Antara Pembelian Pesawat Tempur TNI AU, Balance of Power dan Geopolitik Kawasan
8 August 2020 | 11:32 am | Dilihat : 819
Setelah perang dagang, kini terjadi pengerahan militer laut AS, diprediksi akan terjadi perang dingin diantara keduanya (foto : Transkepri)
Pada tanggal 18 Juli 2020, sebuah situs media di Austria, Kronen Zeitung, memberitakan tentang surat Menhan RI Prabowo, nomor 60/M/VII/2020 kepada Menhan Austria Klaudia Tanner tentang niatnya untuk pembelian 15 pesawat tempur Eurofighter Typhoon bekas milik AU Austria.
Berita tersebut menjadi ramai dibahas media serta beberapa narasumber yg dari sudut pandangnya masing2. Sebagai inti kekuatan udara nasional, peran dan tugas TNI Angkatan Udara melekat sebagai alat pertahanan negara di udara, TNI AU membutuhkan pesawat tempur pengganti F-5E TigerII yang sudah habis masa pakainya.
Surat Menhan RI Prabowo ke Menhan Austria tentang Eurofighter Thypoon jelas boleh saja, sebagai institusi puncak pengadaan alutsista. Tetapi dalam kondisi negara yang masih berat menghadapi serangan 'teror' dari Corona Virus Desease (Covid-19) serta tekanan perekonomian yang berat dan bisa mengarah ke kondisi kurang baik, terasa kurang pas. Presiden Jokowi kini memerintahkan para pembantunya di Kabinet agar memberhentikan pembelian dari luar negeri dan lebih mengutamakan pembelian barang di dalam negeri supaya ekonomi menggeliat.
Beberapa negara yang mempersenjatai angkatan perangnya dengan pesawat Eurofighter Thypoon adalah Jerman, Italia, Spanyol, Inggris, Austria, dan Arab Saudi (Foto (Liputan6)
Pengadaan Alutsista TNI Secara Mendasar
Pengadaan alutsista untuk TNI tidak sesederhana seperti yang banyak dibahas pada beberapa waktu terakhir oleh beberapa nara sumber. Pertimbangan pokoknya yang di analisis adalah aspek operasi, tehnis dan non tehnis. Pembahasan ketiga aspek ini melibatkan baik TNI AU sebagai pengguna, Mabes TNI, Kemhan dan beberapa kementerian terkait lainnya.
Pembahasan berjenjang akan menghasilkan kesimpulan komprehensif yang ideal, jalannya panjang tidak 'ujuk-ujuk, sak karepe dewe', seperti yang terjadi saat ini. Terus juga publik dijejali oleh media informasi dan dibahas narsum yang lebih fokus ke aspek non tehnis. Mengapa tidak membahas topik hangat itu misalnya dengan mengundang tokoh purnawirawan TNI AU yang ex penerbang F-5E dan pernah mengikuti pendidikan sebagai penerbang tempur sekelas 'Top Gun' di USAF Fighter Weapon School di Nellis AFB,yang juga mantan pejabat yang faham tentang kebutuhan pesawat tempur dan diplomasi pertahanan, diantaranya Marsdya TNI (Pur) Suprihadi, mantan Sekjen Kementerian Pertahanan.
Penulis pernah menulis tentang pemilihan pengganti pesawat tempur F-5E Tiger II. Tulisan ini hanya mencoba memberikan gambaran agar kita tetap berada di koridor antara kebutuhan dengan situasi dan kondisi yang berlaku demi keselamatan bangsa dan negara serta melindungi pimpinan nasional.
Pemilihan Awal Pesawat Tempur Pengganti F-5E
Sebenarnya pemilihan pengganti F-5E sudah final dilakukan oleh TNI AU, dan pilihan jatuh kepada Sukhoi-35BM buatan Rusia. Proses juga sudah melalui tahapan pembahasan di Mabes TNI dan sudah pernah diputuskan oleh Menhan, Ryamizard Ryacudu pada tahun 2016. Setelah terjadi pergantian Menhan dari Pak Ryamizard Ryacudu kepada Pak Prabowo Subianto, dalam perkembangannya, masalah Sukhoi-35 tidak disebut lagi yang jelas ada hambatan pada aspek non tehnis.
