Salah Bersikap Terkait LCS Bisa Membuat Presiden Jokowi Turun Sebelum 2019

7 April 2016 | 12:33 am | Dilihat : 2769

obama flag

Presiden AS, Barack Obama, Menghadapi kemelut Syria, Irak, Iran dan kini LCS (Foto: politico)

Konflik bersenjata di kawasan Timur Tengah khususnya di Syria dan Irak hingga kini masih terus berlangsung. Konflik yang diwarnai dengan aroma kekejaman itu semakin meningkatkan penderitaan rakyat setempat sehingga banyak diantaranya kemudian mengungsi ke negara lain. Konflik  yang terjadi melibatkan dua negara super power AS dan Rusia beserta sekutu-sekutunya, negara-negara Arab beserta sekutu serta melibatkan dua kelompok teroris Al-Qaeda dan Islamic State. Konflik di Timur Tengah dinilai sebagai konflik sektoral kawasan.

Konflik kawasan umumnya  tidak berpotensi dan kecil kemungkinannya akan meluas dan menyebabkan timbulnya perang dunia. Dampak dari konflik hanya mengimbas ke negara-negara  luar berupa aksi teror dari jaringan Islamic State atau juga para lone wolf yang terkena brain washing kepentingan serta sentimen ideologi dan agama yang diciptakan.

Sebagaimana lazimnya, sejak perang dingin, konflik yang melibatkan sebuah negara disuatu tempat juga akan melibatkan  dua blok negara yang dikatakan super power yaitu AS dan Rusia. Keduanya dinilai super power karena memang mempunyai kemampuan bersaing dengan prinsip dasar masing-masing negara.

Dalam konflik di Timur Tengah, di satu sisi,  AS  memainkan kartu proxy, menarik sekutu Barat terlibat dalam kemelut di  Syria dan Irak, terutama dalam melakukan air strike serta operasi intelijen. Keterlibatan Barat tidak seperti masa lalu yang mengerahkan puluhan ribu pasukan darat. Sementara Rusia di lain sisi mencoba ikut terlibat lebih jauh di Syria demi menunjukkan eksistensinya setelah merasakan dampak politis dan blokade ekonomi akibat dari konflik di Ukraina.

claim-territorial-1024x724 (1)

Claim China tentang teritorial laut (merah) yang memotong EEZ (biru) beberapa negara, yang berpotongan dengan claim China (Foto : Foto: fkpmaritim).

Selain konflik di Timur Tengah, kawasan yang dinilai berpotensi akan menjadi ajang konflik di masa depan adalah Laut China Selatan. Ambisi hegemoni   AS di kawasan Eropa dan Timur Tengah dalam beberapa dekade terakhir  tanpa disadari telah menyebabkan China kemudian berusaha  mengambil alih kendali di Laut China Selatan (LCS). Beberapa pengamat mengatakan China ingin menjadi sherif wilayah dengan terjadinya kekosongan negara adi kuasa di kawasan tersebut. Ambisi China untuk mengontrol kawasan LCS merupakan langkah serius, nekat dan dinilai berbahaya karena berpotensi akan dapat menimbulkan selain konflik terbatas, juga  konflik meluas yang akan melibatkan AS serta sekutu-sekutunya.

Di dalam negeri AS, Presiden Barack Obama dalam dua periode pemerintahannya mampu mengendalikan dan membatasi ambisi para kelompok neo-konservatif-Amerika (neocon) terkait dengan ambisi hegemoni.   Para neocon ini mempercayai bahwa Amerika Serikat harus memiliki kekuatan dan pengaruh yang tak tertandingi dan jika perlu menggunakan kekuatannya   untuk memromosikan nilai-nilainya di seluruh dunia. Neocon percaya ancaman modern yang dihadapi AS  harus dicegah, kadang-kadang harus dilakukan melalui rangkaian aksi militer atau pre-emptive.

