Intelijen Bertawaf (Season-1)

10 August 2009 | 12:45 am | Dilihat : 149

Pada suatu hari seorang teman penulis saat kami ngopi di Bistro Deliferance PIM-2  berkelakar, "Departemen apa yang paling kuat jaringannya, tetapi yang paling tidak berdaya?." Berbagai jawaban teman yang lain muncul, Dephan, Deptan, Depkes sampai Depdagri. Ternyata jawaban teman itu mengejutkan, Departemen  Agama, katanya. Kenapa? Rumusnya sederhana, katanya. Bayangkan  berapa jumlah mesjid, musholla, gereja sampai vihara di Indonesia. Kenapa tidak berdaya?.  Karena dalam kegiatan ibadah sehari-hari mereka langsung ke Tuhan Yang Maha Kuasa, tak pernah menyinggung Departemen Agama sedikitpun. Penulis mendengar kata jaringan, begitu pulang terinspirasi membuat artikel, maka jadilah tulisan sederhana ini. Selamat membaca sahabat, semoga bermanfaat. Sale-sale kate maapin deh, mau puasa nih.

Dalam intelijen, jaringan atau 'indra' merupakan salah satu elemen strategis yang harus terkoordinasi hingga menghasilkan manfaat yang optimal. Pada tahun 1974, Alm Jenderal LB Moerdani 'sang legenda intelijen' dipanggil pulang dari Korea Selatan, beliau mendapat tugas membenahi berbagai jaringan dan institusi intelijen yang tumpang tindih dan selalu bersaing satu sama lainnya.

Sekarang, apa hubungan antara tawaf dan Intelijen? Kenapa intelijen harus bertawaf? Tawaf itu adalah kodrat Ilahi, jangankan manusia, alam semesta saja bertawaf. Bulan bergerak mengelilingi bumi, bumi mengelilingi matahari. Matahari sebagai bagian salah satu Bimasakti mengelilingi induknya. Bimasakti juga bergerak. Jadi hakikat tawaf adalah "gerak." Yang patut diingat, gerak dalam hakikat tawaf adalah gerakan yang teratur dan terstruktur. Baik itu gerakan yang sudah menjadi ketentuan Tuhan, seperti gerakan jagat raya tadi. Disisi lain ada pula katagori gerakan, dimana Tuhan memberi manusia keleluasaan untuk menentukan polanya. Konsekuensi logisnya, ya harus ditanggung sendiri oleh si manusia itu.

Banyak contoh, misalnya perjalanan industri minyak kita. Pada awal 70-an, Pertamina adalah guru yang mengajari Malaysia membangun "oil industry." Lihat kini, setelah 40 tahun, kondisinya berubah drastis. Petronas sudah 'sprint', pertamina masih saja 'warming up'. Dengan sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya raya, agak aneh kalau kita masih import minyak. Mungkin ini disebabkan kebijakan masa lalu, atau sebab-sebab lainnya. Apapun alasannya, hakikatnya sangat jelas. Petronas melakukan tawaf secara sistematis dan terstruktur pada 40 tahun terakhir. Sebaliknya pengelolaan Pertamina, mungkin bertawaf, mungkin juga tidak. Andaipun bertawaf pasti memakai gaya bebas.

Demikian juga dalam dunia intelijen, pola-polanya harus juga bertawaf. Untuk menjaga dan memberi rasa aman dan nyaman ke masyarakat, intelijen bahkan harus lebih pro aktif bertawaf. Saat ini masalah yang menghantui sisi keamanan adalah teror bom, Berkaitan dengan fungsi intelijen, untuk menangkal beberapa ancaman, ada beberapa "key issues." Tiga diantaranya adalah, pertama  pola pengalangan, kedua,komando, kendali dan koordinasi, ketiga aplikasi teknologi. Disini kita tidak akan membahas sosok, fisik atau kemampuan seorang intel, tetapi lebih terfokus pada manajemen dan proses pengelolaan intelijen di ketiga isu tersebut.

DR AM Hendropriyoo, mantan Ka BIN, secara tepat mengatakan bahwa pola pikir radikalisme penyebab teror adalah produk yang dihasilkan sebagai akibat benturan budaya dan kepentingan Barat dan Timur. Radikalisme tersebut kemudian terbentuk dan tertanam dibenak manusia. Jenderal Hendro juga mengatakan, untukmencegah teror, radikalisme tersebut harus di eliminir. Dalam skala yang lebih luas, arena benturan itu sudah melebar jauh , tanpa disadari telah melewati ufuk cakrawala (over the horizon). Format radikalisme yang kita alami, sadar atau tidak sudah lebih dari sekedar teror bom. Barat sering terkejut, karena Timur seringkali lebih keBarat-Baratan.