Sukhoi-35BM yang dipilih TNI AU, mampu mencapai kecepatan 28oo km/jam di ketinggian 11 km, denganjangkauan 4.500 km. Mesir membeli Su035 dan menyatakan jet kelas berat Rusia ini dapat menungguli pesawat tempur Israel da AS di Timur Tengah (Foto : defencestudies)
Pemilihan pesawat sebagai kandidat pengganti F-5E TNI AU dimulai di TNI AU dengan menilai berbagai jenis pesawat tempur modern, diantaranya pesawat tempur Sukhoi Su-30 MKI, F-15 SE Silent Eagle, F-16 E/F Block 60/62, Eurofighter Typhoon, Rafale-B, F-18 E/F Super Hornet, Sukhoi SU-35 Flanker dan JAS-39 Gripen NG.
Semuanya adalah pesawat tempur modern generasi terbaru 4.5 yang secara kasar diperkirakan memenuhi kriteria sebagai pesawat tempur strategis TNI AU, baik karakteristik umum pesawat, performance, persenjataan, dan avionics pesawat tersebut. Semuanya melalui analisa mendalam terkait dengan aspek operasi, tehnis dan non tehnis.
Kemudian dilakukan perbandingan kemampuan pesawat yang menjadi kandidat pesawat tempur strategis. Semua calon diukur, apakah memenuhi kriteria penilaian yaitu, pesawat jenis multi role minimal generasi 4.5, mampu menjangkau sasaran strategis dengan radius of action jauh, baik sasaran permukaan dan bawah permukaan.
Pesawat tempur pilihan harus mampu melaksanakan misi pertempuran siang dan malam hari segala cuaca, memiliki radar modern dengan jangkauan jauh, mampu melaksanakan network centric warfare, perawatan mudah, peralatan avionic, navigasi dan komunikasi modern yang tersandi, peralatan perang elektronika pasif dan aktif serta memiliki kemampuan meluncurkan senjata konvensional, senjata pintar dan senjata pertempuran udara jarak sedang atau beyond visual range.
Juga dibandingkan kemampuan kandidat dalam hal kecepatan, ketinggian operasional, kemampuan tinggal landas, kemampuan jangkauan radar, kemampuan combat radius of action dan kemampuan agility pesawat (tingkat kelincahan manuver dan kecepatan reaksi pesawat untuk bertindak menyerang dan bertahan terhadap situasi baru tanpa penundaan waktu). Juga dilakukan analisa aspek aeronautic yang meliputi enam katagori yaitu ; usia perawatan air frame, engine, biaya perawatan, biaya operasi, dan perbandingan usia pakai.
Dalam bidang avionic, konfigurasi yang human machine interface, ketersediaan dukungan suku cadang, tingkat kegagalan, publikasi pemeliharaan dan operasional, kehandalan, teknologi, populasi dan kemudahan pemeliharaan.
Dari sisi aspek non tehnis meliputi : tinjauan politis terkait kebijakan pemerintah, transfer teknologi, tingkat ekonomis, perbandingan dengan kemampuan pesawat yang berpotensi menjadi calon lawan, perkiraan biaya operasional nyata, kesulitan dan kemudahan pengadaan serta yang terpenting kemampuan menghasilkan efek detterent atau penggentar.
TNI AU mengajukan ke Mabes TNI dan pembahasan selanjutnya serta keputusan penentuan tentang pesawat yang dipilih berada di pihak pemerintah yang diwakili Kementerian Pertahanan. Dari beberapa jenis pesawat, saat itu sudah diputuskan pemerintah Indonesia aakan membeli Sukhoi-35BM. TNI AU sudah memiliki pesawat tempur Sukhoi (Su-27 dan Su-30) yang terbukti pernah mengungguli pesawat tempur RAAF Hornet dalam latihan bersama si Australia. Selain itu kepemilikan Su-35 yang baru tidak akan menyulitkan baik penerbang maupun tehnisi TNI AU yang sudah terlatih dengan pesawat tempur Sukhoi 27 dan 30.
Australia Gentar Bila TNI AU memiliki Su-35
Australia sebagai tetangga terdekat Indonesia saat itu jelas kembali gundah bila TNI AU dilengkapi Su-35BM, pemerintahnya kemudian memutuskan merubah keputusan rencana semula pembelian Hornet, mengganti dengan membeli 72 buah pesawat tempur stealth F-35 JSF (Joint Strike Fighter). Kegundahan Australia terlihat dari pernyataan the Business Spectator di Australia yang pernah menyatakan, "Indonesia merencanakan akan membeli pesawat tempur Sukhoi dari Rusia yaitu Su-35 atau selanjutnya PAK-FA T-50.
