Posisi Ideal PKS pada Pilkada putaran Kedua di DKI, sebuah Ulasan

30 July 2012 | 6:48 am | Dilihat : 473

Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta telah resmi menghitung hasil akhir rekapitulasi suara Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2012. Keputusan disampaikan dalam pleno terbuka KPU DKI Jakarta di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (19/7). Hasil penghitungan, pasangan  Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) mendapat dukungan  1.476.648 suara (34,05%), pasangan Hendardji Supandji-Ahmad Riza Patria dengan 85.990 suara (1,98%), pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama 1.847.157 suara (42,60%), pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik Junaedi Rachbini mendapat  508.113 (11,72%). Pasangan  Faisal Batubara-Biem Benyamin mendapat dukungan 215.935 suara (4,98%) dan pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono memperoleh 202.643 suara (4,67%).

Secara resmi total jumlah suara sah seluruh pasangan calon 4.336.486. Jumlah suara tidak sah 93.047. Sehingga jumlah total suara sah dan tidak sah, 4.429.533. Jumlah data pemilih yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilukada DKI Jakarta, laki-laki 3.543.970, perempuan 3.418.378, jumlah total DPT adalah 6.962.348.

Dengan demikian maka KPU DKI menyatakan akan menggelar putaran kedua pada tanggal 20 September 2012, dimana telah ditetapkan dua pasangan yang akan maju, yaitu pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang  akan bertarung dengan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Hasil akhir KPU nampaknya tidak jauh dari hasil quick count yang disampaikan oleh beberapa lembaga  survei.

Dari DPT (Daftar Pemilih Tetap) sebanyak 6.962.348, tercatat  jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih, laki-laki 2.144.887,  perempuan 2.262.254 ( jumlah total 4.407.141). Jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih, laki-laki 1.399.083, perempuan 1.156.124 (total 2.555.207).  Dengan demikian terdapat sekitar 36,7 persen golongan putih atau mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya.

 

Siapa Parpol Penentu?

 

Karena pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta merupakan sebuah proses politik, maka sebaiknya memang kedua pasangan yang bertarung di putaran kedua harus menghitung soliditas partai pendukung, disamping citra si calon dalam pandangan konstituen. Bagaimana mengukurnya? Jawabannya hanya satu, survei. Pada putaran satu, Fauzi Bowo (Foke) merasa dibohongi hasil survei yang menyatakan dia dan Nara akan memperoleh dukungan diatas 40 persen, tetapi dalam kenyataannya Foke tergelincir dan hanya mendapat dukungan 34,05 persen. Sementara Joko Widodo (Jokowi)-Ahok yang menurut survei hanya berada di angka sekitar 14-15  persen, akhirnya melonjak dan mendapat dukungan 42,60 persen.

Dalam putaran kedua nanti, KPU DKI Jakarta tetap akan mengikuti aturan UU kekhususan Nomor 29/2007 Pasal 11 yang menyatakan bahwa kepala daerah terpilih harus mengantongi suara 50 persen plus satu. Dengan demikian, apabila dihitung secara matematis, maka peluang Jokowi-Ahok memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menang dibandingkan pasangan Foke-Nara. Akan tetapi seperti layaknya sebuah proses politik dimanapun, putaran kedua jelas tidak akan berjalan mulus tanpa adanya kepentingan baik parpol, individu serta para tokoh yang dalam ilmu intelijen dikenal sebagai key formal dan key informal individual. Selain itu para calon dan team sukses sebaiknya faham dengan sistem penghancuran seperti dalam pakem intelijen yang dikenal sebagai tindakan sabotase, teror, infiltrasi, PUS Prop (Perang Urat Syaraf dan Propaganda), riot  dan lainnya. Yang jauh lebih tidak fair dan berbahaya adalah pembelian suara.

