyerang harus merupakan kelompok terlatih menetralisir sistem keamanan tersebut, pembagian tugasnya jelas. Mereka mampu menembus pintu dengan ancaman peledakan (granat), kemudian mengintimidasi sipir dengan melakukan pemukulan dan tendangan, menyakiti hingga para sipir lumpuh dan takut. Profesionalisme cara mengintimidasi sukses, tanpa ada korban jiwa dikalangan sipir, kalau saja pelaku tidak terlatih, kemungkinan akan ada letusan, dan apabila sipir ada yang meninggal, ceritanya akan menjadi lain.

Kelompok tersebut setelah menemukan target, kemudian melakukan eksekusi penembakan, tiap korban dengan beberapa tembakan, total selongsong 31 (32 apabila yang ditemukan Komnas HAM dimasukan). Total anak peluru 16. Kaliber senjata jelas 7,62mm, hanya belum dibuka ke publik kaliber dengan ukuran yang mana, terdapat beberapa ukuran, 7,62x51mm (NATO), 7,62x45mm (Pindad)  atau 7,62x39mm (Soviet/Pakta Warsawa)? Varian peluru tersebut ada yang dipergunakan TNI AD atau Polri. Kepemilikan peluru dan senjata tersebut diakui oleh Kasad dengan menyebutkan adanya indikasi keterlibatan di Jawa Tengah.

Kasad, Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo Jumat (29/3),  menyatakan TNI Angkatan Darat membentuk tim investigasi yang terdiri dari sembilan personilnya. Pembentukan tim investigasi tersebut tidak memuaskan baik Komnas HAM, Kontras, Setara Institute serta penggiat masalah kemanusiaan lainnya, mereka mencurigainya. Mereka menginginkan dibentuknya tim investigasi independen.

Nah, kini pertanyaannya, akan terungkapkah pembantaian di Lapas Cebongan tersebut? Dan yang jauh lebih penting lagi apa motif penyerangan tersebut. Motif merupakan inti sebuah tindakan, dan penggunaan senjata api dalam jumlah cukup banyak jelas sebuah aksi yang sangat serius dan berbahaya. Mengukurnya sebaiknya jangan hanya tingkatan terendah dan sederhana, tetapi harus di analisa secara komprehensif. Hanya ada dua motif, pertama jelas balas dendam dan kedua ada tujuan lain yang lebih besar. Ini berarti kelompok penyerang ada yang menyuruh.

 

Fakta dan Analisis Setelah Konperensi Pers

 

Wakil Danpuspom TNI AD Brigjen Unggul K Yudhoyono, sebagai ketua Tim Investigasi yang dibentuk TNI AD dalam kasus Cebongan  tersebut di Mabes TNI AD, Jakarta, Kamis (4/4/2013) menyampaikan konperensi pers. Dikatakannya, "Bahwa secara kesatria dan dilandasi kejujuran serta tanggung jawab, serangan LP Cebongan, Sleman, pada 23 Maret 2013 pukul 00.15 WIB diakui dilakukan oleh oknum  anggota TNI AD, dalam hal ini Grup II Kopassus Kartasuro yang mengakibatkan terbunuhnya empat tahanan," katanya. Pengumuman hasil investigasi hanya berkisar hanya enam hari sejak Tim dibentuk Kasad pada tanggal 29 Maret 2013.

TNI AD mengakui bahwa para pelaku penyerangan Lapas Cebongan adalah oknum Grup II Komando Pasukan Khusus Kartasura, Jawa Tengah. Penyerbuan melibatkan 11 anggota Kopassus, dengan satu orang eksekutor. Mereka membawa 6 pucuk senjata api, yaitu 3 senjata AK-47, 2 pucuk AK-47 replika, dan 1 pucuk pistol SIG Sauer replika. Senpi AK-47 dibawa dari markas pelatihan di Gunung Lawu.

Unggul mengatakan, penyerangan ini berhubungan dengan pembunuhan terhadap Serka Heru Santoso, yang juga anggota TNI AD, pada 19 Maret 2013 dan pembacokan terhadap mantan anggota Kopassus Sertu Sriyono pada 20 Maret 2013 oleh kelompok preman di Yogyakarta. "Bermotif tindakan reaktif karena kuatnya rasa jiwa dan membela rasa kehormatan satuan," katanya.

Dijelaskan dalam konperensi pers, Serka Heru Santoso merupakan pejabat Bintara Peleton Kopassus yang notabene atasan langsung para pelaku yang juga pernah berjasa menyelamatkan pelaku saat melaksanakan tugas operasi. Sementara Sertu Sriyono adalah mantan Kopassus yang notabene merupakan rekan pelaku saat latihan komando. Unggul selanjutnya menegaskan, "Itu memang tindakan reaktif secara spontanitas yang memang dilakukan oleh seorang prajurit yang mempunyai jiwa korsa yang besar,"katanya.

Menkopolhukkam Djoko Suyanto menyatakan, "Ini baru babak awal. Harus terus dilakukan penyidikan yang lebih tajam sebelum diajukan ke Mahkamah Militer," katanya di Jakarta, Kamis ( 4/4/2013 ). Dia mengatakan, semua pihak pasti ingin penanganan perkara tersebut cepat selesai, karena itu dibutuhkan apabila ada informasi dari masyarakat untuk diberikan ke Tim.