Lalu, apa penyebabnya? Dan bagaimana kita mengelola kondisi saat ini demi mencegah radikalisme? Penyebabnya jelas mudah dideteksi, yang sulit bagaimana mengelolanya, karena seluruh komponen masyarakat harus terlibat dan ikut berpartisipasi. Kata kunci untuk 'membentuk' sekaligus 'mencegah' radikalisme adalah sama, yaitu kata yang dalam dunia intelijen dikenal sebagai penggalangan.  Penggalangan pada dasarnya adalah mengkondisikan sesuatu. Pola penggalangan bisa dilakukan terbuka atau tertutup. Pola tertutup hasilnya kecil, walau dalam beberapa kasus dapat merubah sistem disebuah negara. Kalau yang sifatnya terbuka hasilnya umumnya masif. Soal dampak yang dihasilkan, akan sangat tergentung pada tujuan dan elemen yang digunakan masing-masing pola.

Noordin M Top, buronan nomor satu di Indonesia adalah ahli penggalangan tertutup, spesialis membentuk seseorang untuk dijadikan pengantin, pada bom Bali-1,2, bom Marriott-1,2, Ritz Carlton, dan Kedubes Auatralia. Sementara dilain sisi, tanpa sadar banyak diantara kita yang ikut aktif melakukan penggalangan terbuka, untuk membentuk dan sekaligus ikut menjadi pengantin. Pengantin yang juga sama-sama radikal, namun dalam format lain. Yang menyeramkan, skalanya jauh lebih besar. Dilakukan melalui pola penggalangan yang terstruktur, sistematik dan berkesinambungan. Saat ini setiap bulan masyarakat dibombardir sekitar 150 jam tayangan infotaintment yang isinya cuma pada perselingkuhan, KDRT dan pamer materialisme. Penggalangan terbuka berasal dari media massa dengan pola sangat transparan. Khusus Stasiun TV, ada 11 stasiun skala Nasional, lebih 100 stasion lokal, 10 TV berbayar, belum lagi bioskop, tabloid, surat kabar dan portal internet. Efeknya? Kita minta ampun, karakter publik menjadi radikal dalam artian terbalik-balik.  Selingkuh bukan barang aib, tapi gaya hidup. Selingkuh tidak lagi bersembunyi, bahkan merekam diri dengan telanjang bulat dihotel dengan hand phone. Terus lagi, ketiga bomber Amrozi CS justru pernah hampir jadi pahlawan sebelum dihukum mati, karena tiap saat diberitakan tentang kehidupannya di penjara itu, bak selebritis.

Kasus KDRT seperti yang menimpa Mano dan Cici, hal yang dahulu hanya rahasia keluarga, kini dibuka lebar dimana-mana. Akibatnya "kumite" atau perkelahian bebas antar suami isteri menjadi lumrah. Show off status sosial harus tinggi, HP mirip Blackberry pun dilakukan. Diluar itu rakyat dihujani puluhan film layar lebar serial keluarga besar setan pocong, hantu mak lampir. Inilah pola-pola penggalangan terbuka, mudah dideteksi, karena terbuka, sistematis dan berkesinambungan. Ini pola 'brain washing', kalau boleh dikatakan demikian.  Dalam konteks ancaman terhadap ketahanan moral dan mental bangsa, ini jelas sangat berbahaya.

Nah, bagaimana kita melakukan 'counter?'. Secara logika mudah, kita hanya perlu melakukan hal yang sama (me-too strategy). Yang sulit, membuat konsep dan frekwensi kesinambungannya. Dibutuhkan pemikiran matang dalam membuat "integrated grand strategy" plus dana masif agar frekuensi berkesinambungan. Penggalangan membutuhkan proses. Perlu kejelian identifikasi peluang, sistem, dana dan waktu yang panjang. Pemerintah juga melakukan penggalangan melalui iklan layanan masyarakat, sayangnya muatan pesannya tampak parsial, inkonsisten dan arahnya sering kabur dari tujuan.

Disinilah intelijen berperan. Intelijen tidak identik dengan tubuh tegap, berpakaian sipil berpistol. Sebagai penangkal ancaman, manuver intelijen harus melampaui batas cakrawala. Intelijenpun sebaliknya bisa dijadikan instrumen penghancur musuh negara secara tersamar. Banyak cerita-cerita yang berkaitan dengan manuver intelijen, misalnya dibalik bubarnya Uni Soviet dan kerusuhan pemilu di Iran. Diera 'digital society' saat ini, seperti disampaikan diatas,  intelijen harus pro aktif bertawaf mengikuti arus akselerasi teknologi yang super dinamis. Dalam bukunya yang laris manis, Letjen (Purn) Sintong Pnjaitan pernah mengutip kalimat sang legenda, Jenderal Benny Moerdani (alm) "Di Indonesia, sedikit yang saya tidak tahu".

Nah, andai saja kita bisa memanfaatkan pola pengalangan sistematis dan terstruktur, ketahanan moral dan mental bangsa Indonesia akan semakin kuat. Semua pihak akan menjadi "indra" sebagai komponen sistem pertahanan rakyat semesta. Dengan kondisi ideal ini, tidak akan ada lagi celah persembunyian bagi Noordin M Top, atau orang sejenisnya.  Sehingga, mau tidak mau, akhirnya dia menjadi Noordin "Enggak" Top.

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana

Sumber: http://umum.kompasiana.com/2009/08/10/intelijen-bertawaf/

(Dibaca: 1892 kali)

This entry was posted in Umum. Bookmark the permalink.