Hillary, Pertarungan Ideologi dan Teror di Indonesia

5 September 2012 | 10:04 am | Dilihat : 557

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton  mendarat  di Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta, Senin (3/9), pukul 18.00 WIB dengan menggunakan pesawat khusus  bertuliskan United States of America. Kedatangan Menlu AS tersebut  dalam rangka kunjungan  kerjanya di Indonesia, dalam sebuah lawatan kebeberapa negara lainnya. Kunjungan Hillary ke kawasan Asia Pasifik banyak mendapat perhatian masyarakat dunia, karena dialah tangan kanan terpenting dari Presiden AS, Barrack Obama. Salah satu orang yang paling berpengaruh di Amerika.

Rangkaian kunjungan selama sepuluh hari dimulai dari Cook Island, di kawasan Pasifik Selatan dalam rangka menghadiri Pacific Island Forum, yaitu sebuah konperensi tahunan  dari 16 negara yang terletak di kepulauan Pasifik. Setelah itu Hillary dijadwalkan akan berkunjung ke China, Timor Leste, dan Brunei Darussalam dan pada akhir lawatannya Menlu AS tersebut akan menghadiri KTT Kerja Sama Ekonomi Asia- Pasifik (APEC) di Vladivostok, Rusia pada 8-9 September.

Berbicara setelah usai  pertemuan tertutup dengan Menlu RI Marty Natalegawa, dijelaskannya kunjungan ke Indonesia untuk melakukan kerja sama bilateral dan membahas pelaksanaan kemitraan komprehensif antara kedua negara. Salah satu topik yang dikatakannya secara lebih spesifik adalah Hillary memperingatkan Indonesia terhadap bahaya ancaman terorisme. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia menjadi target aksi terorisme. Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton meminta Indonesia meningkatkan kewaspadaan atas aksi-aksi terorisme yang terjadi di berbagai negara. “Banyak negara juga menjadi sasaran, bahkan ada tujuan politik di dalamnya. Di negara demokrasi yang besar seperti Indonesia, peluang itu ada,” ucap Hillary.

Menlu Marty Natalegawa mengatakan, Indonesia akan terus bekerja sama dengan AS dalam upaya pemberantasan terorisme. “Kita saling mendukung baik dalam melakukan penyelidikan maupun penindakan,” kata Marty.  Menlu Hillary  mengatakan bahwa kedua negara sepakat untuk memromosikan demokrasi dan hak asasi manusia. Dia mengatakan, tidak boleh ada diskriminasi, pada kelompok-kelompok minoritas, agama, sekte dan etnis. "Kami menyerukan kebebasan dan toleransi untuk semua," katanya.

Penulis sangat tertarik dengan statement Menlu AS tersebut. Dikatakannya bahwa sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia menjadi target aksi terorisme, ditekankannya peluang itu ada, disamping banyak negara lain juga menjadi sasaran. Penulis mencoba mengulas statement ini, yang apabila diterjemahkan secara eksplisit, akan menjawab pertanyaan, kenapa teror terus terjadi di Indonesia.

Indonesia telah melakukan reformasi selama lebih kurang 14 tahun, dimana kita bersama sejak 1998 sepakat memakai sistem demokrasi. Dalam perjalanannya, kita bersama melihat bahwa demokrasi yang kita pergunakan adalah demokrasi kebebasan atau demokrasi liberal, dan demokrasi itu mengijinkan atau membolehkan semua ideologi untuk berkembang karena Hak Asasi Manusia (HAM). Demokrasi yang kini kita pergunakan adalah sebuah sistem yang mengadopsi dari negara Barat, walaupun tidak sepenuhnya ditiru. Tetapi ada yang dilupakan, bahwa konsensus nasional menyetujui bahwa Pancasila tidak mengijinkan ideologi yang bertentangan dengan Panca Sila demi Hak Asasi Bangsa, bukan Hak Asasi Manusia.

Apabila kita cermati perkembangan paham atau sistem di dunia internasional, impian Internasionalisasi Global sebagai cover dari paham liberalisme di dunia internasional telah bertabrakan dengan internasionalisasi Islam (fundamentalis). Terlihat kedua faham tersebut terlibat konflik kepentingan, termasuk konflik kekerasan fisik terutama di kawasan Timur Tengah. Nah, di Indonesia, dimana kita sejak tahun 1998 mengadopsi demokrasi liberal, yang kemudian mengijinkan atau  membolehkan semua ideologi berkembang, kemudian terjadilah pertarungan beberapa ideologi.  Maka kondisi ini dimanfaatkan oleh para teroris itu ditengah ketidak berdayaannya, dengan melakukan aksi terornya. Dengan demikian maka teror yang terjadi di Indonesia  akan terus  muncul sebagai dampak dari pertarungan ideologi dan keterpinggiran.

Pandangan tersebut penulis sampaikan dalam sebuah talk show pada pagi ini Rabu (5/9) di TV One dalam program AKI Pagi. Penulis diundang sebagai Narasumber kasus terorisme di Indonesia bersama Wamen Agama Prof Nazarudin Umar yang juga masih menjabat sebagai salah satu anggota kelompok ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Dalam melakukan sosialisasi kegiatannya, BNPT berpendapat bahwa deradikalisasi bisa diharapkan untuk mengaborsi dua bentuk radikalisme, yaitu (1) radikalisme dalam pikiran yang disebut fundamentalisme, dan (2) radikalisme dalam tindakan yang disebut dengan terorisme. Keterkaitan point pertama dengan kedua  sangat kuat, point pertama adalah katalisator lahirnya point kedua. Dalam bahasa Amirsyah Tambunan wakil Sekjen MUI Pusat bidang Hukum dan Litbang (yang juga salah satu anggota kelompok ahli BNPT), mengutip pendapat Muladi Mughni,Lc bahwa ada lima faktor yang menyulut dan memunculkan aksi terorisme dan radikalisme yaitu ekstrimisme (at tatarif al-diniy), berlebihan (ghuluw), berpaham sempit (dhayyiq), kaku (tanathu’/rigid), dan keras (tasyaddud).

Benturan internasionalisasi kepentingan kedua belah pihak  inilah nampaknya yang melatarbelakangi apa yang diutarakan oleh Menlu Hillary dalam konperensi persnya bersama Menlu Marty Natalegawa. Indonesia disadarkan bahwa sebagai negara yang menggunakan sistem demokrasi harus siap dan waspada, karena peluang teror itu ada. Inilah sebuah dampak yang harus difahami bersama oleh bangsa Indonesia dalam menerapkan sistem demokrasinya. Semoga bermanfaat.

Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

Ilustrasi Gambar : okezone.com

 

 

 

 

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.