Visi dari China dan AS di Laut China Selatan

spratly-inseln-101-_v-videowebl

           Pembangunan landasan pacu oleh China di Fiery Cross Reef di Spratly Islands sejak  Januar 2015                   (Foto : tagesschau)

Ambisi China tentang strategi penguasaan dan pengamanan kawasan LCS kemudian di perluas hingga Samudera Hindia dan bahkan hingga pengamanan jalur laut ke kawasan Afrika dan Eropa. Presiden China Xi Jinping mencanangkan visi Jalan Sutra Maritim (JSM) abad ke-21 yang berupa pembangunan prasarana transportasi laut dari China melintasi Asia Tenggara ke Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa dan Afrika. China berkomitmen akan menyediakan dana hingga US $ 40 Miliar untuk pembangunan pelabuhan laut dalam (deep sea port) dilokasi-lokasi strategis di rute Jalan Sutra Maritim (JSM) tersebut. China telah melakukan pembangunan landasan pesawat dan pelabuhan laut di gugusan karang Paracel Island.

Dilain sisi, Amerika Serikat  secara tegas menyatakan bahwa kawasan Laut China Selatan merupakan daerah yang tidak benar  apabila hanya dikuasai oleh China. Sikap AS itu tercermin dari pernyataan Presiden Barack Obama pada saat melakukan  kunjungan kenegaraan ke Jepang tanggal 14 November 2009. Obama  menegaskan pandangannya  terhadap masa depan kawasan Asia Pasifik serta konsep kemitraan dengan beberapa negara-negara yang ada di sekitarnya.

Menurut Obama, di kawasan Asia Pasifik, ekonomi yang terkendali telah digantikan dengan pasar terbuka. Kediktatoran berubah menjadi demokrasi. Standar kehidupan meningkat sementara kemiskinan berkurang. Dan lewat perubahan-perubahan ini, keberuntungan Amerika dan Asia Pasifik semakin erat dan terkait.

Amerika punya kepentingan dalam masa depan di Asia Pasifik, karena apa yang terjadi mempunyai pengaruh langsung pada kehidupan mereka.  Dikatakan oleh Obama, "Disinilah kami terlibat dalam sebagian besar perdagangan kami dan membeli kebanyakan barang-barang kebutuhan kami. Dan disini pula kami bisa mengekspor lebih banyak produk kami dan dalam prosesnya menciptakan lapangan pekerjaan di tanah air. Ini merupakan tempat dimana risiko perolehan senjata nuklir mengancam keamanan dari dunia dan dimana para ekstremis yang menyalah gunakan sebuah agama besar merencanakan serangan di kedua benua kita."

Philippines Flag, USA Flag, Japan Flag and Australia Flag-747599

Dalam menghadapi tantangan di kawasan Asia Pasifik, khususnya di Laut China Selatan, Amerika akan memperkuat persekutuan-persekutuan lamanya  dengan Jepang, Korea Selatan, Australia, Thailand dan Filipina. Sementara dua negara lain yang dinilai penting oleh   AS adalah Malaysia dan Indonesia sebagai mitra baru.  Keduanya dinilai sefaham karena menganut faham demokrasi dan juga semakin baik dalam mengembangkan perekonomiannya.

Dalam konsep tersebut terlihat bahwa Amerika sedang berusaha menata sekutunya di kawasan Asia Pasifik dalam persiapan mengatasi  ambisi China yang demikian besar di LCS di masa mendatang. Dari pembangunan strategi kekuatan, AS merasa telah  nyaman bersekutu dengan lima negara.   Presiden Obama menilai Indonesia pantas ditempatkan pada posisi tersebut dengan pertimbangan  baik dari posisi dan ukuran   geografis maupun pertimbangan sejarah. Obama menyatakan sangat banyak kepentingan Amerika Serikat terhadap Indonesia, sehingga AS  memiliki keinginan  menjadi mitra strategis dengan Indonesia.

us_and_indonesia_crossed_flags_poster-rafbdd0a7541c48f4b1dbce0b62ae74c8_z1x_8byvr_512-2xynv0zgd8t0qbth0j8xsa

AS akan memberikan sebuah mandat diplomasi kepada Indonesia  untuk melanjutkan peran kepemimpinannya di kawasan LCS. AS melihat bahwa Indonesia adalah negara yang selama ini tidak pernah berkonflik dengan China terkait dengan tapal batas wilayah. Natuna sebagai pulau terujung Utara Indonesia tidak dimasukkan oleh China sebagai wilayah tradisionalnya.

