MEMBACA AKSI OPM DARI SISI TAKTIS DAN GEOPOLITIK

16 December 2018 | 6:38 am | Dilihat : 1320

cerita-lengkap-pasukan-elite-tni-menyusup-serbu-kelompok-separatis-papua

Pasukan TNI yang bertugas di Papua (foto : merdeka)

Setelah kasus Nduga dan Mbua, muncul pertanyaan senjata mereka disebut sebagai standart NATO, dari mana dapatnya? Penulis coba menganalisis ulang sisi taktis dan strategis (Geopolitik) dari persepsi intelijen.

Mengenai asal senjata, pihak Polri (Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo) memastikan senjata yang digunakan KKB (istilah yg populer) untuk membantai para pekerja PT Istaka Karya di Nduga, Papua tanggal 2 Desember 2018 berasal dari pasar gelap serta para pemasok di PNG dan Filipina Selatan. Selain itu, mereka juga menggunakan senjata rampasan dari petugas yang berhasil direbut di Papua.

Mereka membeli senjata lewat jalur gelap (darat) dari PNG dan jalur laut dari Filipina. Disebutkan penyerang memiliki 25 pucuk senjata berbagai merek, sebagian besar senjata laras panjang.

Dari sisi kejadian, Staf Khusus Presiden Bidang Kelompok Kerja Papua, Lenis Kogoya, menduga ada aktor intelektual di balik serangan di Nduga. "Kejadian itu nggak pernah terjadi. Makanya saya curiga, siapa yang bermain ini?" katanya.

"Ini lingkaran apa? Ini bukan peristiwa yang berdiri sendiri-sendiri. Talinya tidak terputus. Makanya kepolisian, BIN, dicek baik-baik persoalan ini," kata Lenis

Analisis

Dari informasi Polri tersebut, kini sudah jelas asal muasal senjata. Menurut penulis,  yang harus di dalami siapa penyandang dana serta pengatur strategi gerilyanya. Dalam pengejaran kelompok pembantai oleh tim gabungan TNI dan Polri, justru mereka mampu balik menyerang pos baru TNI dimana dua personil TNI di pos Yigi mengalami luka tembak. Menyerang adalah salah satu cara untuk bertahan, itu yang dilakukan.

kelompok-kriminal-bersenjata-kkb-di-papua_001

Panglima Daerah Militer Makodap III Ndugama Organisasi Papua Merdeka (OPM)  Egianus Kogoya mengaku bertanggungjawab, atas penyerangan yang menewaskan puluhan pekerja jembatan di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua. Mereka  menantang TNI/Polri berperang secara gentleman. (Foto : FaktualNews)

Sebenarnya apa yg diinginkan "gerombolan pemberontak" (istilah Menhan RI), secara taktis? Mereka untuk pertama kalinya menyerang korban sipil yang banyak dengan sadis. Korban mengalami luka bacok dan tembak. Dalam pembacaan kasus serangan teror, message yang disampaikan selain untuk menimbulkan rasa takut juga menunjukkan eksistensi mereka.

Korban aksi teror walau jumlahnya sedikit bila di beritakan media akan menjadi besar, memunculkan rasa takut. Terlebih kini korban di Nduga cukup banyak dan sedang mengerjakan pekerjaan infrastruktur pemerintah demi kemajuan Papua, berita tersebut jelas menjadi lebih besar lagi dan mendunia. Itu yang mereka harapkan.

Penulis sependapat dengan apa yang dikatakan Staf Khusus Presiden Bidang Kelompok Kerja Papua, Lenis Kogoya yang menduga ada aktor intelektual di balik serangan KKB tersebut. Lenis Kogoya warga asli Papua, jelas faham sikon di sana.

Nah, intelijen bisa membuat prediksi dari indikasi, untuk mempercepat dan menjawab UUK dari user. Lebih bagus bila beberapa info yang didapat sudah diolah menjadi intelijen (info matang), akurasinya bisa 99 persen.

Ada pemain/pelatih luar yang sudah melakukan infiltrasi, jelas disamarkan, tidak mungkin mereka yg berkulit putih atau sawo matang, karena akan menyolok. Handler tersebut bisa menyatu dengan tim penyerang. Mereka adalah orang-orang terlatih, faham intelijen, sekelas pasukan komando dan faham teori teror. Keunggulan penguasaan medan dimanfaatkan agar OPM lebih efektif dan efisien dengan hasilnya maksimal, sepadan kebutuhan.

menhan RI dan AS

Saat kunjungan Menhan RI Ryamizard Ryacudu ke Pentagon disambut 21 kali salvo meriam oleh Menhan AS James Mattis (Foto : DW)

Setelah serangan, ada yang mengatakan ini mainan AS karena masalah Free Port. Menurut penulis tidak sesederhana itu melihatnya. Hubungan AS-Indonesia sangat baik.  Menhan RI Ryamizard Ryacudu itu bersahabat dan selalu berkomunikasi dengan Menhan AS, Letjen Pur James Mattis eks Marinir. Mattis dan pemerintah AS tidak akan mengirim tim Special Forces/intelijen ke Papua utk membantu OPM, terlalu kecil nilainya dan riskan bagi hubungan AS-Indonesia. Mattis sangat menghormati Ryamizard karena keduanya saling mengakui sama-sama sebagai jenderal perang. Saat ke Pentagon, Menhan RI disambut Menhan AS dengan salvo meriam 21 kali, bak kepala negara, penghormatan tertinggi utk seorang Menteri Pertahanan.

