Intelijen Mengukur Foke dan Jokowi terkait Serangan Rhoma

4 August 2012 | 2:42 am | Dilihat : 967

Ceramah Raja dangdut Rhoma Irama, Minggu malam, 29 Juli 2012, saat shalat tarawih di Masjid Al Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat cukup mengejutkan banyak pihak. Dalam ceramah itu, Rhoma melakukan kampanye terselubung sekaligus memojokkan pasangan calon lain, Joko Widodo-Basuki Tjahaja, dengan isu SARA.

Seorang jemaah melaporkan kejadian tersebut kepada Panwaslu. Laporan tersebut juga disertai dengan rekaman video berdurasi tujuh menit. "Dari rekaman, Rhoma melakukan penghinaan dengan isu SARA," kata Radamsyah Ketua Panwaslu DKI Jakarta. Dengan kejadian tersebut, Rhoma dianggap melanggar ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Ia melanggar Pasal 116 Ayat 1 tentang kampanye di luar jadwal dan Pasal 116 Ayat 2 tentang penghinaan terhadap calon gubernur dengan isu SARA. Ia terancam dijerat hukuman penjara tiga sampai 18 bulan.

Fauzi Bowo alias Foke menganggap  Rhoma  tidak melakukan pelanggaran tindak pidana pemilu walau ceramah Rhoma menghina calon gubernur lainnya dengan isu SARA. Ceramah itu  hanya khotbah yang biasa dilakukan di masjid-masjid. “Lihat saja penjelasannya. Jelas, ia tidak memasuki area SARA. Hanya menyampaikan ayat suci Al-Quran kepada umat. Seperti khatib berceramah mengenai ajaran Islam kepada umat Islam," kata Foke.

Kini timbul pertanyaan, dengan serangan Rhoma terhadap Ahok, Cawagub dari Joko Widodo (Jokowi), akan runtuhkah kredibilitas lawan Foke-Nara itu di putaran kedua Pilkada yang akan diselenggarakan pada 20 September 2012?. Akan menangkah incumbent pada putaran kedua, yang runtuh kredibilitasnya pada putaran pertama? Mari kita bahas dan ukur dengan sedikit analisa intelijen.

Dalam persiapan sebuah perang, intelijen mempersiapkan data-data mengenai lawan serta cara melumpuhkan. Data yang utama adalah kekuatan, kemudian kemampuan dan terakhir kerawanan. Kekuatan berarti jumlah, baik mesin perang ataupun sumber daya manusia yang terdidik untuk maju kemedan laga. Nah, kalau Fauzi Bowo sebenarnya mempunyai kekuatan cukup besar besar. Paling tidak jaring yang dimiliki Foke (apabila dibina dengan benar) sangat kuat. Kekuatan Foke berada pada kalangan pengajian dan masyarakat Betawi.

Foke juga didukung sejumlah tokoh besar. Saat kampanye pasangan Foke-Nara pada putaran pertama di lapangan Soemantri Brodjonegoro, Sabtu (30/6/2012), nampak sejumlah tokoh nasional hadir. Diantaranya,  mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, mantan Menteri Kehutanan MS Kaban, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mennakertrans) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PBNU Kiai Haji Hasyim Muzadi, dan mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan Tuty Alawiyah, disamping Rhoma Irama yang  selalu muncul sebagai ikon iklan bagi pasangan Foke-Nara.

Dari kekuatan tersebut, Foke sebagai incumbent mampu membangun kekuatan, dimana pada awalnya kemampuannya mempengaruhi konstituen terlihat dari berbagai hasil survei. Hasil survei Cyrus Network pada Desember 2011 memperlihatkan bahwa elektabilitas Foke berada pada angka 25,3 persen, sementara Jokowi hanya 6 persen. Tetapi pada survei bulan Januari 2012, elektabilitas Jokowi naik drastis menjadi 17,3 persen sementara Foke justru turun menjadi 24 persen. Dan survei menyebutkan pada akhir Januari 2012, bahwa 38 persen konstituen memilih Jokowi sebagai gubernur, dibandingkan 34 persen yang memilih Foke.

Apabila kita ukur kekuatan dan kemampuan pasangan Jokowi-Ahok, maka yang muncul adalah persepsi publik yang hanya mengukur cagub Jokowi, tanpa mengukur elektabilitas Ahok. Apa sebenarnya kekuatan Jokowi? Kekuatannya berada pada media pendukungnya. Menurut peneliti survei Burhanudin Muhtadi, basis Jokowi berada pada kalangan atas dan atas menengah, terutama kekuatan publikasi berita dia sebagai 25 Walikota terbaik di dunia. Kekuatan media  tersebut mampu mempengaruhi publik dan memunculkan harapan baru di masyarakat.

