Memilih SBY sebagai Ketum, Akan Membahayakan SBY
27 March 2013 | 6:30 am | Dilihat : 470
Menjelang pemilihan ketua umum Partai Demokrat, Pak SBY selaku ketua dewan pembina mengumpulkan sejumlah pimpinan Partai Demokrat di Cikeas. Pertemuan yang berlangsung pada hari Minggu 24 Maret 2013, berlangsung sejak pukul 13.00, baru selesai pada pukul 17.00. Yang hadir dalam pertemuan tersebut yaitu para anggota majelis tinggi, pimpinan Dewan Pimpinan Pusat, DPD, dan menteri kabinet dari Demokrat.
Dalam pertemuan tersebut Ketua Dewan Pimpinan Daerah Demokrat Papua, Lukas Enembe, menyampaikan aspirasi 29 Dewan Pimpinan Cabang Papua agar SBY yang menjadi ketua umum. Aspirasi ini disampaikan secara langsung kepada SBY dalam pertemuan itu. "Dari akar rumput menginginkan Pak SBY jadi ketua umum," kata Lukas. Menurutnya, DPD Demokrat lainnya juga menginginkan agar SBY memimpin partai itu. "Keinginan rata-rata DPD di seluruh Indonesia seperti itu." Lukas mengatakan SBY menyampaikan beberapa alasan dan pertimbangan jika maju memimpin Demokrat. "Nanti dibicarakan di Bali seperti apa," ucap Lukas, menirukan tanggapan SBY.
Melihat aspirasi yang disampaikan oleh Lukas, nampaknya terjadi pergeseran ketidak percayaan para pengurus terhadap para tokoh/elit partainya untuk menduduki jabatan menggantikan Anas Urbaningrum yang diakui atau tidak kini sedang berfikir keras untuk lolos dari sangkaan KPK sebagai bagian korupsi yang membelit beberapa pengurus inti partai berlambang mercy tersebut.
Partai Demokrat seperti yang pernah penulis sampaikan dalam beberapa artikel, yang hebat adalah SBY-nya, bukan mesin partai atau hasil kerja politisinya. Posisi SBY sebagai Ketua Dewan Pembina diakui atau tidak yang justru menopang keberadaan mereka dipanggung politik negara ini. Kini menjelang pemilihan ketua umum, para politisi kembali bersandar ke SBY sebagai tokoh sentralnya. Ini menurut penulis adalah sebagai sebuah titik rawan bagi PD, karena lawan politik akan mudah menetapkan target [perusakan dan penghancuran.
Pada saat konflik antara lima menteri PD dengan Anas sebagai ketua umum, dengan alasan merosotnya elektabilitas PD hingga 8 persen, para elit tersebut menyerahkan bola panas ketangan SBY, dan kemudian menempatkan SBY head to head untuk menetralisir Anas, dalam arti melengserkannya. Disini penulis melihat SBY justru oleh elitnya dimasukkan dalam killing ground. Menjadi sasaran tembak, jadi bumper menghadapi Anas yang kemudian berulah. Serangan Anas dan lawan politik menjadi fokus ke Cikeas, SBY dan keluarganya.
Anas dengan modal simpati beberapa kalangan mencoba menjadi tokoh baik yang terzholimi, menempatkan SBY menjadi tokoh yang otoriter. Apakah kasus ini tidak direnungkan oleh elit Demokrat?
Nah kini citra Partai Demokrat menjadi semakin merosot, tidak bisa membayangkan karena kemelut internal dan kebijakan SBY sebagai presiden untuk memberantas korupsi, ternyata palu godam tersebut kini justru "rekoset" menghantam Demokrat sebagai parpolnya sendiri.
Kabar paling menyesakkan bagi Partai Demokrat terlihat dari survei yang dirilis Lembaga Survei Nasional (LSN). Menurut analis survei LSN, Dipa Pradipta, dari hasil survei yang dilakukan antara tanggal 26 Februari sampai 15 Maret 2013 dengan 1.230 sampel yaitu penduduk di seluruh Indonesia yang memiliki hak pilih dengan margin of error 2,8 persen, Partai Demokrat disebut partai paling korup di antara para peserta Pemilu 2014. Akibatnya, elektabilitasnya hanya 4,3 persen.