Jadi pertanyaannya lebih baik (Australia) memilih F-35 daripada Hornet. Apabila Indonesia kemudian dimasa depan ikut memperkuat Angkatan Udaranya dengan Su-35 atau PAK-FA T-50, maka AU Australia akan menjumpai masalah besar, mereka (RAAF) tidak akan memiliki kesempatan menerapkan slogannya (first look, first shoot, first kill’). Ditegaskan oleh BS bahwa tidak ada pertempuran udara yang diperlukan. Pesawat Australia sudah runtuh sebelum bertempur, karena disergap jauh sebelum dia menyadarinya.
Menurut Victor M. Chepkin, wakil direktur umum NPO Saturn, mesin AL-41f yang baru akan memungkinkan jet Rusia untuk supercruise (terbang pada kecepatan supersonik untuk jarak jauh.) Dengan tidak harus beralih ke afterburner. Dengan demikian, pesawat dapat mengirit bahan bakarnya.
Hambatan UU CATSA Dalam Pengadaan Su-35
Pada 27 Oktober 2017, AS telah mengeluarkan kebijakan yang disebut Countering America’s Adversaries Through Sanctions (UU CAATSA). Adapun kebijakan tersebut disahkan oleh Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, sebagai instrument AS di bidang intelijen dan pertahanan.
UU CATSA ini dimaksudkan sebagai bentuk tekanan politik melalui skema CATSA. Washington menganggap Rusia telah melakukan tindakan agresif melakukan invasi ke Krimea dan Ukraina dan melakukan tindak negatif terhadap AS seperti serangan siber pada saat pemilihan presiden pada 2016.
Sebelum pengesahan UU CAATSA itu dilakukan, pada 29 September 2017, Presiden Trump mendelegasikan wewenang untuk melaksanakan bagian 231 itu kepada kementerian luar negeri AS. Bagian 231 mensyaratkan pengenaan sangsi tertentu terhadap orang-orang yang terlibat secara sengaja dalam transaksi signifikan, pada atau setelah tanggal UU CAATSA itu diundangkan, dengan atau atas nama seseorang yang merupakan bagian atau operasi untuk atau atas nama sektor pertahanan atau intelijen pemerintah Rusia.
Perkembangan Geopolitik Kawasan Asia Tenggara dan Laut China Selatan
Dalam beberapa waktu terakhir terjadi peningkatan gelar kekuatan militer AS (tiga kapal induk plus perangkat) yang dibantu kapal induk Inggris dan kapal perang Perancis di Laut China Selatan (LCS). RRT (China) juga merespon secara militer tetapibaru berupa pernyataan baik pemerintah maupun PKT (Partai Komunis China). Eskalasi terlihat menuju ke arah perang dingin antara Amerika Serikat dan China di LCS. Persoalan intinya karena China sejak 2007 sudah memiliki dan merencanakan konsep penguasaan dua Samudera.
Amerika Serikat (AS) mengirim dua kapal induk ke Laut China Selatan (LCS) saat China melakukan latihan militer di perairan yang disengketakan. Mengutip Wall Street Journal, Reuters melaporkan, USS Ronald Reagan dan USS Nimitz akan berada di Laut China Selatan mulai Sabtu (4/7) (foto : Transbisnis)
China membangun kekuatan milisi maritim dan OBOR, dan sejak 2015 mulai melakukan klaim dan pasang gigi di LCS dan menetapkan pulau bentukannya di Spratley dengan ketentuan landas batas kontinent. Konsep hegemoni China melalui OBOR dengan pendekatan prosperity, yaitu dengan memengaruhi negara-negara kawasan. Instrumen yang dipakai terutama psychological culture, media, legal dan ekonomi.
Di lain sisi, Amerika merespons dengan konsep Indo Pacific, melalui pendekatan security, diantaranya menggunakan instrumen military, intelligence, diplomatic, legal, informational, finanfe and economy. Operasi intelijen dan militer AS pernah dibocorkan Snowden, ada operasi Green Zone, pendudukan Afganistan, Irak, operasi Syria, serta pressure kepada Iran. Sejak 2009, Presiden Obama menyatakan konsep rebalancing, menggeser kepentingannya dari Timur Tengah ke Asia Pasifik, menilai China mulai berulah, disamping sudah melengkapi sekutunya (Jepang, Korea Selatan dan Australia), AS menginginkan Malaysia dan Indonesia menjadi mitranya.
