Konflik Dengan Malaysia? Yang Penting Adalah Spirit!
1 September 2010 | 1:56 am | Dilihat : 302
Dampak penangkapan tiga petugas DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) oleh polisi Malaysia di kawasan Kepri, Jumat (13/8) ternyata kemudian merebak ke wilayah politik, diplomasi, pertahanan, harga diri dan banyak lagi kalau mau dirunut satu demi satu. Rasa tidak puas masyarakat terhadap sikap pemerintah yang mereka nilai kurang tegas atau kurang berani kemudian mereka sikapi dengan tindakan gagah berani tetapi menyakitkan, mendemo perwakilan Malaysia di Indonesia, membakar bendera, dan melempari dengan kotoran manusia.
Sebetulnya tindakan bela negara seperti itu dalam kacamata pergaulan internasional dinilai kurang terpuji, kurang beretika dan bisa dinilai sangat menghina. Tetapi siapa yang bisa melarang kalau ada kelompok masyarakat Indonesia bertindak begitu. Kini jamannya bebas Bung! Jangan melempar kotoran dan bakar bendera negara asing, bakar foto pemimpinnya, bakar mobil, menggebuk pejabat pemda hingga matipun bisa terjadi dan tidak ditakuti. Bahkan petugas keamanan bisa kocar kacir menghadapi masa yang beringas.
Nah, penulis ingin menulis bagaimana sih kalau kita konflik dengan Malaysia? Menang atau kalah? Penulis membaca disalah satu Surat Kabar 'quote of the day ' dari Jenderal George S Patton, Jenderal Amerika Serikat dalam Perang Dunia I dan II, yang mengatakan " Perang mungkin harus diperjuangkan dengan senjata, tapi mereka dimenangi oleh manusia. Ini adalah persoalan spirit orang yang terlibat di dalamnya dan orang yang memimpin untuk meraih kemenangan." Jenderal Patton yang berpengalaman dalam dua perang dunia ternyata menemukan rumus bahwa untuk memenangkan perang, soal spirit adalah bagian yang sangat penting, walaupun senjata juga bagian penting.
Contoh yang jelas terlihat dalam perang Vietnam, yang melibatkan secara langsung negara super power AS. Pada 9 Pebruari 1965 pasukan combat AS pertama dikirim dan pada 29 Maret 1973 pasukan terakhir AS meninggalkan Vietnam. Dua kubu yang saling berperang adalah Republik Vietnam (Vietnam Selatan) dan Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara). Amerika Serikat, Korea Selatan, Thailand, Australia, Selandia Baru dan Filipina bersekutu dengan Vietnam Selatan, sedangkan RRC dan Korea Utara mendukung Vietnam Utara yang merupakan negara komunis. Kekuatan Vietnam Selatan beserta sekutunya berjumlah 1.200.000 personil sedang jumlah gabungan pasukan Vietnam Utara 520.000 orang. Korban tewas, dipihak Vietnam Selatan 280.000 sedang dipihak gabungan Vietnam Utara mencapai sekitar 1.000.000 jiwa.
Apa yang hebat dalam perang tersebut? Pasukan Selatan mengandalkan teknologi militer modern dari AS, berupa pesawat-pesawat modern, pembom B-52 (Stratofortress) yang mampu mengangkut 35.000 kg bom, adalah pembom paling mematikan di dunia. Serangan bergelombang pembom dari tahun 1965 sampai dengan 1970 jumlahnya 5.172.608 ton. Tembakan meriam: 5.155.700 ton dari 1 Januari 1968 sampai 31 Mei 1970, tidak terhitung tembakan dari Angkatan Laut. Jumlah daya-ledak bom dan tembakan meriam yang menghantam Vietnam dan Laos selama periode ini adalah sama dengan 500 bom atom yang dijatuhkan Amerika di Hiroshima pada tahun 1945, yang mempunyai daya-ledak 20 kiloton tiap bom.
Amerika telah mengeluarkan 136 milyar dollar Amerika dan mengorbankan 46.000 jiwa prajuritnya. Dengan perang yang demikian dahsyatnya, Amerika Serikat gagal membasmi kaum komunis Vietnam. April 1975 Republik Demokratis Vietnam yang dipimpin oleh Partai Komunis Vietnam membebaskan Vietnam Selatan. Terwujudlah penyatuan seluruh Vietnam. Terlihat bagaimana kegagalan sebuah teknologi perang yang demikian hebat dalam melawan "spirit" pasukan Vietnam Utara berupa gelombang manusia.
