TNI AU yang Semakin Kuat dan Percaya Diri

10 April 2012 | 4:45 am | Dilihat : 2947

Pada hari Senin, tanggal 9 April 2012, penulis menghadiri undangan upacara peringatan HUT ke -66 TNI Angkatan Udara di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma. Acara parade HUT TNI AU tersebut telah  membuat para purnawirawan, semua insan udara serta hadirin dan undangan lainnya menjadi kagum dan bangga. Kagum dengan penampilan kemampuan tempur dan atraksi udara yang demikian memukau. Gemuruh suara jet tempur yang ber manuver memperagakan sebuah operasi udara, diselingi dengan dentuman bahan peledak serta beberapa aksi spektakuler lainnya dari berbagai jenis pesawat diantaranya  Sukhoi, F-16, Hawk-109/209, C-130, Boeing 737, Cassa-235, Helli Puma dan Heli  Colibri.

Rangkaian kegiatan dilengkapi juga dengan atraksi Team Aerobatic Jupiter dengan pesawat KT-1, serta demo pasukan anti teror Korpaskhasau Detasemen “Bravo,” terjun tempur dan statik. Dilanjutkan dengan demo penyelamatan penerbang di medan tempur membuat para undangan serta masyarakat yang menyaksikan  menjadi terpukau tak bergerak hingga berakhirnya seluruh rangkaian acara.

Dibawah kepemimpinan Kasau, Marsekal TNI Imam Sufaat, kekuatan udara dibangun sesuai dengan arahan yang disampaikan oleh Presiden SBY pada pembukaan Rapat Pimpinan TNI dan Polri tahun 2012 di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta, pada hari  Jumat (20/1). Presiden menegaskan  perlu dilakukan percepatan modernisasi dan pembangunan kekuatan TNI untuk tiga tahun kedepan. Modernisasi dan pembangunan kekuatan ini diarahkan agar kekuatan TNI makin mendekati postur 'Minimum Essensial Force' (MEF) yang ditetapkan dalam kebijakan dan strategi pertahanan negara, baik untuk Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

“Kita mendapatkan justifikasi moral karena ekonomi kita tumbuh dengan baik dan lebih banyak lagi anggaran yang tersedia untuk melakukan pembangunan kekuatan itu,” kata Presiden. Menurut Presiden, selama 20 tahun terakhir sesungguhnya Indonesia tidak melakukan modernisasi dan pembangunan kekuatan secara penuh. Namun itu bisa dijelaskan antara lain karena 10 tahun sejak terjadinya perubahan dramatis 1998-2008, ekonomi kita jatuh yang berawal dari krisis. Kemudian kami bangun kembali secara bertahap.

“Baru pada beberapa tahun terakhir ekonomi kita tumbuh kuat sehingga memungkinkan untuk mengalokasikan anggaran yang lebih besar lagi bagi pembangunan kekuatan TNI-Polri. Lakukan perencanaan dengan baik, dan dilaksanakan dengan baik pula. Gunakan anggaran yang dialokasikan negara yang jumlahnya cukup besar. Cegah terjadinya penyimpangan,” tegas presiden.

Nah, pada peringatan HUT ke-66 ini, TNI AU memperlihatkan awal kebangkitannya. Tema yang dipilih menegaskan sikap TNI AU dalam menyongsong masa depan, “Dengan Profesionalisme dan Motivasi yang Tinggi, TNI Angkatan Udara Siap Menyongsong Modernisasi Alutsista dan Memberikan yang Terbaik untuk Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Angkatan udara memang akan menjadi kekuatan penentu apabila diukur dengan kekuatan dan kemampuannya dalam mempertahankan wilayah serta kemampuan penggempurnya. TNI AU mempunyai sejarah panjang dalam menjaga wilayah dirgantara, kekuatan udara dari masa ke masa dimanapun akan sangat tergantung kepada situasi dan kebijakan politik serta kondisi perekonomian negara. Yang jelas dan pasti, pengadaan pesawat tambahan bagi TNI AU akan  disesuaikan dengan Renstra dan tidak lari dari landasan berpikir yang bermuara pada kekuatan pokok minimum (MEF). Nah, kini pimpinan nasional telah membuat keputusan, itulah yang telah diterjemahkan oleh pimpinan TNI AU.