AS telah lama menentang klaim teritorial China yang luas (OBOR) di Laut China Selatan serta klaim sepihak China tentang ADIZ (Air Defence Identification Zone) di LCS dan Laut China Timur. AS menerbangkan pembom B-52 dan B-17 melintasi LCS tanpa diganggu. Selain itu AS kini mengirim kapal perang secara teratur melalui jalur laut strategis itu untuk menunjukkan kebebasan navigasi di sana. Klaim Beijing atas sumber daya lepas pantai di sebagian besar Laut China Selatan dinilainya benar-benar melanggar hukum. Melansir Reuters, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan selama bertahun-tahun China telah mengintimidasi negara-negara pantai Asia Tenggara lainnya.
Komentar Pompeo dinilai sebagai nada yang lebih keras klaim China atas jalur laut yang bernilai sekitar 5 triliun dolar AS dari lalu lintas barang yang dikirimkan setiap tahun (Sea lane of logistic). China dengan tegas menentang pernyataan Menlu Pompeo yang menolak klaim China yang dipersengketakan di Laut China Selatan, tuduhan Washington terhadap China yang mengintimidasi tetangganya, "sama sekali tidak dapat dibenarkan," ujar Beijing.
AS dan beberapa negara kawasan Asia Tenggara tidak menerima klaim China tentang LCS, AS juga menolak klaim China di Laut Natuna Besar (Unclos 200 mil). Selain itu AS mendukung mitra di Asia Tenggara tentang hak lepas pantai, dengan kata lain AS akan membela dan melindungi negara-negara Asia Tenggara.
Pertemanan F-35 AS di Asia Pasifik
Pertimbangan strategis dari Singapura tentang keputusan membeli pesawat tempur F-35 disebut oleh China sebagai 'lingkaran pertemanan F-35 Amerika Serikat'. Dikatakannya sekelompok negara yang berbatasan dengan China yang telah dan akan membeli F-35 untuk melawan kekuatan udara China yang semakin tangguh. Kelompok itu saat ini termasuk Korea Selatan, Jepang, dan Australia dan ditambah Singapura.
F-35 Lightning II adalah pesawat tempur multirole kursi tunggal, sisngle engine, pesawat siluman segala cuaca, multirole combat aircraft, air superiority and strike missions. Memiliki kemampuan peperangan elektronik dan kemampuan pengawasan dan pengintaian.(Foto : Airspace-review)
Saat ini Singapura mengoperasikan sekitar 60 jet tempur F-16 Block 52, serta F-15 yang telah menjalani program peningkatan yang memberi mereka fitur yang lebih canggih sebagai pesawat penyerbu, seperti radar AESA. Tetapi , Kemhan Singapura memprediksi bahwa pesawat F-16 akan usang pada tahun 2030.
Dengan demikian, pemilihen Singapura terhadap F-35B tipe US Marines, STOVL (Short Takeoff/Vertical Landing) diharapkan dapat menggantikan F-16 di masa depan. Pesawat tempur F-35 dinilai oleh Kementerian Pertahanan Singapura sebagai pesawat serbu ringan paling tangguh dengan perlengkapan persenjataan yang semakin mematikan.
Keinginan Jepang membeli 105 pesawat tempur siluman F-35 senilai US$23,11 miliar telah disetujui AS. Jepang meminta 63 F-35A, versi tradisional dan 42 buah F-35B, STVOL seperti yang akan dibeli Singapura.
Australia menurut manajer program F-35 Air Marshal Chris Deeble, tetap berencana membeli 72 pesawat tersebut dengan anggaran US$17 miliar. Deeble mengatakan Australia sudah membeli dua JSF ini dengan biaya masing-masing 126,7 juta dolar AS, namun rata-rata harga pesawat ini di 2023 sekitar 90 juta dolar AS. Delapan pesawat lagi dibeli di 2018, dan delapan lainnya di 2019. Deeble menambahkan Australia kemudian akan membeli 15 pesawat lagi setiap tahunnya sampai 2023. Saat itu pembelian terakhir sebanyak sembilan buah JSF.
Korea Selatan (Korsel) telah menerima pesawat jet tempur siluman F-35A pertamanya dari Lokcheed Martin Amerika Serikat (AS) bulan Maret 2019. Seorang pejabat militer Korea Selatan mengatakan dua jet perdana F-35A telah siap tempur sejak bulan Mei 2019 dan 10 jet lainnya dimiliki siap pada akhir tahun 2019.
