SBY Bertemu JK, PKS Mengancam, Kubu Mega

14 April 2009 | 4:42 am | Dilihat : 56

Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Jusuf Kalla akhirnya benar-benar menemui Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (13/4) malam di kediaman SBY di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Sebelumnya, tadi siang sekitar pukul 14.00 WIB, SBY dan JK bertemu dalam rapat bidang ekonomi di Kantor Presiden, pasca-pemilu legislatif, kedua tokoh ini hanya berhubungan via telepon.  JK tiba di Puri Cikeas sekitar pukul 22.00 WIB, pertemuan berlangsung sekitar 40 menit. Tidak ada siaran resmi apa isi pertemuan kedua tokoh tersebut, sementara beberapa pihak memperkirakan pertemuan kedua pemimpin parpol itu membahas rencana koalisi kedua partai. Bisa jadi pertemuan ini juga membicarakan kemungkinannya berduetnya kembali SBY-JK di ajang Pemilihan Presiden 2009.

Sementara itu pada Senin (13/4) Sekjen PKS Anis Matta di Gedung DPR mengatakan "Kemungkinan (PKS) mempertimbangkan ulang mendukung Pak SBY, kalau menerima JK kembali. Susah membangun koalisi yang kuat kalau setiap orang datang dan pergi sesuka hati sehingga tidak bisa membangun koalisi permanen," katanya. Alasan yang diutarakan Anis, PKS tak mau terjebak dalam koalisi yang pragmatis. Selanjutnya Anis yang kini menjadi anggota Komisi III DPR mengatakan "Pak JK kan sudah keluar dari koalisi karena mau mencapreskan diri. Tidak seharusnya ketika suara Golkar turun, karena didorong pragmatisme, kemudian kembali lagi," lanjut anggota Komisi III DPR ini.

PKS ingin berada dalam barisan koalisi yang dibangun atas landasan reformis, nasionalis, dan religius. Koalisi ini, jelas dia, mengonsolidasikan partai-partai reformis yang lahir pada saat reformasi dicanangkan. Jika JK kembali dipasangkan dengan SBY, salah satu opsi PKS adalah tetap mendukung SBY sebagai presiden, tetapi tidak masuk dalam koalisinya. PKS akan memilih berada di pihak yang independen.

Partai Demokrat resmi berkoalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hal itu disampaikan Ketua DPP Partai Demokrat Hadi Utomo seusai mengikuti pertemuan di Hotel Nikko, Jakarta, Senin (13/4) malam. Pertemuan dihadiri beberapa tokoh Demokrat dan PKB. "Partai Demokrat secara resmi berkoalisi dengan PKB," kata Hadi Utomo kepada wartawan yang mencegatnya. Menurut Hadi, koalisi ini tentunya juga mengarah pada persiapan penentuan calon wakil presiden pendamping Susilo Bambang Yudhoyono.

Senin (13/4) Ketua Umum PDIP melakukan pertemuan dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto dikediaman Megawati. Pada hari yang sama, Prabowo juga melakukan pertemuan dengan Ketua Umum Partai Hanura Wiranto di Kantor DPP Hanura. Setelah pertemuan Prabowo menyatakan bahwa tidak ada masalah dirinya bertemu dengan Wiranto, dikatakannya bahwa semuanya demi mencari solusi masalah bangsa, masalah pribadi adalah masalah yang kesekian.

Mensikapi dinamika politik yang terjadi, terlihat bahwa kondisi politik masih cair, bentuk koalisi belum dapat dipastikan, pernyataan koalisi resmi yang terjadi baru antara Partai Demokrat dengan PKB. Yang terlihat dari beberapa pertemuan tokoh politik, nampaknya kini baru terbentuk dua kubu yaitu kubu SBY dan disisi lainnya kubu Megawati. Pertemuan antara SBY dengan JK di Cikeas lebih terlihat adanya signal Golkar akan kembali bergabung dengan Demokrat, karena selama ini SBY menghendaki pertemuan politik hanya dilakukan dikediaman pribadinya di Cikeas.  Oleh karena itu sesuai dengan semangat dan etika koalisi, maka apabila terjalin koalisi Demokrat-Golkar, kemungkinan pendamping SBY akan dipilih dari Golkar. JK nampaknya berpeluang besar akan kembali mendampinginya.