Secara politik, maka kedua calon mau tidak mau akan memperebutkan dukungan dari cagub serta pendukungnya yang tidak lolos ke putaran kedua. Beberapa parpol dan calon yang gugur  sudah menyatakan akan abstain, tetapi yang kini jelas PKS nampaknya akan memainkan kartunya pada putaran kedua nanti.Menurut data yang ada, kita ketahui bahwa PKS adalah parpol kedua terbesar di DKI Jakarta. Perolehan suara PKS di DKI Jakarta  pada pemilu nasional tahun 2009 adalah 696.706 atau sekitar 18% dari total pemilih. Walaupun pada pilkada 2012, pasangan yang diusung PKS, Hidayat Nur wahid hanya memperoleh dukungan sebesar 11,72 persen.

Sayang memang soliditas kader dan simpatisan PKS luntur sekitar 6 persen lebih. Penulis mendapat kabar adanya sedikit perpecahan di internalnya dimana ada kelompok Keadilan dan ada kelompok Sejahtera. Walaupun gagal dalam putaran pertama, dengan modal 11,72 persen, PKS kini menjadi parpol harapan yang akan menjadi salah satu penentu kemenangan. Apabila dihitung secara sistematis Jokowi-Ahok apabila didukung suara PKS sesuai hasil putaran pertama akan berjumlah 54,32 persen, angka yang dinilai sudah cukup menjungkir balikkan Foke-Nara.

Penghitungan secara sistematis seperti diatas tidaklah menjamin suksesnya persaingan. Pengaruh terbesar dalam pemilihan pemimpin politik sangat erat terkait dengan budaya paternalistik. Si tokoh harus menjadi idola yang diharapkan, di panuti oleh konstituen. Team sukses harus sangat menghitung masalah psikologis pemilih, khususnya dimana kelompok terbesar berada. Menarik yang disampaikan Pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro, “Sebelum kampanye pilkada, sosok Jokowi sudah dicitrakan sebagai kepala daerah yang sukses dan mampu membuat perubahan. Nah, prestasi tersebut mampu menarik simpati pemilih, terutama anak-anak muda yang punya semangat perubahan,” katanya. Itulah salah satu kekuatan Jokowi.

Sementara Koordinator KIPP Girindra Sadino mengatakan, pemilih Jokowi bukan hanya mereka yang mempunyai ikatan kedaerahan, melainkan juga lapisan masyarakat bawah dan menengah yang menolak “status quo” politik. Mesin politik parpol pengusung terutama Partai Demokrat juga tidak mampu menunjukkan kapasitas sebagai organ pemenangan. Bukti perolehan suara yang hanya didapat Foke-Nara sebesar 34,05 persen menunjukkan bahwa gigi Demokrat sebagai parpol pendukung utamanya sudah tidak setajam 2009.

 

Kemana Sebaiknya PKS Berlabuh?

 

PKS belum menentukan sikapnya terkait dukungan terhadap cagub DKI Jakarta pada pemilu Gubernur-Wakil Gubernur  putaran kedua mendatang. Keputusan resmi PKS akan diumumkan sebelum Idul Fitri nanti. Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaaq menyatakan, “PKS bukan partai pedagang. Kami hanya menitipkan agenda yang sudah digagas Hidayat dan Didik tentang membangun Jakarta. Siapapun yang mau mengusung kita dukung,” ujar Luthfi di Hotel Sahid, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Minggu (29/7/2012). PKS akan melihat suara-suara dari berbagai ormas Islam untuk menangkap aspirasi yang ada di masyarakat. PKS dikatakannya tidak akan membiarkan konstituennya untuk memilih sendiri. Sebab, PKS akan menentukan calon yang didukungnya.

Dilain sisi, Sekjen PKS, Anis Matta mengatakan kepada wartawan di sela-sela buka bersama dengan kader PKS dan para tokoh di Solo, Minggu (29/7/2012) petang, bahwa suara akar rumput PKS cenderung mendukung pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. “Irisan terbesar konstituen PKS Jakarta mendukung Foke. Artinya memang grassroot lebih banyak mendukung Foke, sedangkan kalangan menengah atas kita mendukung Jokowi. Kita akan mempertimbangan suara konstituen karena memang kepentingan kita adalah merawat konstituen,” katanya. Selanjutnya Anis Mata menegaskan “Komunikasi dengan kedua calon kita lakukan dengan porsi yang sama. Pada waktunya nanti kita akan memutuskan untuk mendukung salah satu. Dukungan itu nanti mungkin bukan untuk yang lebih baik, tetapi untuk yang lebih rasional. Artinya adalah untuk kepentingan PKS kedepan menghadapi 2014.”  Anis juga mengatakan bahwa pengajuan dana untuk menggerakan mesin partai adalah sebuah konsekwensi logis dalam proses politik. Nampaknya sudah ada pembicaraan soal tawar menawar dukungan.