Antara TNI AU dan RAAF

Dari sejarah panjangnya, TNI AU pada tahun 1961 pernah memiliki kekuatan udara yang membuat banyak negara menjadi 'ngeri,' khususnya negara disekitar Indonesia. Untuk mengukur kekuatan dan kemampuan, penulis mencoba mengulas antara TNI AU dengan RAAF (AU Australia) dengan fakta yang ada.

Dalam konflik perebutan Irian Barat,  AURI (TNI AU) memiliki 25 unit pesawat bomber Tu-16KS-1. Pesawat-pesawat ini digunakan untuk mempersiapkan diri dalam Operasi Trikora tahun 1962 dalam upaya merebut kembali Irian Barat dari Belanda. Sebanyak 14 unit Tu-16 tergabung dalam Skadron 41 dan sisanya di Skadron 42, dimana kedua skadron ini bermarkas di Pangkalan Udara AURI Iswahyudi, di Madiun, Jawa Timur. Disamping itu AURI masih dilengkapi dengan pesawat tempur Mig-15, Mig-17, Mig-19, Mig-21 dan pembom ringan Il-28.

Dimilikinya TU-16 sebagai pesawat pembom modern saat itu, membuat Belanda atas saran AS akhirnya melepaskan Irian Barat kepada Indonesia, setelah AS membuktikan keberadaan TU -16 di Lanud Iswahyudi. Diplomasi kekuatan militer menunjukkan bahwa pressure ancaman secara halus dengan sedikit 'show of force' akan dapat merubah keputusan politik 180 derajat.  Walaupun pada akhirnya dengan terjadinya perubahan politik di dalam negeri Indonesia,  semua unit Tu-16 tadi  tidak diterbangkan lagi pada  tahun 1969 dan keluar dari armada AURI di tahun 1970.

Pada saat masih aktif bertugas di TNI AU, penulis dalam suatu kesempatan mengikuti kunjungan Kepala Staf TNI AU ke Australia. Salah satu perwira Royal Australian Air Force (RAAF) mengatakan, bahwa Australia memutuskan membeli 24 buah pesawat F-111C dari pabrik General Dynamics karena Indonesia. Pembelian F-111 "Aardvark" sebagai  medium-range interdictor dan tactical strike aircraft juga mempunyai peran sebagai  strategic bomber dan juga sebagai pesawat pengintai salah satu alasan utamanya untuk mengimbangi AU Indonesia. Perwira tersebut mengatakan bahwa Australia belajar banyak dari Indonesia dalam menilai pentingnya AU harus memiliki pesawat penyerang strategis. Mereka dimasa lalu sempat terkejut dengan keberadaan TU-16 yang dianggapnya mampu mengancam negaranya.

Kini, TNI AU selain memiliki pesawat hasil  produksi negara-negara Barat, juga memiliki pesawat tempur dari Rusia yang tidak kalah canggihnya (SU27/30).  Sementara Australia telah memutuskan pada tahun 2007  membeli 24 buah pesawat FA-18F Super Hornet seharga A$ 2,9 miliar, sebagai pesawat sementara sambil menunggu pengiriman F-35 Lightning II yang mereka pesan. FA-18 ini oleh RAAF rencananya  difungsikan sebagai pengganti F-111 yang dipensiun pada akhir tahun 2010.

Pengadaan ke-24 pesawat dengan biaya pelatihan dan dukungan lebih dari 10 tahun sebesar  A$6 miliar (US$4,6 miliar) telah menimbulkan kontroversi di Australia. Beberapa kritikus termasuk beberapa purnawirawan RAAF senior, diantaranya Air Vice Marshal (Ret) Peter Criss, mantan Air Commander Australia mengatakan ia "sangat terkejut" bahwa pemerintah Australia akan menghabiskan $ 6 milyar untuk Super Hornet.

Criss  mengutip pernyataan yang  di keluarkan oleh US Senate Armed Services Committee,  bahwa Super Hornet Blok I kemampuannya lebih rendah dibandingkan dengan  MiG-29 dan Su-30 yang sudah dimiliki beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk yang baru memesannya (Indonesia). Selain itu Air Comodore (Ret) Ted Bushell menyatakan bahwa F/A-18F tidak bisa melakukan peran seperti  yang disyaratkan  oleh pemerintah Australia.

Dengan demikian, keberadaan Sukhoi TNI AU nampaknya telah membuat Australia menjadi kurang nyaman, hingga mereka pada saatnya nanti sudah  memiliki pesawat tempur terbaru F-35  yang dipesan seperti yang dimiliki oleh Jepang. Inilah bukti sebuah strategi sukses keputusan pengadaan pesawat tempur sebagai alutsista (Alat Utama Sistem Senjata) utama dari TNI AU.

