RENCANA PENGIRIMAN PASUKAN TNI KE MARAWI SEBAIKNYA DIBATALKAN
7 July 2017 | 8:37 am | Dilihat : 2125
Militer Filipina saat baku tembak dengan kelompok Maute di Marawi (foto : JawaPos)
Beberapa waktu terakhir, berkembang berita Indonesia sedang mempertimbangkan akan mengirim pasukan TNI ke Marawi untuk memenuhi permintaan bantuan dari Presiden Filipina, Rodrigo Duterte. Nampaknya konflik di Marawi semakin menyulitkan pemerintah Manila, dapat dinilai merupakan ancaman keamanan internal terbesarnya dalam beberapa dekade terakhir.
Penulis mencoba menjawab UUK (Unsur Utama Keterangan) kebutuhan intelijen terkait konflik Marawi, berupa pertanyaan, hal-hal yang belum diketahui atau belum jelas, yang perlu diketahui sebagai faktor-faktor yang harus diperhitungkan dalam mempertimbangkan kebijaksanaan atau tindakan apa yang akan diambil Indonesia dalam rangka saran pengambilan keputusan. Informasi coba penulis sampaikan berupa keterangan-keterangan, ataupun indikasi-indikasi hasil pulbaket, dalam bentuk analisis guna menjawab UUK tersebut.
Kelompok Maute (Abdullah) , selalu membawa bendera ISIS, walau belum diakui sebagai jaringan ISIS (foto : batamnews)
Pertempuran yang terjadi di Marawi antara pengikut Abu Sayyaf yang didukung kelompok Maute melawan militer Filipina sejak tanggal 23 Mei 2017 telah menyebabkan jatuhnya korban tewas yang cukup banyak. Pada tanggal 3 Juli 2017, juru bicara Presiden Filipina, Ernesto Abella dalam briefing di Press Hour Mindanao mengumumkan bahwa militer Filipina telah membunuh 336 militan, sementara 84 anggota militer dinyatakan tewas. Dalam pertempuran gerilya kota tersebut 41 warga sipil ikut terbunuh, baik dalam baku tembak maupun yang dieksekusi oleh militan.
Informasi Intelijen Terkait ISIS di Marawi
Presiden Rodrigo Duterte mengatakan serangan militan tersebut merupakan bagian dari rencana yang lebih luas oleh Islamic State (IS), yang lebih dikenal sebagai ISIS untuk mendirikan sebuah pangkalan di Mindanao Selatan. Sejak konflik, Duterte mengumumkan darurat militer selama 60 hari untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Dari persepsi intelijen, muncul pertanyaan (UUK) apakah ini memang murni Islamic State atau ada faktor lainnya Filipina?
Phill Hynes , analis dari ISS Risk yang berbasis di Swiss, dalam sebuah panel di Thailand baru-baru ini dengan topik "Mungkinkah Asia Tenggara Menjadi Frontline Baru Negara Islam. Dia menyatakan , "Islamic State much more advanced in Southeast Asia than previously known.”
Pesawat jenis OV-10 Bronco AU Filipina mendukung gerakan pasukan darat, dimana jenis pesawat ini di TNI AU sudah di grounded, masuk musium dan digantikan perannya oleh Super tucano (foto : Tapak Jejak)
Kemampuan dua kelompok tersebut dalam menahan gempuran militer Filipina selama lebih dari satu bulan yang dengan perkuatan BTU (Bantuan Tembakan Udara), merupakan bukti lebih jauh akan kemampuan dan kepercayaan diri yang tumbuh di kelompok teroris yang dikatakan telah berbai'at kepada Abu Bakr al-Baghdadi itu.
Marawi lebih bisa dinilai sebagai pemberi "inspirasi" bagi kelompok teroris, yang pada gilirannya dapat menarik lebih banyak jihaddis eksternal untuk melihat ke arah Timur (Asia Tenggara) sebagai medan tempur baru. Walaupun dalam pertimbangan taktis militer belum tentu juga merupakan upaya untuk menciptakan 'khilafah' di Asia Tenggara.
Apabila dikaitkan dengan kepentingan ISIS, dinilai lebih kepada upaya menunjukkan eksistensi, menginspirasi banyak pihak, khususnya menginspirasi simpatisan ISIS di kawasan Asia Tenggara khususnya dan internasional pada umumnya, di samping menciptakan momentum. Marawi dapat dinilai merupakan wilayah ideal medan tempur baru untuk tetap berkiprah apabila mereka dihabisi di Irak dan Suriah.
Para militan di Filipina berpakaian seadanya, tetapi bersenjata lengkap, banyak didukung informasi rakyat sekitar (foto : scmp)
Para pakar terorisme dalam diskusi panel juga mengungkapkan keterkejutannya atas kegagalan intelijen Manila dalam mengantisipasi dan memprediksi langkah militan di Marawi, yang menurut mereka, telah menempatkan nasib Filipina sebagai negara di Asia Tenggara yang paling lemah dalam perang melawan teroris ISIS/IS.