Analisis
Analisis dari persepsi intelijen, berawal dari perkembangan geopolitik dan geostrategi internasional dan kawasan Asia Tenggara serta Laut China Selatan sebagai hot spot. Amerika dibawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, dengan tegas menetapkan Rusia dan China sebagai musuh utamanya. Rusia beroperasi dengan strategi 'Leading Global Power' dan China dengan strategi 'Asia Pacific New Security Concept' (2015).
Sejak 2007 China membangun maritime militia (33.000 medium ship 500 ton), didukung coast guard 13.000 ton untuk penciptaan grey conflict (grey warfare) yaitu jenis perang baru. Konsep OBOR dengan anggaran US$14,2 Triliun disiapkan Bank of China dan konsep BRI (Belt and Road Inisiatif) dengan nilai US$8 Triliun, walau dikenal sebagai upaya hegemoni melalui prospetity aproach, oleh pihak AS disebut sebagai debt trap (jebakan hutang).
Dalam mengimbangi Rusia dan China, Strategi Pertahanan AS tahun 2019 dibuat dengan membangun jaringan keamanan di kawasan Indo Pasifik, Eropa, Timur Tengah dan Afrika, AS membangun 6 wilayah pertahanan. Khusus US Indo Pacific, terdiri dari tiga wilayah pertahanan yaitu IndoPac, Africom dan Sencom. Detail IndoPac diperinci dalam konsep Higher Road yaitu Unintrupted Comerce, Freedom of Navigation, Conectivity and Maritime Domain Security. Konsep Presiden Trump jelas dan tegas, "Pukul tidak dengan Asymetric War dan pukul China di rumahnya sendiri" (pre-emptive strike). Setelah terjadi perang dagang, menuju ke Pemilu AS bulan November 2020, ketegangan AS - China terus melebar. Berawal dari masalah Covid-19 hingga kini pengerahan kekuatan militer luar biasa ke LCS dan dibantu Inggris dan Perancis.
Bagaimana sebaiknya bagi Indonesia membaca? Perseteruan AS dengan China jelas harus dibaca ada yang berbeda pertama dari instrumen yang dipergunakan keduanya. China lebih mengutamakan psychological culture dan pengaruh ekonomi. Sementara AS menerapkan security aproach, memainkan instrumen military, intelligence, diplomatic, legal, informational, finance and economy. Ketujuh instrumen AS tersebut dapat dipergunakan apabila mereka butuhkan dan menyangkut kepentingan serta keamanan nasionalnya. Satu instrumen saja dapat menjatuhkan pemimpin sebuah negara, terlebih apabila beberapa instrumen dipakai menyerang kerawanan sebuah negara. Misalnya masalah minyak dan kurs bisa memporak porandakan perekonomian sebuah negara.
Instrumen militer kini dilakukan berupa pengerahan kekuatan tempur maritim ke LCS dengan dukungan kapal induk Inggris dan kapal perang Perancis, tujuannya satu yaitu Laut China Selatan tidak boleh dikuasai China, harus tetap sebagai jalur bebas. Kedua negara faham daalam perimbangan kekuatan maritim, China belum menjadi lawan sepadan kekuatan global power Amerika yang memiliki tujuh wilayah pertahanan, China belum memiliki satupun wilhan. Memang dari retorikanya ingin disamakan sebagai global power. Menurut salah satu tema, komunitas intelijen sebagai peneliti maritim menegaskan, disebut sebagai regional power-pun China juga belum teruji dan belum memadai.
Nan, dalam menyikapi konflik dua negara raksasa itu, secara khusus tugas negara kita adalah melindungi segenap bangsa, oleh karena itu negara kita harus mempunyai kemampuran dalam melindung. Ini berarti negara harus memiliki deterrent power untuk mengimbangi kekuatan lainnya di kawasan.
Dalam hal ini maka Kementerian Pertahanan (Kemhan) jadi primadona di negeri ini, selain itu juga Menhan bersama Menlu mempunyai tugas 'tandem' di bidang prtahanan, diplomasi dan politik LN Indonesia. Karena itu sikon LCS sebaiknya dibaca terutama dari sisi intelijen strategis, ada hal-hal tersirat yang mereka inginkan. Intinya lebih fokus memprediksi munculnya bahaya dan ancaman, tidak lantas membicarakan polugri kawasan jauh seperti Palestina misalnya.