Nah, mengacu kepada spirit Vietnam Utara, kini kita ukur bagaimana Indonesia dalam menghadapi konflik dengan Malaysia. Konflik yang terjadi baru pada tahap ketegangan diplomatik, dimana justru Malaysia menyampaikan protes keras atas tindakan demo di kantor perwakilannya yang dianggap sangat menghina. Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Anifah Aman menyatakan Malaysia telah kehilangan kesabaran atas demonstrasi di Jakarta. Anifah menandaskan, Malaysia telah diuji dan tidak akan menoleransi situasi lebih lama lagi."Mereka memiliki berbagai masalah domestik dan politik sendiri di Indonesia. Tapi kami tidak ingin Malaysia menjadi korban," tegasnya. "Dalam hubungan internasional, kita memberi dan menerima. Sebanyak inilah yang dapat kami berikan,tapi nanti kami harus melindungi integritas negara kami. Kami telah sampai pada satu titik di mana ini di luar kesabaran kami," tegas Anifah. Itulah spirit seorang pejabat pemerintah yang berani berbicara.
Bagaimana sikap Indonesia? Presiden menyatakan agar masyarakat tenang dan tidak terpancing emosinya menanggapi pernyataan Menlu Malaysia. Presiden telah melayangkan surat kepada PM Najib, Jum'at (27/8), sebagai respons atas ketegangan hubungan Indonesia-Malaysia pasca penangkapan dan penahanan tiga petugas Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) serta pelanggaran perbatasan yang dilakukan polisi diraja Malaysia, 13 Agustus lalu. Menurut Julian, surat tersebut salah satunya berisi ucapan penyesalan Presiden SBY terhadap insiden penangkapan tiga petugas DKP. "Tegas tentu saja ada pernyataan kita yang menyesali pada apa yang terjadi atas insiden 3 WNI yang ditangkap dan ditahan oleh Malaysia beberapa waktu lalu.
Saya kira kita tunggu sajalah respons reaksi beliau," ucapnya. Julian menambahkan, Presiden akan tetap mengedepankan diplomasi dalam menyelesaikan ketegangan hubungan Malaysia- Indonesia. Selain hubungan bilateral dengan Malaysia yang selama ini baik, jalan diplomasi ini diharapkan bisa menjaga persaudaraan serumpun. Setelah ada jawaban dari PM Malaysia, Presiden akan memberikan konferensi pers.
Jadi pada dasarnya yang kini sedang terjadi adalah konflik dalam batas terganggunya masalah diplomatik kedua negara. Jelas Malaysia menganggap bahwa penangkapan tiga petugas DKP adalah hal yang wajar menurut kacamata dan hukum mereka, sementara masyarakat Indonesia menilai bahwa tindakan tersebut adalah pelanggaran kedaulatan. Rasa tidak puas mayarakat lebih terpicu setelah penjelasan dari Menlu Marty mereka anggap tidak sesuai dengan spirit kedaulatan. Banyak yang menilai dilepaskannya tiga PNS resmi dengan tujuh pencuri ikan adalah berupa barter. Walau hal ini sudah dibantah oleh Marty.
Nah, kira-kira bagaimana pertimbangan pemerintah kok sepertinya "lembek" dalam menghadapi urusan tersebut. Disinilah pemerintah diuji, sikap yang dinilai kurang "tough", mengakibatkan pemerintah menghadapi dua lini lawan, yaitu lawan diplomasi dari Malaysia dan lawan/tekanan politik dari masyarakatnya sendiri. Jadi aneh bukan? Secara umum maka sikap pemerintah bisa dimengerti, akan menyelesaikan dengan jalan diplomasi. Sebaiknya memang demo ke kantor perwakilan Malaysia jangan sampai terlalu "jorok" dengan membawa kotoran manusia segala.
Sebagai bangsa beradab etika pergaulan internasional ya harus dijaga. Aparat keamanan sebaiknya mengantisipasi lebih awal. Tetapi dapat dimengerti juga kalau masyarakat mudah marah dijaman kebebasan kini. Bargaining position Malaysia kini lebih tinggi dari Indonesia, mereka marah, mengancam akan mengeluarkan travel warning akibat ancaman sweeping, mengeluarkan kecaman, sementara kita menurut Menlu Marty hanya mengeluarkan surat protes dan kini kita menunggu jawaban surat PM Najib.
