Tahun 2014 Pemberantasan Korupsi Indonesia Meningkat

5 December 2014 | 7:04 am | Dilihat : 527

jokowi dan Abraham samad

Presiden Jokowi dan Ketua KPK Abraham Samad (foto:manado.tribunnews.com)

Setiap akhir tahun, Transparency International (TI) mengeluarkan Index Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index)  peringkat negara/wilayah, yang menunjukkan seberapa besar terjadinya korupsi di sektor publik. Skor sebuah negara / wilayah itu menunjukkan tingkat persepsi korupsi sektor publik pada skala 0 - 100, di mana 0 berarti bahwa suatu negara dianggap sebagai sangat korup dan 100 berarti bahwa suatu negara dianggap sangat bersih. Peringkat negara menunjukkan posisi relatif terhadap negara-negara lain / wilayah yang termasuk dalam indeks. Pada Tahun 175, TI membandingkan/mengukur posisi sebuah negara dari total 175 negara.

Pada Tahun 2014, skor IPK/CPI Indonesia adalah 34, dengan posisi (ranking)  107 dari 175 negara. Pada Tahun 2013 CPI Indonesia (32), Tahun 2012 (32), Tahun 2011 (30). Dari perkembangannya terlihat pembersihan korupsi di Indonesia nampak agak lambat, walaupun terlihat nilai CPI lebih membaik. Pada tahun 2007 (CPI, 23), tahun 2008 (CPI, 26), tahun 2009 (CPI, 28), tahun 2010 (CPI, 28), tahun 2011 (CPI, 30) dan tahun 2012 (CPI, 32).

Tahun 2008 CPI naik cukup tinggi (3 poin), mungkin sebagai efek  gebrakan Ketua KPK Antasari Azhar, yang akhirnya justru terjungkir dan masuk penjara dengan tuduhan terlibat dalam kasus pembunuhan. Pada tahun 2012, skor CPI 32, dan pada tahun 2013 skornya tetap di 32. Nampak  pada tahun 2013 menunjukkan pemberantasan korupsi tidak sesukses yang banyak diberitakan.

Penulis sejak Tahun 2008 menulis beberapa artikel yang menoroti tentang korupsi. Dimana dari sudut pandang intelijen, salah satu ancaman terhadap bangsa ini adalah masalah korupsi, disamping narkoba. Agar pembahasan menjadi lebih jelas, penulis ulang kembali tentang masalah korupsi yang sebaiknya difahami bersama. Tanpa memahaminya (korupsi sebagai musuh), kita dan termasuk KPK serta Kejagung jelas akan sulit memberantasnya.

Pemahaman dan Analisis Bahaya Korupsi

Menurut Ikhtisar dari World Economic Forum, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Tingkat korupsi bervariasi antar wilayah, negara dan sistem politik. Korupsi salah satu hambatan terbesar bagi pembangunan ekonomi dan sosial di seluruh dunia. Praktik korupsi mendistorsi pasar dan menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Pengaruh korupsi tidak hanya bidang ekonomi. Korupsi juga melemahkan supremasi hukum dan mempengaruhi stabilitas politik dan menghambat kohesi sosial.

Pemberontakan yang pernah terjadi  di Afrika Utara dan Timur Tengah telah menunjukkan bagaimana  korupsi yang meluas dapat menimbulkan sebuah keresahan sosial dan berakibat terjadinya pemberontakan. Meskipun pemerintah berada di episentrum korupsi, peran bisnis, baik sebagai bagian dari masalah dan juga solusi juga merupakan pusat .

Dalam dekade terakhir masyarakat internasional telah berhasil menciptakan sebuah front penindakan yang kuat terhadap korupsi, memperkenalkan hukum dan peraturan yang lebih keras. PBB, OECD , World Economic Forum dan organisasi internasional lainnya semakin mencurahkan perhatian terhadap korupsi yang dinilai mempunyai daya rusak yang tinggi.

Menurut Transparency International, korupsi adalah penyalah gunaan wewenang untuk kepentingan pribadi atau suatu kelompok tertentu. Menurut Sindhudarmoko (2000), pada korupsi tersangkut tiga pihak, pihak pemberi, penerima dan objek korupsi. Dalam buku saku KPK berjudul Memahami Untuk Membasmi, definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No.31 Tahun 1999, jo.UU No.20 Th 2001, dalam pasal-pasalnya dirumuskan 31 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.