Surat Menhan ke Menhan Austria yang menyatakan minat kepada Eurofighter Thypoon bekas, penulis nilai janggal, disaat presiden Jokowi sedang kesulitan mengatur anggaran untuk menangani Corona. Apakah juga tidak terbaca, setelah Menhan Prabowo kembali dari Rusia, mendadak AS merilis persetujuan pembelian delapan pesawat tilt rotor Osprey? Sementara kita membutuhkan pesawat tempur. Hal-hal seperti ini sebaiknya diwaspadai dan dibaca sebagai signal dari Amerika, apa yang tersirat bukan hanya yang tersurat.
Dari sisi balance of power, AS sudah merilis penjualan pesawat siluman (stealth fighter) F-35 kepada beberapa negara di kawasan Asia Pasifik (Singapore, Australia, Jepang dan Korea Selatan). Bila kita tetap mengandalkan Su-27/30 dan F-16 yang ada, maka pertahanan udara kita bisa ter-down grade menghadapi teman-teman AS yang dilengkapi dengan pesawat siluman F-35A maupun F-35B.
Kesimpulan
Pengadaan alutsista pesawat tempur pengganti F-5E baik untuk kepentingan pertahanan udara maupun untuk kepentingan serbu memerlukan proses panjang didasari pertimbangan operasi, tehnis dan non tehnis. Kriteria esensial dari TNI AU sebagai pengguna yaitu pesawat berkemampuan multirole combat aircraft atau air superiority. Pertimbangan kedua dari sisi commonality atau penyederhanaan, yang dimaksud, pesawat baru sebaiknya tidak terlalu jauh dalam transfer teknologi dikaitkan dengan keberadaan pesawat tempur yang sudah dimiliki.
Rencana Indonesia membeli 11 Su-35 ini sudah berlangsung sejak 2016, tetapi kontrak belum juga dapat terealisasi. Rusia tak menampik salah satu hambatan pembelian Sukhoi ini adalah bayang-bayang sanksi Amerika Serikat. Meski begitu, Menhan Prabowo pernah menegaskan Indonesia adalah negara berdaulat sehingga keputusan apa pun tidak bisa diintervensi apalagi diancam negara lain. Oleh karena itu menurut penulis, minatnya terhadap Eurofighter Thypoon dinilai kurang pas, baik merubah kebutuhan TNI AU maupun tidak sesuai dengan kondisi negara pada saat ini.
Saran dan Penutup
Dari kondisi terakhir kekuatan udara harus punya aspek deterrent, dari sisi pertimbangan balance of power (perimbangan kekuatan) serta perkembangan kondisi geopolitik dan geostrategi kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara dan Laut China Selatan, Indonesia, nampaknya pada masa mendatang apabila keadaan sudah memungkinkan, hanya ada dua opsi dalam memilih pengganti F-5E Tiger II, tetap membeli Su-35BM atau memilih F-35 (harus dimulai dari awal penilaian di Mabes TNI AU)..
Sebaiknya Menhan dan Menlu RI lebih waspada dan bijak memberikan pernyataan dalam menyikapi perkembangan memanasnya sikon Laut China Selatan. Walau di satu sisi peran China (RRT) di Indonesia cukup besar terkait masalah ekonomi, keinginan dan keseriusan Amerika menjadikan Indonesia sebagai mitra di kawasan Indo Pasifik sebaiknya diberikan apresiasi, ditanggapi, jangan diabaikan.
Kebutuhan analisis umum bagi kepentingan diplomasi, politik dan pertahanan, serta khususnya bagi Presiden Jokowi sebagai end user agar supaya berada di koridor aman dan terlindungi apabila di suplai current issue, data serta prediksi intelijen strategis dimana institusi serta pejabat yang mumpuni berada di Bais TNI.
Sebagai penutup, kasus kegagalan politik Najib ex mantan PM Malaysia dapat dipergunakan sebagai studi kasus intelstrat, menjadi korban conditioning akibat naif serta fanatismenya ke negeri tirai bambu. Setelah jatuh kini Najib menjadi pesakitan, didakwa tujuh kasus, terancam hukuman 7- 9 tahun penjara. Demikian sumbang pikir penulis dari persepsi intelijen, semoga bermanfaat. Pray Old Soldier.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Wongsodidjojo Ramelan (Pengamat Intelijen), www.ramalanintelijen.net