Rencana pertemuan SBY-Jk nampaknya terbaca oleh PKS. Sebelum pertemuan dilakukan, Sekjen PKS Anis Matta memberikan signal peringatan kepada Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, akan mundur dari koalisi apabila JK kembali bersanding dengan SBY. Alasan yang diungkapkan oleh Anis,  disebutkannya PKS tidak mau terjebak dalam koalisi pragmatis. Apabila dilihat dari sisi lain, masuknya Golkar kedalam koalisi SBY memang akan menghilangkan kesempatan "emas" dipilihnya kader PKS menjadi cawapres. PKS akan tetap mendukung SBY tetapi tidak dalam format koalisi. PKS akhirnya hanya akan menjadi parpol independen di parlemen apabila SBY kembali menang. Nampaknya PKS harus memikir ulang keputusan "tekanan politik" terhadap SBY. PKS seharusnya belajar dari kasus Pilkada DKI Jakarta, dimana sikap "over confident" akan lebih banyak merugikan dibanding keuntungan.  Dalam berpolitik, implementasi taktis sebagai bagian dari sebuah strategi besar haruslah dijaga konsistensinya.

Apabila Golkar kembali bergabung dengan Partai Demokrat, maka berdasarkan hasil sementara pileg dari KPU yang disiarkan di Metro TV, dan PKS mundur, SBY akan kehilangan dukungan 8,5% dan akan mendapat dukungan dari Golkar sebesar 14,2%. Jelas pesan tekanan dan ancaman politik terhadap SBY tidak akan melunturkan strategi yang telah dirancang jauh hari sebelumnya. SBY memang akan sangat kuat apabila tetap mampu membangun koalisi yang terdiri dari Partai Demokrat, Golkar, PKS, PKB dan PAN. Jumlah suaranya menurut data sementara KPU akan mencapai 54,6%. Sementara dari kubu Megawati yang dari signal pertemuan beberapa parpol terlihat akan terkumpul parpol PDIP, Gerindra, Hanura dan PPP, dengan jumlah suara sementara ini 27,8%.

Melihat perkembangan tersebut diatas, nampaknya sementara ini hanya akan terbentuk dua kubu untuk pilpres, karena yang mampu membentuk kubu hanya tiga partai papan atas, Demokrat, PDIP dan Golkar. Dengan adanya signal Golkar kembali merapat ke Demokrat, maka tersisa Demokrat dan PDIP yang membentuk kubu. Sebenarnya koalisi parpol dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan UU Pilpres dalam mengajukan pasangan capres-cawapres, serta penguasaan parlemen. Dalam sistem demokrasi yang kita anut, keputusan akhir di DPR apabila mengalami kemacetan, maka jalan terakhirnya adalah "voting". disinilah dibutuhkan peran koalisi partai. Sedang untuk pemilihan Presiden serta Wakil Presiden, yang jauh lebih mengemuka dan penting adalah "figur" yang diajukan. Dari pengalaman pilpres 2004, jejaring partai sulit mengontrol dan mengarahkan konstituennya.

Tidak boleh dilupakan, elektabilitas SBY masih yang tertinggi, terlebih apabila dipasangkan dengan JK dapat mencapai 51%. Kondisi ini menjadikan peluang Mega menjadi kecil, kecuali kubu Mega mampu membuat sebuah perubahan komposisi. Merapatnya Prabowo ke Mega dan diperkuat Wiranto jelas akan menaikkan kredibilitas kubu Mega, Prabowo nampaknya tokoh yang masih pantas dijual sebagai tokoh perubahan, kartu ini perlu dimainkan sebagai "jocker". Oleh karena itu kedua kubu jangan melupakan peran lembaga survei, dari sinilah awal sebuah kemenangan akan terbaca. Waktu masih cukup untuk berbuat sesuatu. Selamat bertarung.

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana

Sumber: http://umum.kompasiana.com/2009/04/14/sby-bertemu-jk-pks-mengancam-kubu-mega/ (Dibaca: 4008 kali)

This entry was posted in Umum. Bookmark the permalink.