Sementara Wamenkumham Denny Indrayana mengapresiasi hasil investigasi TNI AD tersebut. Hasil investigasi ini, kata dia, sekaligus membuktikan bahwa pelakunya adalah oknum pribadi, bukan institusi. "Kami mengapresiasi hasil kerja tim investigasi yang dengan cepat berhasil mengungkap pelaku penyerangan keji di Lapas Cebongan," katanya. Pengungkapan kasus yang demikian cepat, lanjut Denny, harus dilakukan untuk semua kasus. "Untuk membuktikan bahwa wibawa hukum masih tegak dan negara hukum kita tetap berdaulat," tegasnya.

Pengungkapan para penyerang yang melibatkan prajurit Kopassus merupakan prestasi tersendiri dari Tim Investigasi. Banyak pihak sebenarnya sejak awal memperkirakan keterlibatan oknum Kopassus. Dalam keterkejutannya, Pangdam IV Diponegoro, Mayjen TNI Hardiono Saroso setelah serangan menyatakan bahwa tidak ada prajurit TNI yang terlibat dan Sertu Santoso yang meninggal bukan anggota Kopassus.  Baca artikel penulis "Sertu Santoso yang Tewas itu Bukan Kopassus", http://ramalanintelijen.net/?p=6635.  Tetapi ternyata korban menurut tim investigasi adalah anggota yang masih  aktif bertugas di Kopassus.

Sejak awal melihat pola dan tehnik serangan, serta kaliber senjata yang dipakai, arah sudah menjurus ke kandang Menjangan. Penyerang bukan orang biasa yang bisa dilatih sehari dua hari untuk menyerang LP,  tetapi mereka mempunyai kwalifikasi Para Komando, yang kemampuan diatas prajurit infanteri biasa. Para penyerang bukanlah personil intelijen, yang mampu menghilangkan jejaknya dengan rapih, hingga berlaku hukum tidak ada kejahatan yang sempurna. Cover story dan cover lainnya tidak sempurna, inilah kenyataannya. Mereka spesialis serangan tetapi kurang ahli dalam penghilangan jejak.

Tanpa disadari mereka dengan mudah di jejaki tim buru sergap Polri kearah kandangnya. Gerakan dan komunikasi mereka tanpa sadar dimonitor dan petugas inafis mampu membuat sketsa salah satu pelaku. Anggota tim khusus Polri mempunyai pengalaman mengikuti pelaku kriminal sejak munculnya aksi teror sejak lama. Ini yang tidak difahami para penyerang tersebut. Sehingga begitu tim investigasi AD bergerak, data polisi nampaknya sudah cukup lengkap.

Nah, yang sangat penting kini seperti dikatakan Menko Polhukkam, harus dilakukan penyelidikan lebih mendalam terhadap para personil komando kebanggaan TNI dan juga kebanggaan rakyat Indonesia itu. Dari pengakuan mereka, maka persoalan selesai pada titik balas dendam belaka. Banyak yang mendukung oknum Kopassus yang menghajar preman tersebut, inilah bukti ketidak sukaan publik terhadap preman.

Tetapi, dilain sisi sebaiknya penyidik mencari motif yang jauh lebih dalam di balik serangan. Pada artikel terdahulu, penulis berasumsi tujuan lain bisa diartikan adanya keterlibatan kartel narkoba, mengingat Juan Mambait salah satu korban yang mantan anggota Polri juga terlibat Narkoba. Melihat fakta serta kondisi hasil investigasi, kini penulis mengesampingkan terlibatnya kartel narkoba dalam kasus ini. Ada sudut pandang lain dibalik serangan tersebut.

Jadi, apakah ada motif lain? Kalau diteliti, hanya untuk membalas dendam, apakah perlu para anggota pasukan khusus itu melakukan  penetrasi beresiko kedalam LP, disamping dengan menghamburkan demikian banyak peluru hanya untuk mengeksekusi empat orang? Apabila akan menghilangkan jejak, mengapa pasukan komando meninggalkan jejak demikian banyak selongsong peluru, yang akan mudah di selidiki dan ditemukan sumbernya. Dalam sebuah operasi intelijen tertutup, bukankah sebaiknya eksekusi dilakukan diluar lokasi? Atau tanpa menggunakan peluru?Apakah benar keempat orang tersebut sasaran dalam arti yang sesungguhnya?

Pertanyaan terakhirnya, perlu dicari siapa handler (pengendali serangan) dan siapa principle agent (perencana atau yang menyuruh). Ini suatu yang sangat penting, untuk mengetahui lebih jauh ada apa sebenarnya terjadinya kasus? Apakah mungkin ada kepentingan politik dibelakangnya? Penulis lebih memfokuskan bahwa serangan adalah aksi teror yang oleh si perencana dibuat heboh, dan kehebohan yang menjadi event mahal bagi media dan pasti menjadi heboh, itulah sasarannya. Tapi entahlah, kini menjadi bagian dari Badan Intelijen serta para penyidik TNI untuk membuktikannya. Sayang dan kasihan apabila ada yang dikorbankan, pasukan terpilih pula. Apakah demikian?

Oleh : Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

Ilustrasi Gambar : world-crisis.com

                 
This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.