LSN menyampaikan persepsi publik tersebut pada acara Ekspose Hasil Survei Nasional Pemilu 2014: Panggung Partai Oposisi, di Hotel Atlet Century, Senayan, Minggu (23/3/2013). Perinciannya adalah, partai yang dianggap paling korup oleh responden, tertinggi Partai Demokrat, 70,4 persen, peringkat kedua Partai Golkar 5,7 persen, dan PKS berada di tempat ketiga dengan 4,4 persen. Menurut Dipa hasil survei menunjukkan, partai paling bersih menurut masyarakat adalah Partai Hanura, 13,5 persen, disusul PDIP dengan 9,2 persen dan Partai Gerindra, 8,5 persen.
Dari survei elektabilitas, PDIP memimpin dengan 20,5 persen; peringkat kedua Partai Golkar 19,2 persen; Partai Gerindra 11,9 persen; Partai Hanura 6,2 persen; Partai Nasdem 5,3 persen; PKS 4,6 persen; Partai Demokrat 4,3 persen; PAN 4,1 persen; PKB 4,1 persen; PPP 3,4 persen; PBB 0,4 persen dan PKPI 0,2 persen.
Nah, terlepas percaya ataupun tidak, dengan tuduhan survei pesanan atau tidak, setiap hasil survei sebaiknya dijadikan bahan evaluasi, bahan analisa untuk dibandingkan satu sama lainnya. Lingkaran Survei Indonesia (LSI), dari hasil surveinya Maret 2013, merilis elektabilitas Partai Demokrat 11,7 persen, Golkar 22,2 persen, PDIP 18,8 persen. Gerindra 7,3 persen, dan Nasdem 4,5 persen. Sementara partai Islam menduduki posisi ke enam yaitu PKB, 4,5 persen, PPP 4 persen, PAN 4 persen, PKS 3,7 persen dan Hanura 2,6 persen.
Sementara Lembaga Survei Jakarta (LSJ) yang melakukan survei pada 9-15 Februari 2013, merilis hasilnya. Elektabilitas Golkar dengan perolehan tertinggi sebesar 18,5%, PDIP 16,5%, Gerindra 10,3%, Demokrat 6,9%, Hanura 5,8%, Nasdem 4,5%, PKS 2,6%, PAN 2,5%, PAN 2,4%, dan PKB 1,8%.
Nah, dari gambaran beberapa Lembaga survei tersebut terlihat bahwa memang sedang terjadi kemerosotan sistematis elektabilitas dari Partai Demokrat. Kepercayaan publik demikian merosot, jauh dibawah dukungannya yang berada diatas 20 persen pada pemilu 2009. Dalam dua bulan terakhir, elektabilitas PD berkisar pada posisi terendah 4,3 persen, tertinggi 11,7 persen. Apabila diambil titik tengahnya, elektabilitas PD kini berkisar antara 6,9-8 persen. Berarti pendukung atau tingkat kepercayaan yang dimiliki PD kembali kepada pemilihnya pada pemilu 2004 di kisaran 7 persen.
Nah, disaat elektabilitasnya demikian merosot, apakah para elit Demokrat akan kembali membuat kekeliruan dengan mengusung SBY sebagai ketua umum? Dalam posisi tersebut, maka SBY langsung menjadi play maker, pengelola manajemen partai yang akan demikian sibuk dalam menghadapi pemilu dan pilpres 2014 mendatang. Tidak elok rasanya pemikiran seperti itu, yang perlu disadari para elit Demokrat, kini Pak SBY adalah Presiden RI yang demikian sibuk dalam memimpin negara. Dalam posisi tersebut saja, gempuran demi gempuran terus datang silih berganti. Terus bagaimana nanti kalau memang dipilih menjadi ketua umum?
Dalam kondisi ini penulis mengatakan bahwa untuk sekian kalinya SBY kembali akan dimasukkan dalam killing ground oleh kader partainya sendiri. Entah mengapa kader Demokrat kurang bernyali untuk tampil, mungkin segan dengan Bapak Ketua Dewan Pembinanya, atau adanya krisis kepercayaan grass root, karena berat mengangkat citra Demokrat yang memang terus merosot. Yang berani muncul hanya tokoh aneh-aneh dari faksi Anas.
Berat memang bagi parpol yang meroket hanya dengan mengandalkan figur,. Yang jauh lebih penting adalah sistem kepartaian atau biasa disebut mesin partai. Kesimpulannya, apabila nanti SBY menjadi ketum Demokrat, posisi ini menurut penulis justru akan membahayakan SBY. Lantas siapa ketumnya? Kita tunggu hasil di Bali, akan ada kejutan nampaknya.
Oleh : Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net
Ilustrasi Gambar : nasional.kompas.com