Sikap dan Posisi Indonesia

Dalam menghadapi perkembangan situasi di kawasan LCS, sikap Indonesia terlihat dari pernyataan Presiden Jokowi  saat berpidato di Brookings Institution dalam rangkaian kunjungannya ke  AS, Selasa (27/10/2015). Jokowi menyatakan bahwa Indonesia bukanlah bagian dari konflik di LCS.  Jadi jelas Indonesia tidak bisa bersama-sama dengan AS dan sekutunya, namun juga Indonesia tetap menyatakan tidak terlalu dekat Beijing. Jokowi menekankan bahwa hubungan Indonesia dengan China hanya sebatas dalam konteks kepentingan perdagangan.

Dari kondisi yang berlaku, beberapa pengamat Barat menilai bahwa  AS dan Indonesia mungkin tidak selalu melihat isu-isu regional dengan cara yang sama, tetapi kepemimpinan yang  baik nilainya sangat penting untuk menjaga tatanan internasional liberal di wilayah tersebut.

39jokowi-amerika

Presiden Jokowi bersama moderator Dr. Ricard Bush, pada acara di Brookings Intitute,  Washington DC.   (Foto :setkab)

Dengan demikian maka disimpulkan  bahwa ketegangan di kawasan LCS adalah kepentingan beberapa negara dalam  memperebutkan akses dan kendali atas tiga kepentingan  utama di sepanjang rute pelayaran antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, yaitu  jalur pelayaran, pasar regional  dan sumber daya alam. Jalur SLOC (Sea Lane of Communication)  di LCS merupakan jalur mati hidup beberapa negara, termasuk AS, Jepang serta sekutu-sekutu  lainnya. Oleh karena itu kawasan harus tetap terbuka sesuai dengan UCLOS 200 mil laut, Exclusive Economic Zone yang disepakati PBB.

China mengklaim hampir semua dari kawasan Laut China Selatan dengan klaim atas keseluruhan Kepulauan Spratly dan menempatkan pasukan militernya di beberapa pulau. Klaim China di Laut China Selatan adalah berdasarkan ZEE dan prinsip landas kontinental serta catatan sejarah dinasti Han (110 M) dan Ming (1403-1433 M).

Posisi Politik Malaysia

Klaim Malaysia di Laut China Selatan hanya terbatas pada klaim untuk menentukan ZEE dan batas landas kontinental saja, serta hanya mengklaim tiga pulau di Kepulauan Spratly. Upaya yang dilakukan Malaysia untuk memperkuat klaimnya di salah satu pulau adalah dengan membangun pariwisata dan melakukan penambahan tanah sehingga meningkatkan ketinggian pulau.

20140123_foster_thesatar-563x353

Menlu Malaysia Dato'Sri Anifah Aman (Foto: malaysianacces)

Menteri Luar Negeri Malaysia Dato' Sri Anifah Aman saat KTT Asean, 2 April 2015 menyatakan, “ASEAN harus menghindari semua tindakan yang justru tidak produktif dan menjauhkan kita, baik di antara kita sendiri maupun dengan Cina,” katanya. Menurutnya, ASEAN tidak perlu mengeluarkan ultimatum ke china, dan menurutnya, pembangunan landasan udara Fiery Cross Reef di  Spratly Islands suatu saat bisa dipakai oleh ASEAN. Selain itu China tercatat sebagai salah satu mitra dagang terbesar bagi Malaysia dan sejauh ini Malaysia mengedepankan pendekatan yang jauh lebih lunak dibandingkan dengan Filipina dan Vietnam.

Dibangunnya kekuatan militer di Laut China Selatan tidak mengindikasikan China akan menggunakan kekuatannya untuk menempati lebih banyak pulau, tetapi China lebih melihat kepada kehadiran militer sebagai daya tawar pada negosiasi yang akan datang. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pada negara lain dimana pada kasus yang berbeda China tetap menggunakan kekuatan militernya dan tidak ada kemauan untuk menggunakan cara negosiasi.

Pada tahun 2012, China terlihat sangat agresif dalam menghadapi sengketa Laut China Selatan. Agresifitas China tersebut terlihat dari aksi China yang secara terang-terangan menyerang kapal militer Vietnam yang sedang melakukan patrol di Laut China Selatan. Serangan tersebut bukan untuk yang pertama kali. Vietnam sudah beberapa kali menuduh China telah menyerang kapal nelayan mereka yang berlayar disekitar lokasi pengeboran minyak milik China di Laut China Selatan. China juga dituduh memblokade kapal Filipina yang hendak mengantarkan logistik. China juga dikabarkan membangun pangkalan militer di salah satu gugusan pulau di Laut China Selatan yaitu Pulau Paracel (Santicola, 2014).

