Setelah Diusung PDIP, Ahok-Djarot Makin Berkibar
21 September 2016 | 7:03 am | Dilihat : 1105
Pasangan Ahok-Djarot dengan Sekjen PDIP dan pengurus setelah deklarasi (Foto : detik)
Selasa kemarin PDIP menyatakan mengusung pasangan incumbent (petahana) Ahok-Djarot sebagai calon Gubernur dan calon Wagub DKI Jakarta untuk pilkada 2017. Sekjen PDIP Hasto di kantor DPP PDIP, Jakarta, Selasa (20/9/2016), menyatakan "Maka dengan ini PDIP menyatakan sebagai partai pengusung utama pasangan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017," katanya.
Menurt Hasto, Ahok-Djarot dipilih karena dalam pandangan PDIP keduanya mempunyai komitmen yang teguh dalam melaksanakan ideologi PDIP. Di mana ideologi partai tersebut yaitu Pancasila dan Tri Sakti yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan.
"Pasangan Ahok-Djarot dalam pandangan PDIP mempunyai komitmen yang teguh dalam melaksanakan ideologi PDIP. Serta mampu bersinergis dengan pemerintah pusat dalam mengejawantahkan Nawa Cita dalam praktik pemerintahan," tegas Hasto. Selain itu PDIP mampu meneruskan dan mengimplementasikan visi misi Jakarta Baru, yang sebelumnya diusung oleh pasangan Jokowi-Ahok pada 2012. "Pengumuman sengaja kami adakan secara bersama sebagai tanggung jawab kami kepada masyarakat. Bahwa menyiapkan pemimpin adalah proses yang melekat," katanya.
Memang beberapa tokoh maupun kader PDIP ada yang kecewa dengan keputusan tersebut, tetapi di dunia politik ini merupakan hal biasa, dinamika yang tidak terduga dan berkembang cepat dan memang harus disadari.
Keunggulan Ahok-Djarot Sebagai Petahana Dalam Penilaian PDIP
Dalam survei Poltracking pada 6-9 September 2016, tingkat elektabilitas Ahok masih jauh dari pesaing lainnya yang namanya mulai dimunculkan. Elektabilitas Ahok masih jauh dari pesaing di bawahnya. Yang memilih Ahok sebagai Gubernur DKI mencapai 40,77 %, sedangkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di urutan kedua 13,85 %. Menurut Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Cyrus Network, dan Populi Center, tren elektabilitas Ahok sampai saat ini stabil. Ini dipengaruhi kepuasan masyarakat terhadap pencapaian kinerja Ahok yang rata-rata 68-70%.
Ahok-Djarot Akan Tetap memimpin Jakarta? (Foto : hargatop)
Menurut survey tersebut, nama calon pendamping Ahok juga bakal mengerek elektabilitas pasangan. Survei tertinggi adalah bila Ahok dipasangkan dengan Djarot, wakilnya sekarang.sebelum Ahok mempunyai lawan yang dianggap publik potensial, maka tren elektabilitas tentu meningkat. Kini dengan lawan yang relatif semakin jelas, serta serangan dan kampanye negatif, elektabilitas Ahok jelas turun walau tidak signifikan.
Direktur Eksekutif Cyrus Network, Hasan Nasbi mengatakan, masyarakat Jakarta telah menilai pencapaian kinerja Ahok. “Masyarakat Jakarta sudah memberikan penilaian. Rata-rata tingkat kepuasan antara 68-70 %, bahkan ada di atas 70%,” ujarnya. Selama ini Ahok dinilai berhasil meningkatkan pelayanan publik seperti layanan gratis pajak bumi bangunan dengan NJOP di bawah Rp 1 miliar, biaya murah pemakaman, pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak, atau normalisasi sungai. Bahkan Ahok tak segan mengganti pejabat yang dianggap tidak becus melayani warga. Menurut Hasan, dengan hasil tersebut Ahok dipandang mereka layak kembali memimpin Jakarta kembali.
Dari hasil survey juga terlihat Ahok mempunyai pemilih loyal (strong voter) sekitar 40 persen pemilih. “Pemilih itu ada yang strong voter dan swing voter (pemilih yang bisa mengubah pilihan), dengan tingkat strong voter Ahok sekitar 40 persen jadi sesial-sialnya Ahok masih ada 40 persen,” kata Hasan. Sementara Usep dari Populi Center menuturkan, kampanye negatif bisa berpengaruh. Elektabilitas Ahok semakin menurun apabila lawan politik membangun opini ‘kegagalan’ pembangunan Jakarta.
Beberapa tokoh lain yang dilirik parpol dan konstituen adalah Sandiaga Uno, Yusril Ihza Mahendra, bahkan Rizal Ramli. Menurutnya, partai pendukung di Pilgub DKI sudah terkunci. “Polaritasnya sudah mulai terbentuk dalam tiga skema. Namun cukup dinamis, semua kemungkinan bisa saja berubah menjelang pendaftaran ke KPU,” katanya. Kemungkinan hanya ada tiga pasangan calon yang akan maju di Pilkada DKI Jakarta, yaitu Ahok-Djarot yang diusung Nasdem-Hanura-Golkar dan PDI-P, Sandiaga-Mardani yang diusung Gerindra-PKS, dan Yusril-Saefullah yang diusung Demokrat, PKB, PAN dan PPP. Walau peluang lain bisa saja muncul.