Bagaimana apabila diukur dalam proses politik dari data basic descriptive intelligence?. PKS sejak pemilu 2004 selalu bergandeng tangan dengan Partai Demokrat, walaupun dinamika politik antara kedua parpol tidaklah selalu berjalan mulus. Hingga pilpres 2009, PKS tetap bergandeng tangan dengan Demokrat dan sebagai imbal jasa partai ini diberi empat kursi di Kabinet. PKS selama ini kurang sejalan dengan PDIP, karena terus merapat ke Demokrat (dibaca Pak SBY). Itulah kecerdikan PKS yang mendapat posisi kursi gemuk kabinet.

Apakah PKS dalam pemilu Cagub-Cawagub  di DKI akan bergabung dengan pasangan Foke-Nara yang didukung Partai Demokrat? Nampaknya ada kelompok yang lebih cenderung ke Foke-Nara. Indikasi turun serta tidak solidnya  dukungan terhadap Hidayat Nur Wahid pada putaran pertama mulai lebih jelas menunjukkan adanya dualisme tokoh pada putaran pertama. Khususnya apabila dikaitkan dengan pernyataan Anis Mata di Solo tersebut. Pemilih di DKI mayoritas memang berada berada di grassroot.

Pertanyaannya, apabila dikaitkan dengan 2014 mendatang, apakah elit PKS akan tetap bersatu dengan Partai Demokrat? Inilah sebuah ujian berat elit PKS. Karena dari hasil putaran pertama saja ‘pamor’ Demokrat nampak telah luntur di DKI Jakarta. Apakah pada 2014 Demokrat masih menjadi jawara pemilu dan pilpres, bila dikaitkan dengan tidak majunya SBY sebagai tokoh utama?. Dari hasil beberapa survei yang pernah muncul, besar kemungkinan perolehan suara Partai Demokrat pada 2014 nanti bisa berada dibawah PDIP dan Golkar. Kasus-kasus negatif berbau korupsi sangat menghancurkan partai ini. Inilah gambaran yang akan terjadi pada 2014. Selain itu Demokrat hingga kini belum memiliki capres kuat yang akan didukungnya.

Sementara, apabila dihitung secara realistis, PDIP kemungkinan akan menjadi partai masa depan pada 2014. Jadi, akan lebih realistis apabila PKS kali ini “break off” dari Foke dan Demokrat, kemudian  membangun dukungan terhadap Jokowi sebagai representasi PDIP. Menurut penulis, posisi Megawati masih akan menjadi capres terkuat dan berpeluang besar memenangkan pilpres 2014. Inilah peluang terbaik PKS apabila diukur dari kepentingan politik dimasa depan. Agak kurang menguntungkan apabila PKS tetap mengaitkan dirinya dengan Demokrat dalam Pilkada DKI ini.

Demikian analisa politik yang di dasari fakta yang keluar dari PKS. Lain halnya apabila ada pengaruh kepentingan utama lainnya, yaitu soal kesejahteraan, yang akan dimainkan sebagai truf card dari Foke. Wajar memang di politik, soal uang itu, bargaining power incumbent hanya berada di point ini. Dalam berpolitik, kesetiaan hanyalah nomor sekian, yang utama adalah kepentingan. Menjelang sahur, penulis akhiri  sedikit analisa kemana idealnya PKS memberikan suaranya pada putaran kedua pilkada DKI Jakarta, semoga bermanfaat bagi para pembaca budiman.

Prayitno Ramelan (www.ramalanintelijen.net)

Sumber : www.kompasiana.com/prayitnoramelan

 

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.