Konflik Polri Versus KPK, Siapa Menang?

12 February 2015 | 8:49 am | Dilihat : 1290

save kpk save polriBanyak fihak yang tidak setuju, apabila ketegangan dua instansi  penting di Indonesia, Polri dan KPK adalah konflik instansi. Persoalan digeserkan lebih kepada persoalan pribadi tokoh-tokoh yang berada di dua instansi tersebut. Jelas publik di era kebebasan berdemokrasi ini menilai, yang terjadi adalah konflik  cicak buaya seri lanjutan. Melihat aliran peristiwa dimana calon Kapolri, Komjen Budi Gunawan yang sudah diajukan Presiden Jokowi ke DPR  ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi oleh KPK, judul kasarnya terlibat tindak pidana korupsi.

Ini persoalan tidak main-main, sangat serius pastinya bagi Polri , karena di KPK tidak dikenal dengan SP-3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Bisa dibayangkan beratnya Polri mempertahankan citra, karena kini kembali ada jenderalnya (bintang tiga) setelah ada bintang dua aktif yang  diseret KPK menuju ke pengadilan Tipikor.

Upaya BG kini adalah mengajukan gugatan pra peradilan karena dia menganggap ada kejanggalan penetapannya sebagai tersangka kasus suap dan grafitifikasi oleh KPK. Sidang dalam minggu kemarin ditunda dan kini  dilanjutkan, dengan harapan hari Jumat besok akan dapat keputusan dari hakim tunggal yang mengadilinya.

Sementara itu para pejabat di KPK  serta pendukung anti korupsi menjadi terkejut, resah, karena  Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sudah resmi menjadi tersangka oleh Polri dalam kasus pengarahan saksi palsu dalam sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, tahun 2010. Selanjutnya, surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama Ketua KPK Abraham Samad pun sudah terbit. Dua komisioner KPK lainnya, yaitu Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja, juga sudah dilaporkan ke Bareskrim Polri. Bahkan Deputi pencegahan KPK  Johan Budi kini juga sudah dilaporkan ke polisi.

Nah, apabila keempat tokoh utama KPK tersebut menjadi tersangka, maka mereka akan diberhentikan sementara dengan keputusan presiden.  Apabila semua pimpinan KPK positif ditetapkan sebagai tersangka, Presiden Jokowi kemungkinan akan mengeluarkan kepres pemberhentian sementara disamping akan  menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Istana Kepresidenan, Senin (3/2/2015) menyatakan, "Ya tentu saja, kalau kita mengikuti yang pernah terjadi pada presiden sebelumnya, ketika anggota KPK tinggal dua, kan diperppukan," katanya.

Johan menyatakan bahwa apabila satu persatu pimpinan KPK menjadi tersangka, maka akan lumpuh,  lantaran seluruh pimpinannya harus sibuk mengurus persoalan hukum yang menjerat mereka. KPK tidak akan bisa melakukan fungsi dan tugasnya secara maksimal.  "Jika itu (menjadi tersangka) terjadi, kami akan menyelesaikan persoalan pribadi dan berimbas kepada lembaga KPK. Maka sebuah fakta dan KPK akan lumpuh," kata Deputi Pencegahan KPK Johan Budi SP di gedung KPK, Kamis (5/2).

Polri (Kepolisian RI)

Pengertian Polisi di Indonesia adalah suatu badan yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan menjadi penyidik perkara kriminal. Adapun Kepolisian menurut Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1997 (pasal 1) dan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 (pasal 1) ialah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Fungsi kepolisian adalah menyelenggarakan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Fungsi kepolisian yang ada di masyarakat menjadi aman, tentram, tertib, damai dan sejahtera.

Fungsi kepolisian (POLRI) terkait erat dengan Good Governance, yakni sebagai alat Negara yang menjaga Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) yang bertugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum yaitu sebagai salah satu fungsi pemerintahan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyrakat yang diperoleh secara atributif melalui ketentuan Undang-Undang (pasal 30 UUD 1945 dan pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang POLRI) .