Alasan PDIP Mengusung Ahok-Djarot dan Kontrak Politik
PDIP menilai pasangan Ahok-Djarot mampu bersinergi baik dengan pemerintah pusat. Hal tersebut dianggap penting sebagai penjawantahan Nawacita pemerintah. Menurut rencana, hari Rabu (21/9) jam satu siang, PDIP akan melakukan pendaftaran secara serentak di DKI Jakarta maupun seluruh daerah lainnya.
Pertimbangan PDIP mengapa memilih Ahok dan Djarot. Pertama sebagai petahana, Ahok merupakan penerus Jokowi yang pada Pilgub DKI 2012 lalu diusung oleh PDIP. PDIP menilai pasangan Ahok-Djarot mampu bersinergi baik dengan pemerintah pusat. Hal tersebut dianggap penting sebagai penjawantahan Nawacita pemerintahPDIP
Pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat telah menandatangani kontrak politik saat pengumuman PDIP. Dimana PDIP memastikan tak ada soal mahar politik dalam kontrak tersebut. Sebelumnya Ahok menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Ketua Umum PDIP Megawati saat bertemu Selasa (20/9) sore. Disebutkannya bahwa Megawati menugaskan kepada Ahok untuk menghapuskan masalah Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) di Ibu Kota.
"Bu Mega cuma sampaikan bahwa PDIP ini partai ideologis, jelas Pancasila dilahirkan oleh Bung Karno. Jadi tidak ada lagi SARA. Masalah SARA itu sudah ketinggalan. NKRI, Pancasila. (SARA) itu sudah selesai," kata Ahok usai pengumuman di DPP PDIP, Kebagusan Jakarta, Selasa (20/9) malam.
Peluang Calon
Memang kini pasangan Ahok-Djarot, merupakan calon terkuat dibandingkan calon-calon lainnya. Keduanya telah memiliki tambahan dukungan sebanyak 28 kursi DPRD. PDIP telah bergabung dengan koalisi Partai Golkar (9 kursi), Partai Hanura (10 kursi), dan Partai NasDem (5 kursi). Pasangan ini kini telah mengantongi 52 jumlah kursi DPRD. Hal tersebut jauh melebihi batas minimal syarat untuk mengusung melalui KPU yaitu 22 kursi.
Selain itu Ahok sebagai calon Gubernur dalam satu tahun terakhir memiliki elektabilitas tertinggi, dan berpeluang dapat meraih 40 persen suara. Akan tetapi elektabilitas tersebut akan teruji setelah parpol-parpol lainnya secara resmi mendaftarkan diri ke KPU. Dalam politik dinamika bisa berjalan cepat, dan kadang dukungan besar tidak menjamin 100 persen akan menang. Sebagai contoh saat pilkada di DKI sebelumnya, Fauzi Bowo yang juga petahana, didukung demikian banyak parpol, akhirnya dikalahkan oleh pasangan yang baru muncul yaitu Jokowi-Ahok.
Oleh karena itu, walau dalam perhitungan politik, indikasi petahana akan sulit dikalahkan, calon lain akan berusaha keras mengejar ketinggalannya di DKI Jakarta. Kondisi penduduk Jakarta jelas berbeda dengan daerah lainnya, para konstituen itu sudah bersikap rasional dan melek politik. Sehingga, mereka akan memilih pemimpin yang memang sesuai dengan kebijakan pro rakyat dan kinerjanya. Memang masalah yang dimunculkan tidak pro rakyat seperti penggusuran penduduk di bantaran kali terus dimunculkan. Tetapi di lain sisi penduduk Jakarta lainnya tidak keberatan dengan langkah anti banjir tersebut.
Seperti yang pernah penulis sampaikan, bahwa akan sulit mengalahkan Ahok di bilik suara, Ahok hanya kan kalah apabila terganjal sebelumnya. Ternyata upaya menghajar Ahok dalam beberapa kasus seperti masalah RS Sumber Waras, Reklamasi misalnya tidak berhasil mengganjalnya. Dilain sisi tokoh reformasi Amin Rais yang mencoba memengaruhi dengan ucapan-ucapan kerasnya dalam menyerang Ahok menurut penulis walau bisa memengaruhi konstituen, hasilnya kurang signifikan. Pada masyarakat yang rasional dan melek politik, ada rasa kurang pas dalam hati apabila agama dipakai sebagai alat penyerang dalam berpolitik, kenyatannya demikian.
Di Jakarta, parpol dengan basis agama, kini belum mampu mengalahkan parpol nasionalis, inilah bukti bahwa rasionalitas dan kecerdasan berpolitik sebaiknya dipergunakan sebagai dasar dalam melakukan langkah politik selanjutnya. Berbeda apabila ungkapan disampaikan oleh tokoh politik dari sebuah parpol besar dengan konstituen mayoritas. Yang penulis khawatirkan, momentum pilkada jangan akhirnya menjadi alat yang dapat menimbulkan konflik horizontal dan bahkan vertikal. Semoga tidak.
Sebagai kesimpulan kemungkinan benar, peta kandidat Cagub/Cawagub DKI Jakarta yang akan maju pada pilkada 2017 akan terdiri dari tiga pasangan calon. Getaran jelas akan semakin besar karena Gubernur DKI disebut juga sebagai RI-3, sehingga patut mereka pertaruhkan. Sementara ini pasangan Ahok-Djarot masih mempunyai peluang terbesar menang. Kita lihat perkembangan lainnya.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net