Hasan Hambali (2005) dalam penelitiannya menyampaikan bahwa sumber korupsi mencakup dua hal pokok yaitu, "Kekuasaan Kelompok Kepentingan dan Hegemoni Elit." Kekuasaan kelompok kepentingan cenderung lebih berwawasan politik, hegemoni elit lebih berkait dengan ketahanan ekonomi. Piranti korupsi umumnya menggunakan perlindungan politis dan penyalahgunaan kekuasaan. Interaksi sumber dan peranti menimbulkan empat klasifikasi.

Pertama, Manipulasi dan Suap, interaksi antara penyalah gunaan kekuasaan dan hegemoni elit. Kedua, Mafia dan Faksionalisme, golongan elit menyalahgunakan kekuasaan dan membentuk pengikut pribadi. Ketiga, Kolusi dan Nepotisme, elit mapan menjual akses politik dan menyediakan akses ekonomi untuk keuntungan diri, keluarga dan kroninya. Keempat, Korupsi Terorganisir dan Sistem, korupsi yang terorganisasi dengan baik, sistematik, melibatkan perlindungan politik dari kekuasaan kelompok kepentingan.

Dalam tiga kasus korupsi di Indonesia, menarik yang disampaikan PPATK, bahwa Dinasti politik menciptakan mafia birokrasi untuk memudahkan TPPU. Menurut Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso mengtakan Kamis (4/12/2014), "Berdasarkan riset PPATK, Tipologi TPPU kepala daerah, ketika menjabat membuat mafia birokrasi‎ untuk lebih memudahkan." Tercatat ada tiga penguasa ‎dinasti yang akhirnya harus mengakhiri kekuasaannya karena berurusan dengan KPK. Pertama ada dinasti politik Banten yang dikuasai keluarga Ratu Atut Chosiyah, lalu dinasti politik Riau yang dikuasai Annas Maamun dan yang paling baru dinasti politik Bangkalan yang dikuasi Fuad Amin.

Karena perilaku korupsi sudah demikian mengakar, maka melihat beberapa kasus terbongkarnya tindak korupsi, apabila dikaitkan dengan hasil penelitian Hambali mulai terlihat bayangan abu-abu, mapping pelaku korupsi. Para pelaku korupsi yang ditangkap terdiri dari hegemoni elit, pejabat yang menyalah gunakan kekuasaan serta adanya perlindungan politik.

Kita melihat demikian banyak para pejabat daerah, Bupati, Gubernur, Jaksa, Hakim,  yang terlibat, kemudian para pengusaha dan banyak elit politik. Para pejabat yang menyalah gunakan kekuasaan pada umumnya menerima suap. Beberapa kasus KKN juga terungkap di pengadilan Tipikor. Penyalah gunaan wewenang yang menjurus seperti kelompok mafia yang membentuk pengikut juga terungkap.

Nah, kini yang mulai digarap oleh KPK adalah korupsi yang terorganisir dan sistem. Dimana korupsi dilakukan secara  terorganisasi dengan baik, sistematik, melibatkan perlindungan politik.

Presiden Joko Widodo nampaknya demikian serius akan melakukan transparansi pengelolaan anggaran negara, dimana secara perlahan masyarakat akan dapat melihat segala pernik bagaimana APBN memang diincar dan selama ini memang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Persoalannya, keberanian Jokowi suatu saat akan membuat getaran hebat, karena apabila stabilitas politik semakin membaik, langkah cerdas dan berani presiden bisa menyentuh pemerintahan sebelumnya. Sentuhan ke pemerintahan yang digantikannya akan membuat banyak yang merasa tidak nyaman.

Pemberantasan korupsi memang harus dilakukan dengan keberanian luar biasa (urat takutnya  putus), karena yang dihadapi  adalah korupsi yang lebih terorganisir dan sudah berupa sistem seperti yang diindikasikan oleh Hambali. Jadi mungkin benar bahwa korupsi sudah bukan budaya lagi tetapi sebuah komoditas. Kita akan melihat seberapa besar niat, keyakinan, keberanian dan kemampuan presiden Jokowi dan KPK, karena pada Tahun 2013 CPI itu jalan ditempat,  walaupun Abraham Samad sudah sangat galak, tegas dan keras. Lawannya makin cerdas dan cerdik. Semoga bermanfaat.

Penulis : Marsda (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen www.ramalanintelijen.net

Transparency International : http://shar.es/13mW7O

This entry was posted in Sosbud. Bookmark the permalink.