Pada tahun 2001, personel Polri berjumlah 413.509 terdiri atas 387.470 anggota Polri dan PNS Polri sebanyak 26.039. Pada 2013 Presiden SBY telah memerintahkan agar profesionalisme sumber daya polisi terus ditingkatkan melalui transparansi rekrutmen. Kekuatan personel Polri telah ditambah sebanyak 17 ribu melalui jalur penerimaan anggota Polri dan pada 2014 ditambah lagi menjadi 20.350 personel.

Polri terus didorong agar melakukan perbaikan dalam pelayanan publik, kemampuan SDM dalam penanganan masalah keamanan dan ketertiban, ketepatan dan kecepatan penanganan flash point, konflik, huru-hara, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam program pemolisian (community policing).

Pada tahun 2013 pemerintahan Presiden SBY  terus mengupayakan pemenuhan alat utama serta khusus Polri dengan menyediakan dana 41 persen. Anggaran Polri pada Tahun 2014 sebesar Rp41,5 triliun. Dilihat dari prestasinya antara tahun 2003-2013 Polri telah berhasil menangani 238.815 kasus narkoba, juga berhasil  menangani 98 kasus terorisme menangkap  549 orang tersangka dan 94  terpaksa ditembak mati.

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.

KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.

Dalam pelaksanaannya tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proposionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan BPK.

Per-31 Desember 2014, KPK melakukan penyelidikan 80 perkara, penyidikan 58 perkara, penuntutan 45 perkara, inkracht 40 perkara, dan eksekusi 48 perkara. Dengan demikian, maka total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2014 adalah penyelidikan 665 perkara, penyidikan 411 perkara, penuntutan 322 perkara, inkracht 283 perkara, dan eksekusi 295 perkara.

Tabulasi Data Penanganan Korupsi Berdasarkan Instansi Tahun 2004-2014 (per 31 Desember 2014).  Dengan perincian ; DPR RI  36, Kementerian/Lembaga  183 kasus, BUMN/BUMD  22 kasus, Komisi,  20 kasus, Pemerintah Provinsi, 53 kasus,  Pemkab/Pemkot  97 kasus. Total keseluruhan   405 kasus.

Tabulasi Data Penanganan Korupsi (oleh KPK) Berdasarkan Jenis Perkara Tahun 2004-2014  (per 31 Desember 2014), Pengadaan Barang/Jasa 128, Perijinan 17, Penyuapan  182, Pungutan  19, Penyalahgunaan Anggaran 42, TPPU  13, Merintangi Proses KPK 24, Jumlah keseluruhan 405.

Tabulasi Data Pelaku Korupsi Berdasarkan Jabatan Tahun 2004-2014 (per 31 Desember 2014), Anggota DPR dan DPRD  77, Kepala Lembaga/Kementerian 20, Duta Besar  4, Komisioner  7, Gubernur  12, Walikota/Bupati dan Wakil 45Eselon I / II / III  116, Hakim  10,  Swasta 109, Lainnya 48, Jumlah Keseluruhan  448.

Tercatat, total   283 Perkara yang Inkracht (per 31 Desember 2014), pada tahun 2014 terdapat 40 perkara yang inkracht, dengan rincian dari Pengadilan Negeri sebanyak 20 perkara, Pengadilan Tinggi sebanyak 7 perkara, dan dari Mahkamah Agung sebanyak 13 perkara. Dan dalam kurun waktu tahun 2005-2014, total perkara yang berkekuatan hukum tetap pada Pengadilan Negeri sebanyak 125 perkara, Pengadilan Tinggi sebanyak 28 perkara, dan di Mahkamah Agung sebanyak 130 perkara.

Konflik Dengan Latar Belakang Korupsi

Konflik kedua instansi yang demikian penting dan dinilai merupakan kebutuhan pokok bangsa Indonesia kini memasuki titik rawan yang dalam bahasa intelijen adalah sebuah kelemahan yang apabila dieksploitasi akan dapat menyebabkan kelumpuhan.  Penulis mencoba mengukur kedua instansi tersebut dengan rumus K3 (kekuatan, kemampuan dan kerawanan), baik K3 Polri maupun KPK.