Menurut LSI, saat putaran pertama, swing voters berada dikisaran angka 30 persen. Jokowi dengan strategi yang pas saat kampanye, dimana pendapatnya dinilai berani, sementara Foke jauh lebih hati-hati, ini pengaruhnya besar, rakyat bosan dengan ketidak beranian pemimpin.  Menarik menyikapi angka kemenangan Jokowi yang mengungguli Foke pada putaran pertama, di Jakarta Timur (40 persen), Jakarta Pusat (45,8 persen), Jakarta Utara (47,4 persen) , sementara Foke hanya unggul di Jakarta Selatan (37,8 persen). yang lebih menarik TPS ditempat khusus para Narapidana, di Lapas Cipinang dari 1090 pemilih, Jokowi unggul, mendapat 580 pemilih, sementara Foke 309. Tetapi di Lapas Narkotika Cipinang dari 2.165 pemilih, Foke dipilih oleh 861 narapidana, dan Jokowi dipilih 362 orang.

Setelah melihat kekuatan dan kemampuan kedua pasangan, suatu hal terpenting diketahui adalah masalah kerawanan. Kerawanan dalam intelijen disebut sebagai kelemahan mendasar, yang apabila di eksploitir oleh lawan akan dapat menyebabkan kelumpuhan. Nah, kalau kita pelajari serangan Rhoma terhadap Ahok sebagai wakil Jokowi dari sisi kepercayaan agama, timbul pertanyaan, apakah ini kerawanan Jokowi-Ahok? Menurut penulis sisi tersebut bukan kerawanan. Ahok bukanlah permeran utama. Yang perlu diingat, dalam sebuah pemilihan langsung, baik itu Presiden atau Kepala Daerah, peran atau titik fokus pemilih akan tertuju kepada si nomor satu. Nomor dua (wakil) perannya dapat dikatakan kecil. Kita lihat saja, elektabilitas umumnya hanya mengukur cagub, tanpa cawagub.

Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa konstituen di Indonesia, sebanyak 80 persen lebih berada pada kelompok tengah (nasionalis), sementara kelompok agama hanya berada di pinggir. Sebenarnya Foke yang diusung oleh Partai Demokrat menurut perhitungan harusnya mampu mengungguli Jokowi pada putaran pertama. Akan tetapi anjlognya citra Partai Demokrat sebagai akibat berita-berita negatif yang tidak ter-counter menyebabkan mesin partai tidak mampu memberdayakan kader dan simpatisannya. Kekuatan hanya berada pada sisa-sisa nama besar Foke dengan dukungan jaringannya. Titik rawan Foke berada pada nada sumbang kebosanan rakyat Jakarta terhadapnya, dimana harapan terhadap prestasi Foke menjadi semakin tipis. Ini yang akan menjadi potensi utama dan bisa  menyebabkan kelumpuhan permanen.

Dengan demikian, menurut penulis, isu SARA justru pada saatnya akan berbalik arah dan menjadikan pasangan Jokowi-Ahok dinilai publik menjadi pasangan yang terzholimi. Pengaruh Rhoma di politik tidak sekuat pengaruhnya sebagai seorang raja dangdut. Segmen pasarnya  jelas berbeda. Kalau di politik mungkin pengaruhnya kalah apabila dibandingkan dengan Kong Jaing dari Radio Dangdut misalnya. Peran Rhoma, bersama Mantan Gubernur Sutijoso, Tuty Alawiyah dan Arief Rahman yang mendukung Foke dengan iklan yang menggebu-gebu terbukti tidak mampu mengangkat citra Foke pada putaran pertama.

Yang perlu diketahui, konstituen bukan melihat siapa yang mendukung si calon Gubernur, tidak perduli baik parpol ataupun perorangan. Mereka menilai siapa si tokoh tersebut dan apa yang akan dikerjakan calon tersebut. Disini nilai kredibilitas, kompetensi, integritas yang lebih berpengaruh dalam pandangan kacamata konstituen Jakarta yang demikian heterogen. Mereka akan memilih Gubernur, siapapun dia, yang penting rakyat Jakarta mempunyai harapan masa depan yang lebih baik. Rakyat bosan dengan macet misalnya, dan melihat beberapa konsep Jokowi di Solo mungkin bisa diterapkan di Jakarta.

Nah, dengan demikian,  kalau mau menyerang dengan senjata yang berbahaya, sebaiknya tanya dahulu ke adviser intelijen dalam team suksesnya. Jangan asal menyerang dan menyebar senjata kimia. Apabila koordinat salah, informasi salah, salah-salah senjata pemusnah masal tersebut justru akan menghantam pasukannya sendiri. Bisa-bisa kelumpuhan permanen justru akan terjadi di pihak Foke. Kenapa? Rakyat bosan dengan gaya lama yang tidak fair, rakyat Jakarta butuh pemimpin yang menang persaingan dengan cara-cara halal, terlebih di bulan suci Ramadhan. Yah begitulah, selamat jalan Bang Foke! Ups, maaf, maksudnya selamat jalan-jalan mengunjungi kampung-kampung di Jakarta. Maapin ane kalo ade yang kesinggung.

Prayitno Ramelan (Bang Ramelan), Murid pencak dari bang Aspas, cucu murid Bek Kuru. www.ramalanintelijen.net

Ilustrasi Gambar : metro.news.viva.co.id

 

 

 

 

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.