malaysiachinaflag

Malaysia menempatkan China bagian penting dalam politik LN (Foto:mileniaonline)

Dalam kaitan LCS, maka posisi politik LN Malaysia nampaknya cenderung lebih pro ke China dibandingkan dengan AS. Dalam pengertian ini maka menjadi pertanyaan penulis apakah tiga serangan besar (proxy) ke Malaysia terkait dengan sikap dan posisi Malaysia tersebut? Kasus yang perlu dicermati terutama pada tiga kasus adalah raibnya Malaysia Airlines MH-370, ditembak jatuhnya MH-17 di Ukraina dan kini dibongkarnya kasus korupsi PM Najib. Target serangan bukan merusak Malaysia tetapilebih kepada  menurunkan Najib. Apakah Malaysia sadar bahwa beberapa pukulan yang dialami sebagai sebuah clandestine operation?

Hubungan Indonesia-China

Dalam beberapa tahun terakhir hubungan Indonesia dengan China terlihat demikian harmonis, walau memang hanya berupa hubungan dagang. Pemerintah Indonesia melihat bahwa China memiliki demikian banyak investor yang diharapkan akan berpartisipasi dalam pembangunan di Indonesia.  Pemerintah Indonesia dipastikan bakal menguatkan hubungan bilateralnya dengan pemerintah China menyusul hasil kunjungan Presiden Joko Widodo ke Beijing, Kamis (26/3/2015).

051780600_1427441240-Joko-Widodo-1-20150327-Johan

Presiden Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping (foto :REUTERS)

Dalam kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi yang diterima langsung Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping, kedua kepala negara  terlibat dalam pembicaraan yang masif mengenai penguatan kerjasama di bidang ekonomi khususnya sektor perdagangan, keuangan, infrastruktur, perindustrian, pariwisata, hingga hubungan antar masyarakat.

"Secara khusus presiden Jokowi mengundang pihak Tiongkok untuk semakin meningkatkan arus investasi langsung di berbagai bidang ke Indonesia. Kedua presiden juga menyentuh isu kawasan (Laut China Selatan) yang menjadi perhatian bersama." (laman Sekretaris Kabinet, Minggu, 29/3).

Presiden Joko Widodo mengatakan klaim Tiongkok atas sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan “tidak memiliki dasar dalam hukum internasional”. “Kita memerlukan perdamaian dan stabilitas di wilayah Asia Pasifik. Stabilitas politik dan keamanan sangat penting untuk membangun pertumbuhan ekonomi kita,” kata Presiden Joko Widodo seperti dikutip oleh kantor berita Reuters (22/3/2015). “Kami mendukung Code of Conduct (di Laut Cina Selatan) dan juga perundingan antara Tiongkok dan Jepang, Tiongkok dan ASEAN.”

Konflik Indonesia-China

Harmonisasi hubungan Indonesia-China (penulis lebih cenderung menyebut China daripada Tiongkok), pada beberapa waktu terakhir agak terganggu. Kasus penangkapan kapal ikan China di perairan Indonesia telah mengundang protes dari pemerintah China.

Kapal pencuri ikan asal China, Kway Fey 10078 ditangkap petugas KKP dan   KP Hiu saat melakukan pencurian ikan (illegal fishing) pada tanggal 19 Maret 2016 pukul 14.15 WIB. Penangkapan ini terjadi di wilayah Indonesia, tepatnya 4,34 km dari garis pantai Pulau Natuna. Kapal pencuri ikan dari China ini sempat menolak diberhentikan. Petugas KKP terpaksa melepas tembakan, lalu menabrak tepian Kway Fey. Delapan awak kapal pencuri ikan diamankan tim KKP, semuanya warga negara China.

Saat kapal Kway Fey digiring oleh KP Hiu menuju daratan Natuna untuk diperiksa lebih lanjut, menjelang tengah malam, mendadak muncul sebuah kapal bersenjata berat berbendera China. Belakangan diketahui, kapal ini berasal dari satuan Penjaga Pantai (Coast Guard) di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan China.

kway feyKapal Coast Guard itu selain mengejar KP Hiu, juga menabrak badan Kway Fey, sehingga kapal para pencuri ikan itu gagal diseret ke daratan Indonesia. KP Hiu 11 mencoba menghubungi kapal yang tiba-tiba agresif itu lewat radio namun tidak ada jawaban. Kapal Kway Fey gagal diamankan otoritas Indonesia, kendati para awaknya sebagian ditahan.

