Posisi para Cagub DKI menjelang Dua Bulan Pemilihan

1 May 2012 | 5:47 pm | Dilihat : 430

Pilkada DKI tersisa sekitar dua bulan sebelas hari, walau kalah gregetnya dengan berita politik lain seperti nomor palsu mobil Anas. Beberapa calon terlihat lebih gencar berjualan program dan memperkenalkan diri. Begitu aktif  para calon melakukan sosialisasi ke masyarakat yang akan menjadfi konstituen pada 11 Juli nanti.

Penulis pernah menuliskan tentang pemimpin Indonesia mendatang, yang pada intinya dapat dipergunakan dalam menyukseskan pemilihan gubernur di DKI. Ada dua kunci yang sebaiknya difahami dan dilakukan para calon gubernur dalam persaingan menjadi pemimpin di era "digital society." Yang dimaksud adalah yaitu kondisi aktual saat ini, dimana kemajuan teknologi multi media sudah merangsak keberbagai sendi kehidupan, dan karena itu harus mendapat prioritas untuk difahami secara utuh.

Aspek kedua dikenal sebagai momentum. Momentun ini berada pada tahapan awal, namun hakikat dan fungsinya memiliki peran kunci, strategis dan relevan dengan kondisi saat ini dan dimasa mendatang. Dalam dunia pemasaran, politik atau militer, momentum bisa terjadi karena di design khusus atau terjadi karena faktor ekstern diluar kendali seseorang.

Pada tahapan operasional, dasar 'never operate in darkness' adalah filosofi yang umumnya diterapkan pasukan anti teror kelas satu. Kaidah tersebut meski sederhana, namun harus dilakoni secara utuh,  sebelum bergerak, pasangan cagub dan cawagub harus lengkap memiliki informasi tentang daerah operasi (DKI Jakarta).  Pasangan itu  harus tampil alamiah, namun sesuai kebutuhan dan kondisi lingkungan. Dalam kenyataannya, hal-hal kecil ini dan yang seharusnya sudah menyatu dengan 'brand personality' sering kali disepelekan, baik disengaja ataupun tidak.

Nah, bagaimana dengan posisi para cagub tersebut menuju ke hari H? Alat ukur hanya bisa dipakai dengan survei. Sebuah lembaga survei yang kredibel bisa dipergunakan sebagai pegangan dalam pengambilan keputusan. Dari hasil pulbaket sejak pemilu 2004, penulis selalu menggunakan lembaga dan hasil survei dalam menyusun ulasan.

Hasil survey yang terekam. Survei Citra Komunikasi-LSI (Lingkaran Survei Indonesia) tentang opini publik DKI menghadapi Pilkada DKI yang dilakukan pada 26 Maret--1 April 2012 dengan jumlah responden 440 orang, menggunakan metode "multistage random sampling" berupa wawancara, tatap muka responden memakai kuesioner dan tingkat kesalahan (margin of error) sekitar 4,8 persen. Hasil survei menunjukkan, menunjukkan 65,3 persennya menginginkan Gubernur DKI ke depan mampu mengatasi banjir, sampah dan macet; hanya 8,9 persen responden yang menginginkan mengatasi pendidikan, kesehatan dan keamanan; sedang 15,8 persen responden tidak menjawab.

Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli mendapat dukungan 49,1 persen responden; disusul Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama (14,4 persen); Hidayat Nur Wahid-Didik J Rahbini (8,3 persen); Faisal Basri-Biem Benjamin sebanyak 5,8 persen. Pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono, 3,9 persen ; Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria  1,2 persen; sedang 17,4 persen responden menyatakan masih belum memutuskan.

Fauzi Bowo masih dipercaya lebih mampu mengatasi banjir, sampah dan kemacetan lalu lintas oleh sebanyak 38,2 persen responden; disusul Joko Widodo (13,3 persen); Hidayat Nur Wahid (10,9 persen); Faisal Basri (7,4 persen); Alex Noerdin (5,6 persen); Hendardji Soepandji (4,1 persen) dan 20,5 persen tidak menjawab.

Dilain sisi, hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas pemilih Jakarta (52,6 persen responden) tidak percaya masalah banjir, sampah dan macet dapat diatasi selama lima tahun ke depan; hanya 34,7 persen responden yang percaya bahwa tigal hal tersebut dalam dapat diatasi dalam lima tahun ke depan; sedang 12,7 persen responden tidak menjawab.