Kalau AS sebagai negara super power ingin Papua merdeka banyak jalan lain yang lebih smart dan secure. Mereka memiliki beberapa instrumen yang bisa dipergunakan kapan saja. AS justru kini waspada menjaga jangan sampai negara lain bahkan lawannya yang menguasai Papua, termasuk memerdekakan. Selain itu ada kepentingan-kepentingan lain yang dibutuhkan AS, bukan hanya masalah tambang belaka.

us marines

Pasukan Marinir AS di Pangkalan  Darwin Australia (Foto : Tribunnews)

Karena itu AS membangun pangkalan militer di Darwin dengan menempatkan ribuan marinir dan kini bersama Australia membangun pangkalan militer di PNG sebagai bagian strategi militer untuk menghadapi ancaman China di kawasan Indo Pasifik.

Kalau saja AS mengambil langkah ekstrim, bisa saja mengambil Papua, seperti menduduki Afghanistan dan Irak misalnya, 10.000 marinir mereka drop di Papua , dua kapal induk dan kapal perusak serta paketnya parkir di Biak, Sorong dan Jayapura, pusing kita melawannya. Kalau perang dengan AS, yang bantu kita siapa?  Belum ada negara lain yang mampu mengimbangi mesin perangnya. Kita takut? Jelas tidak, tetapi menyikapi perkembangan geopolitik haruslah cerdas dan cerdik penuh perhitungan.

Nah, dari sisi geopolitik, AS kini justru ingin Indonesia menjadi mitranya, berperan dalam konsep besar AS, Indo Pasifik (InPac), yang sebenarnya merupakan wilayah Pacific Command yang diperluas. Hal ini terkait dengan konsep rebalancing AS sejak tahun 2009, memindahkan wilayah kepentingan AS dari Timur Tengah ke Asia Pasifik. AS saat itu membaca bahwa China mempersiapkan akan berulah, mencoba menjadi polisi regional di Asia Pasifik yang dipikirnya kosong ditinggalkan AS, dan itu terbukti, dengan dimunculkannya konsep BRI oleh China.

Indonesia dinilai sangat penting bagi AS, karena dari posisi geografis menjadi titik sentral konflik AS vs China (InPac vs BRI). AS sudah declare, bahwa lawannya adalah  China dan Rusia. Kira-kitra begitu membaca dari sisi geopolitik dan geostrategi. Bagi Indonesia, terkait dengan politik dalam negeri, ini penting dan besar artinya bagi capres yang akan mengikuti pilpres April 2019.

Sementara ini yang mampu menembus barrier para decesion maker di AS adalah Ryamizard, signal diberikan saat penerimaan kunjungannya ke Pentagon. Selain itu signal juga diberikan oleh Presiden AS, Donals Trump yang memuji Presiden Jokowi sebagai pemimpin hebat saat menyatakan duka cita terhadap korban gempa dan tsunami  di Palu dan Donggala.

Kepentingan AS demikian besar terhadap Indonesia, ini yang perlu ditindak lanjuti oleh Presiden Jokowi (petahana, capres nomor satu) yang sudah satu langkah di depan capres nomor dua. Mereka menunggu signal, itu saja kuncinya. Persoalan pilpres tidak hanya menyangkut bidang politik saja, juga menyangkut stabilitas keamanan, external dan internal threat,  masalah ekonomi, masalah demokratisasi, HAM, diplomasi dan sebagainya. Kira-kira begitu menurut penulis.

Nah, balik ke Nduga jadi siapa dibelakang OPM yg ikut bermain itu? Ini adalah urusan bisnis dengan memainkan isu separatis seperti kasus Marawi yang mereka mainkan juga. Kelompok sempalan dari luar itu lebih bertujuan untuk mengambil keuntungan tertentu. Dalam operasi Intelijen dengan memainkan teror sebagai sarana conditioning, mereka bisa memetik keuntungan dari beberapa bidang, baik militer, ekonomi dan juga politik. Selama ada imbalannya, mereka bisa dimainkan.

Karena itu perlu segera dilaksanakan operasi counter insurgency/ terrorism termasuk taktik anti gerilya melawan gerilya. Satuan yang ahli dan dilatih untuk itu adalah pasukan-pasukan khusus TNI, mainkan itu. Operasi pengejaran nampaknya sudah membuahkan hasil, Mereka yang ada di belakang OPM  bukan negara tetapi gerombolan  yang dapat dukungan pemain luar (kontraktor bayaran).  Selain itu, TNI AD (kodam Cenderawasih) perlu lebih mengintensifkan operasi teritorial, agar sikon Papua kondusif. Begitu Perintah Operasi jelas, kemungkinan besar selesailah gerombolan pemberontak itu, termasuk handler-nya.

Papua harus dijaga Polri dengan TNI bersama-sama, tidak perlu ada egoisme di situ. Mohon kehati-hatian jangan sampai Papua jadi seperti Marawi, kita akan lebih repot menyelesaikannya. Terlebih kita sedang persiapan akan melaksanakan pilpres dan pileg pada 17 April 2019, sehingga konsentrasi aparat keamanan tidak terpecah. Selamat bertugas, semoga para pemegang amanah dan juga bangsa Indonesia dilindungi Allah SWT dgn barokahNya. Aamiin, PRAY.

Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan (Pengamat Intelijen), www.ramalanintelijen.net

This entry was posted in Hankam. Bookmark the permalink.