Disini menurut ukuran atau teori Jenderal Patton, adalah tidak menyatunya spirit antara masyarakat dengan pemerintah. Dengan demikian maka posisi Indonesia menjadi lebih lemah dalam menghadapi Malaysia. Memang kini bukan jamannya era Bung Karno dengan slogan "Ganyang Malaysia," penulispun kadang membayangkan bagaimana kalau kita konflik fisik dengan Malaysia?. Maka Indonesia harus siap berhadapan dengan Malaysia, Singapura, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Malaysia masih tegabung dalam pakta FPDA (Five Power Defence Arrangement), yang apabila diserang oleh negara lain maka keempat negara akan membantu mereka. Diukur dari kekuatan dan kemampuan militer, Indonesia jauh dibawah gabungan lima negara tersebut, akan tetapi dari sejarah perjuangan, spirit Bangsa Indonesia telah diuji. Dengan modal spirit, Indonesia bisa mirip bahkan melebihi Vietnam Utara yang mampu memporak porandakan kekuatan gabungan dibawah kepemimpinan AS.
Pertanyaannya apakah kita takut? Penulis berani mengatakan tidak, karena dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, rakyat Indonesia meraih kemerdekaan dengan darah dan air mata perjuangan. Dari sejarah konfrontasi pada tahun 1962/1963, Belanda, Malaysia, Australia merasa "giris" karena Indonesia memiliki pesawat pembom TU-16 yang saat itu belum bisa mereka tangkal. Mereka hanya bisa mematikan lampu kotanya dan membunyikan sirine tanda serangan udara apabila radarnya menangkap pesawat pembom TU-16 berkeliaran diatasnya. Belanda saat operasi Trikora, atas saran Amerika kemudian menyerahkan Irian Barat karena yakin akan kalah.
Jadi kita biarkan saja kepongahan warga negara jiran karena menganggap kita lemah dan mereka kuat dengan dukungan "kambratnya." Mereka suatu saat akan kembali gemetar ketakutan apabila mendadak Indonesia memiliki pesawat pembom dengan empat atau lima berkepala nuklir. Siapa bilang dalam kondisi terdesak kita tidak bisa punya itu? Tahun 1962 saja dengan kondisi miskin, AURI oleh Bung Karno dimodernisasi menjadi kekuatan udara terunggul dikawasan Asia Tenggara. Military Diplomacy kadang memang lebih efektif. Banyak negara pecahan Uni Soviet yang mau melengkapi Indonesia, asal kita bayar. China dan India juga patut diperhitungkan oleh mereka.
Bangsa Indonesia akalnya banyak dan berani, hanya kini masyarakat belum terkordinasi dengan baik. Semoga pemerintah mampu segera menyelesaikan konflik diplomatik yang sebetulnya sederhana tetapi jadi "ruwet." Perlu langkah win-win solution, menyelesaikan masalah dengan Malaysia dalam posisi kesetaraan dan pemerintah mampu memuaskan keinginan masyarakat. Kalau setiap masalah menjadi besar, dan kemudian menjadi konflik internal, kita agak was-was bertanya, kapan pemerintah bisa membangun.
Jadi kesimpulannya, yang dibutuhkan adalah spirit itu. Orang yang dipercaya menduduki jabatan, menjadi pemimpin harus mempunyai spirit untuk memenangkan perang atau persaingan. Memang sebaiknya kita menghindarkan pemikiran "perang," walau semangat membara ingin perang dari masyarakat yang "gemas," resikonya besar dan kesulitan akan bertambah. Penulis berfikir, yang akan sangat menyulitkan adalah apabila kita menang melawan Malaysia dan Australia, karena menurut konvensi Jenewa, apabila terjadi perang, maka kewajiban pemenang harus membangun negara taklukannya. Sulit menjawab bagaimana kita akan membangun Malaysia atau Australia yang sudah demikian maju, dengan kondisi kita yang sedang sulit dan banyak masalah kini?
PRAYITNO RAMELAN, Pemerhati Intelijen.
Ilustrasi: astronotbumi.wordpress.com
Sumber: http://hankam.kompasiana.com/2010/09/01/konflik-dengan-malaysia-yang-penting-adalah-spirit/ (Dibaca : 1410 kali)