Data pemerintah RI menunjukkan koordinat kapal ikan Kway Fey itu berada di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, ditarik dari tepian Natuna, sesuai dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, masalah ini ditegaskan oleh Menteri KKP Susi.

Kuasa Usaha Kedubes China, Sun Weide, membantah keterangan Menteri Susi. Dia meyakini para pencuri ikan itu beroperasi secara sah di wilayah laut Tiongkok. Beijing menjalankan doktrin maritim yang mengklaim lebih dari 80 persen wilayah Laut China Selatan sebagai wilayah negara mereka, mendekati Kepulauan Natuna.

Istilah ‘perairan tradisional China/Tiongkok’ dipersoalkan oleh Menteri KKP Susi Pudjiastuti. Klaim sepihak dari China itu tidak diakui oleh United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Dalam UNCLOS, hanya dikenal istilah Traditional Fishing Right, yaitu perjanjian pemanfaatan hasil laut oleh dua negara yang beririsan dalam wilayah perairan, yang dimiliki Indonesia hanya dengan Malaysia.

 Sun Weide, menuntut delapan awak kapal pencuri ikan itu dibebaskan segera.“Kami meminta para nelayan itu dibebaskan oleh pemerintah Indonesia. Saya menekankan bahwa pemerintah China mengharapkan pihak Indonesia dapat menyikapi kejadian ini dengan tetap menjaga hubungan bilateral yang baik antara kedua negara,” kata Weide.

menteri-susi

Rizal Ramli: Banyak Mafia Perikanan Ingin Gusur Menteri Susi! (Foto : rakyatmediapers)

Sebaliknya, Menteri KKP meminta agar Beijing tak lagi melindungi kapal Kway Fey. Kapal itu rencananya akan diledakkan karena terbukti beroperasi tanpa izin di ZEE Indonesia.“Kami ingin goodwill dari pemerintah China untuk memberikan dan mengirim kapal yang telah melanggar,” kata Susi.

Kesimpulan

Laut China Selatan kini mempunyai potensi akan menjadi titik bakar dalam perebutan ruang atau jalur laut diantara beberapa negara-negara yang berkentingan. Indonesia walaupun sudah menegaskan tidak terlibat dalam konflik, pada kenyataannya mulai berkonflik dengan China, bahkan menurut fihak China dapat mengganggu hubungan bilateral kedua negara.

Kini sudah saatnya pemerintah Indonesia mengambil sikap, tidak dapat menjadi negara yang tidak mau terlibat di LCS. Pada kawasan ini mulai pertarungan kepentingan nasional terutama AS dan China. Dengan kebijakan pengamanan kawasan laut dari pencuri-pencuri ikan illegal, Indonesia akan berhadapan dengan China yang paling agresif.

us china flag

Presiden Jokowi sebaiknya hati-hati dalam menentukan sikap, kedua diatas ini sama-sama berbahayanya (Foto : scmp)

Sikap terbaik Indonesia adalah dengan tetap menjaga politik luar negeri yang bebas dan aktif.  Apabila sikap pro pada suatu blok, maka jelas Indonesia akan menerima resiko dimusuhi blok lainnya. Yang menjadi target adalah decesion maker (Presiden Jokowi), yang bukan tidak mungkin akan menjadi prominent target seperti PM Najib. Siapa penyerangnya pasti tidak jelas karena operasi akan bersifat tertutup dan menggunakan asimetris war system.

Kita lihat dalam beberapa bulan ke depan, apakah akan muncul indikasi tersebut, bisa berupa kasus-kasus khusus, gangguan stabilitas keamanan, tekanan ekonomi atau juga serangan langsung terhadap citra dan kredibilitas presiden. Kekuatan Jokowi terutama masalah integritas, ini bisa menjadi kerawanan utamanya. Apabila ini terjadi menurut penulis, maka Jokowi akan berada pada posisi bahaya dan bisa dijatuhkan sebelum menyelesaikan masa kepemimpinannya  hingga 2019. Dalam sebuah perang asimetris (proxy war), tidak semuanya terang benderang, justru yang berbahaya adalah sesuatu yang gelap karena kita sulit membacanya, tetapi itu ada.

Pemulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.