Apapun alasannya, konflik yang timbul jelas dilatar belakangi dengan urusan korupsi. Mari kita bahas. Penulis pernah membuat artikel di blog ramalan intelijen, dengan judul "Tahun 2014 Pemberantasan Korupsi di Indonesia Meningkat." Korupsi bagi sebuah negara sangat berbahaya, dimana menurut Ikhtisar dari World Economic Forum, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Tingkat korupsi bervariasi antar wilayah, negara dan sistem politik.

Korupsi salah satu hambatan terbesar bagi pembangunan  ekonomi dan sosial di seluruh dunia. Praktik korupsi mendistorsi pasar dan menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Pengaruh korupsi tidak hanya bidang ekonomi. Korupsi juga melemahkan supremasi hukum dan mempengaruhi stabilitas politik dan menghambat kohesi sosial.

Pemberontakan yang pernah terjadi  di Afrika Utara dan Timur Tengah telah menunjukkan bagaimana  korupsi yang meluas dapat menimbulkan sebuah keresahan sosial dan berakibat terjadinya pemberontakan. Meskipun pemerintah berada di episentrum korupsi, peran bisnis, baik sebagai bagian dari masalah dan juga solusi juga merupakan pusat. Menurut Transparency International, korupsi adalah penyalah gunaan wewenang untuk kepentingan pribadi atau suatu kelompok tertentu. Menurut Sindhudarmoko (2000), pada korupsi tersangkut tiga pihak, pihak pemberi, penerima dan objek korupsi. Dalam buku saku KPK berjudul Memahami Untuk Membasmi, definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No.31 Tahun 1999, jo.UU No.20 Th 2001, dalam pasal-pasalnya dirumuskan 31 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.

Menurut Transparency International, pada Tahun 2014, skor IPK/CPI Indonesia adalah 34, dengan posisi (ranking)  107 dari 175 negara. Pada Tahun 2013 CPI Indonesia (32), Tahun 2012 (32), Tahun 2011 (30). Dari perkembangannya terlihat pembersihan korupsi di Indonesia nampak agak lambat, walaupun terlihat nilai CPI lebih membaik. Pada tahun 2007 (CPI, 23), tahun 2008 (CPI, 26), tahun 2009 (CPI, 28), tahun 2010 (CPI, 28), tahun 2011 (CPI, 30) dan tahun 2012 (CPI, 32).

Tahun 2008 CPI naik cukup tinggi (3 poin), mungkin sebagai efek  gebrakan Ketua KPK Antasari Azhar, yang akhirnya justru terjungkir dan masuk penjara dengan tuduhan terlibat dalam kasus pembunuhan. Pada tahun 2012, skor CPI 32, dan pada tahun 2013 skornya tetap di 32. Nampak  pada tahun 2013 menunjukkan pemberantasan korupsi tidak sesukses yang banyak diberitakan.

Untuk mengingatkan, skor sebuah negara / wilayah itu menunjukkan tingkat persepsi korupsi sektor publik pada skala 0 - 100, di mana 0 berarti bahwa suatu negara dianggap sebagai sangat korup dan 100 berarti bahwa suatu negara dianggap sangat bersih. Peringkat negara menunjukkan posisi relatif terhadap negara-negara lain / wilayah yang termasuk dalam indeks. Pada Tahun 175, TI membandingkan/mengukur posisi sebuah negara dari total 175 negara. Nah, dari informasi serta data-data diatas, terlihat bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia jelas berat sekali. Gurita yang perlahan melilit bangsa ini akan semakin erat apabila tidak juga disadari. Pada 2002 Presiden Megawati membentuk KPK dan dilanjutkan oleh Presiden SBY. Pemberantasan korupsi terus melaju, walau pada tahun 2012-2013 agak stagnan.

Kembali mencermati konflik KPK-Polri, ada kecenderungan saling unjuk gigi diantara kedua instansi tersebut. Polri jelas marah, karena menganggap KPK terlalu arogan, tidak memandang mata, menetapkan tersangka kepada calon Kapolri yang sudah diajukan Presiden ke DPR untuk Fit and Proper Test. Kini terlihat, Bareskrim Polri dengan mudah dan enteng bisa menangkap dan menetapkan Bambang Widjojanto wakil Ketua KPK sebagai tersangka. Juga mengeluarkan Sprindik terhadap Ketua KPK Abraham Samad dan pejabat tinggi KPK lainnya juga ada yang melaporkan ke Polri.