Pengembangan Kekuatan TNI AU

Kepala Staf TNI AU Imam Sufaat  menyebutkan beberapa pesawat yang didatangkan hingga 2014, diantaranya 6 unit Sukhoi, 24 unit F-16, 16 unit Super Tucano, 16 unit jet latih tempur Korea T-50. Sejumlah pesawat angkut juga dibeli antara lain sembilan CN- 295, CN-235, serta helikopter Super Puma. Dari perincian itu, empat Super Tucano dan dua CN-295 akan datang pada  tahun ini.

Dengan penambahan 24 pesawat F-16, total keseluruhan pesawat tempur jenis tersebut  menjadi 36 pesawat. “Kita akan buat skadron baru F-16 di Pekan Baru,” katanya. Pemilihan lokasi atas pertimbangan bahwa ada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) di wilayah Pulau Sumatera sehingga dibutuhkan pesawat tempur untuk menjaga supremasi udara. Untuk menjaga ALKI di Indonesia timur, belum ada rencana pembentukan skadron tempur di sana. Sejauh ini TNI AU masih mengandalkan skadron  Sukhoi yang home base-nya di Lanud Hasanuddin, Makassar.

Kasau menyebutkan, TNI AU sudah memrogramkan penambahan jumlah penerbang. Hal ini untuk mengimbangi semakin banyaknya pesawat yang dimiliki TNI Angkatan Udara ke depan. Di antara program yang dijalankan adalah dengan menambah jumlah siswa penerbang. “Kalau tadinya 30 orang, sekarang menjadi 40. Kita juga membuka ikatan dinas pendek (IDP) , yang sebelumnya tidak ada,” kata Kasau. IDP adalah program pembentukan penerbang TNI AU diluar jalur Akademi.

TNI AU sangat perlu  membeli simulator pesawat Sukhoi. Selama ini yang dilakukan  dengan mengirimkan penerbang mengikuti pelatihan di luar negeri. Biaya pelatihan, menurutnya mahal dan berisiko besar, karena kelemahan penerbang TNI AU akan diketahui negara lain. "Padahal di sini skill penerbanglah yang menentukan ketimbang kemampuan pesawatnya. Dengan adanya simulator, kita bisa mencetak pilot handal tanpa diketahui kemampuannya," ungkap Kasau.

Pembelian simulator ini juga untuk menghemat pengeluaran operasional Sukhoi dan jaminan keselamatan pilot selama operasional. Dengan  simulator  akan lebih efisien, baik dari jam terbang maupun biaya.“Satu jam terbang Sukhoi sangat mahal, mencapai Rp500 juta. Di Rusia saja memakai simulator atau pesawat pendamping. Sukhoi baru benar-benar dikeluarkan kalau ada ancaman,” jelasnya. Ada beberapa produk simulator yang dijajaki  seperti Rusia, China, Kanada. Disesuaikan dengan kemampuan bahasa. Sekarang kita sudah  mempunyai simulator Hawk, F-16, dan Hercules,” katanya.

Demikian perkembangan TNI AU dalam rangka berbenah diri. Dalam sebuah sistem pertahanan, dibutuhkan pertahanan berlapis yang menurut teorinya terdiri dari, radar, peluru kendali, pesawat tempur sergap dan meriam penangkis serangan udara. TNI AU telah menempatkan beberapa radar di kawasan Timur Indonesia untuk menutup dan memonitor pergerakan pesawat asing yang terbang melintas  tanpa ijin. Kebutuhan lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengadaan peluru kendali tambahan.

Dengan keputusan besar dan positif  dari Presiden SBY, dukungan politis dan kemampuan perekonomian Indonesia, TNI AU dituntut untuk lebih giat, teliti dan aman (meniadakan penyimpangan) dalam melakukan pembenahan tersebut. Hal ini sangat penting untuk pertanggung jawabannya kepada rakyat Indonesia.  Dibawah kepemimpinan Marsekal Imam Sufaat yang juga seorang penerbang tempur handal, penulis yakin TNI AU dimasa mendatang  akan menjadi kekuatan pertahanan yang semakin diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara. Semakin kuat dan percaya diri, itulah yang harus dibuktikan bersama. Bravo dan Dirgahayu TNI AU!. Yang ikut bangga, Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

 

 

 

 

 

This entry was posted in Hankam. Bookmark the permalink.