Hasil survei dari Media Survei Nasional (Median) yang dilakukan 22 April-28 April 2012, dengan 1.500 responden di 5 kotamadya DKI Jakarta dan minus Pulau Seribu. Tingkat kepercayaan 95 persen dengan margin of error lebih kurang 2,53 persen. Jika Pilkada dilakukan hari ini, yang berpeluang besar akan menjadi gubernur  yakni Fauzi Bowo dengan 36,65 persen. Posisi kedua HNW-Didik 18,47 persen, ketiga Jokowi-Ahok 17,90 persen, keempat Faisal-Biem 4,05 persen, kelima Alex-Nono 3,59 persen, dan Hendardji-Riza 1,39 persen.

Apabila diukur berdasarkan popularitas, urutan pertama ditempati Fauzi Bowo-Nachrowi sebesar 98,9 persen. Kemudian di posisi kedua Hidayat-Didik 84 persen, sedangkan posisi ketiga Jokowi-Ahok 75 persen. Keempat Faisal Basri-Biem 68,7 persen. Kelima Alex-Nono 62,1 persen dan keenam Hendardji-Riza 45 persen.

Jadi, dari hasil survei, terlihat masalah yang paling crusial adalah mengatasi masalah banjir, sampah dan macet. Kedua, yang sangat penting harus diangkat adalah soal popularitas,  pengenalan konstituen terhadap si calon. Pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi dari hasil survei  hanya kurang 1,1 persen akan menjadi 100 persen menjadi orang yang sudah dikenal di DKI. Kedua Hidayat-Didik yang bersaing ketat dengan Jokowi-Ahok. Itulah tiga besar dari enam pasang cagub-cawagub sementara ini apabila diukur dengan hasil survei.

Bagaimanapun, bagi calon lainnya mau tidak mau harus berusaha mengalahkan incumbent yang sudah selangkah lebih maju. Tinggal bagaimana mengatur ritme dalam memanfaatkan teknologi multi media dan mendapatkan atau menciptakan momentum sesuai dengan kebutuhan. Mengapa kini pasangan Fauzi-Nachrowi banyak diam, mereka melakukan silent operation. Karena faham bahwa mereka sudah cukup dikenal, sehingga tidak perlu repot-repot harus bersosialisasi ke masyarakat. Berbeda dengan pasangan lain yang harus meningkatkan popularitasnya, terlebih yang bukan penduduk Jakarta. Incumbent tidak melakukan turba (turun kebawah), cukup menemui beberapa tokoh seperti Ketua Umum Muhamaddiyah, Dien Syamsudin misalnya.

Bagaimana dengan momentum? Masalah yang terpenting di Jakarta hanyalah soal sampah, banjir dan macet. Karena itu lima pasang calon lainnya harus berusaha mencari atau menciptakan momentum berkaitan dengan tiga masalah tadi. Janji Alex Nurdin-Nono yang akan menuntaskan banjir dan macet dalam tiga tahun nampaknya justru bisa menjadi kontra produktif, karena masyarakat sudah tidak percaya masalah banjir dan macet  akan dapat selesai dalam lima tahun.

Kesimpulannya, memang berat melawan pasangan Bang Foke-Nara, karena selain incumbent, mereka didukung Partai Demokrat, partai terbesar di DKI, pemilik 32 kursi di DPRD DKI. Yang juga harus menjadi bahan ukuran, kabarnya duit Bang Foke banyak akan digelontorkan untuk pemenangan nantinya. Pasangan ini akan all out saat kampanye nanti, sementara pasangan lainnya nafas logistiknya bisa tersendat, berat apabila harus mengimbangi. Lagipula  energi mereka sudah mulai tersedot, karena terpaksa sudah harus mulai mengenalkan brand image mulai kini. Walaupun demikian, peluang mengalahkan incumbent tetap tidak tertutup, semuanya hanyalah hitungan manusia, tetapi pada akhirnya keputusan Allah yang menentukan.

Media di era digital society kini menjadi sarana yang disebut silent revolution, yang menurut para ahli jauh mengalahkan pengaruh jejaring partai. Yang pasti, memainkan kartu media butuh uang berkoper-koper, kuatkah melawan incumbent? Prayitno Ramelan ( www.ramalanintelijen.net )

Ilustrasi gambar : beritajakarta.com

 

 

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.