Disini Polri menunjukkan bahwa dalam kemampuan menyelidiki seseorang, mereka adalah ahlinya. Jaringan Polri demikian besar, luas dan terdidik serta terlatih. Mereka bisa saja menetapkan seorang pejabat KPK sebagai tersangka dalam berbagai kasus. Siapakah di negeri ini orang yang benar-benar bersih? Itulah kelebihan Polri.

Sementara KPK dilain sisi, mampu menetapkan seseorang sebagai tersangka, tetapi hanya terbatas dalam kewenangannya terkait dengan persoalan tindak pidana korupsi. Hanya dengan mempunyai dua bukti awal saja, mereka bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka dan  menyeretnya ke pengadilan Tipikor. Selama sepuluh tahun (2004-2014) KPK berhasil menangani kasus korupsi, inkracht 283 perkara, dan mengeksekusi 295 perkara. Inilah prestasi KPK.

Dari fakta, terlihat kekuatan, kemampuan baik Polri maupun KPK dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Jelas pihak Polri lebih luas kewenangannya, tidak hanya masalah korupsi, juga masalah kriminal atau tindak pidana lainnya. Karena itu kini dipihak Polri hanya seorang Komjen Pol  Gunawan yang ditetapkan sebagai tersangka, sementara di pihak KPK, BW sudah menjadi tersangka dan diperkirakan dalam waktu tidak terlalu lama empat pejabat tinggi KPK (komisioner) bisa menjadi tersangka. Dengan demikian maka KPK bisa lumpuh, tidak akan mampu berkiprah tanpa pimpinan.

Jadi kesimpulannya, yang menang dalam konflik antara KPK versus Polri, apabila ditinjau dari sisi penerapan hukum, sementara Polri pemenangnya. KPK  kuat karena banyak mendapat dukungan publik, tetapi publik juga tidak berdaya apabila para komisioner KPK sudah ditetapkan menjadi tersangka oleh Polri. Bahkan kini citra KPK menjadi turun karena terkondisikan komisionernya dinilai arogan dan tidak juga bersih. Selama ini terkesankan Polri pejabatnya dinilai tidak bersih karena berita rekening gendut. Disinilah peran Presiden Jokowi yang mesti bijak dalam mengawal berjalannya proses hukum dan menjaga semangat anti korupsi dari publik. Yang salah jelas bukan institusinya, tetapi the man behind the gun. Karena itu para pejabat itu yang sebaiknya kembali di tata ulang.

Sebagai penutup, yang masih terasa mengganjal hati, apakah  ada penyebab lain yang jauh lebih besar melatar belakangi konflik yang terjadi? Bukan hanya perseteruan murni antara cicak-buaya, tetapi perseteruan penanganan kasus  antara BLBI dengan Century. Penulis sedang memerhati untuk menyusun artikel sebuah konflik bathiniah yang belum juga usai antara dua king maker yang menyangkut, citra, harga diri, emosi, keamanan serta ketakutan akan masa depan yang tidak jelas. Siapa yang menjadi alat dan siapa yang akan dikorbankan?Apakah demikian?

Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen www.ramalanintelijen.net

Artikel Terkait :

-Ketua KPK Perlu Segera Melakukan Pemeriksaan Sekuriti, http://ramalanintelijen.net/?p=6024

-Presiden SBY dan Beratnya Memberantas Korupsi, http://ramalanintelijen.net/?p=4466

-Seberapa Besar Kemampuan Abraham Samad?, http://ramalanintelijen.net/?p=4410

-Berat Memang Memberantas Korupsi, http://ramalanintelijen.net/?p=3794

-Antara KPK Dan Kopkamtib, http://ramalanintelijen.net/?p=1467

-Korupsi Yang Menghancurkan, http://ramalanintelijen.net/?p=211

                       
This entry was posted in Sosbud. Bookmark the permalink.