Selama ini diketahui bahwa pimpinan Abu Sayyaf, Isnilon Hapilon memang pernah berbai'at (menyatakan setia) kepada Baghdadi. Tetapi dua pimpinan Maute, Omar dan Abdullah Maute walaupun kelompoknya menggunakan sistem teroris Islamic State, pada dasarnya berbeda. Kelompok Maute dikenal sebagai Dhawiyah Islamiyah, yang dibentuk dua bersaudara yang pernah belajar sekolah sekuler di Suriah dan Uni Emirat Arab.
Tiga tokoh pemipin yang terlibat dalam konflik dengan pasukan Filipina, Isnilon (Abu Sayyaf) dan Maute Bros (Maute), foto : ABS-CBS
Kelompok Maute sebagian besar adalah remaja dan pemuda, yang dilaporkan banyak merekrut para anak laki-laki dengan janji diikutkan pendidikan Islam gratis. Para orang tua yang rata-rata miskin itu mengijinkan anak-anaknya untuk bergabung dengan kelompok tersebut. Dalam proses perekrutan lanjutan, anggota yang lebih tua kemudian mencuci otak (brainwash) anak-anak tersebut dengan mindset jihad. Mereka menunjukkan bahwa pemujaan Islam yang benar itu membutuhkan kekerasan ala teroris versi mereka.
Maute umumnya dilengkapi dengan senjata buatan lokal di Lanao del Sur, dengan dukungan luar negeri dan ahli senjata dari Turki, dan mereka dikenal sebagai kelompok elit terlatih. Pada beberapa tahun lalu penulis ikut terlibat dalam program kerja Deputi Penindakan BNPT, berupa pembinaan kemampuan aparat intelijen daerah di sembilan Kominda. Pada saat berada di Kominda Kalimantan Selatan (bersama team BIN, Baintelkam, Densus-88), penulis mendapat informasi, bahwa kelompok radikal di Lanao del Sur memiliki pabrik senjata yang cukup maju. Bahkan home industri tersebut sudah mampu membuat sniper kaliber 12,7 mm, yang pernah coba diselundupkan juga ke Indonesia. Kemungkinan senjata itu yang kini banyak memakan korban di pihak militer Filipina, termasuk tewasnya 13 marinir.
Ghazali Jaafar pimpinan MILF yang kini menjadi chairman komisioner persatuan 50 suku di Filipina Selatan (foto : ABS-CBN)
Kelompok Dhawiyah ini sudah lama bersekutu dalam hubungan kekerabatan dengan suku Tausung yang dipimpin oleh Isnilon Hapilon. Posisi Hapilon cukup kuat sebagai pemimpin Abu Sayyaf, sukunya, salah satu diantara 50 suku-suku di Mindanao, bersatu dalam 21 perwakilan komisioner dengan chairman Ghazali Jaafar. Isnilon selalu menggunakan bendera ISIS dan diakui sudah berbai'at kepada Baghdadi.
Dalam penilaian intelijen, fakta dan indikasi keterlibatan sel-sel IS memang diketemukan di Mindanao. Dalam intensitas pertempuran di Marawi, kehadiran pejuang asing Muslim dari Indonesia, Malaysia, Yaman, Singapura dan Chechnya yang ikut bertempur telah meyakinkan dan menimbulkan kekhawatiran bahwa wilayah tersebut dapat menjadi pusat teroris Islamic State di Asia Tenggara. Beberapa informasi intelijen menyebutkan bahwa ISIS pusat di Timur Tengah hanya mengakui dua wilayah sebagai basisnya di Asia Tenggara, yaitu Poso dan Mindanao.
Di Marawi, para militan melakukan aksi teror meniru cara-cara (aksi teror) ISIS, menyandera sekitar 100 orang penduduk, yang menurut militer para sandera dipaksa menjadi perisai manusia, pengumpul makanan, mengangkat senjata atau menjadi budak seks. Beberapa sandera yang melawan mereka bunuh dengan dipotong kepalanya.
Langkah Keras Duterte Dalam Menghancurkan Jaringan Narkoba
Presiden Filipina Duterte menyerukan Agar Kelompok Teroris di Marawi Menyerah (foto : BreakingNews)
Dalam melakukan analisis Marawi, kebijakan Presiden Duterte yang sangat keras terhadap masalah narkoba penulis masukkan sebagai fakta intelijen, karena pengaruh kartel mafia narkoba internasional sangat besar, terlihat dari perkembangan situasi dan kondisi sejak Duterte menjabat. Komponen biografi intelstrat menunjukkan kebijakan presiden Duterte sangat mewarnai kemajuan Filipina dalam memberantas narkoba, tetapi di sisi lainnya juga meningkatkan terhadap ancaman nasionalnya.
Presiden Duterte yang diilai berani dan nekat itu, nama lengkapnya Rodrigo "Rody" Roa Duterte, lahir tanggal 28 Maret 1945 (umur 72 tahun), berjuluk Digong. Dia adalah seorang politikus dan pengacara Filipina keturunan Visayan. Duterte adalah salah satu walikota yang paling lama menjabat dalam 7 masa jabatan (total lebih dari 22 tahun), sebagai walikota Kota Davao, di pulau Mindanao. Saat menjadi Walikota, Duterte telah bertindak keras terhadap jaringan narkoba termasuk memerintahkan pembunuhan. Bahkan pernah diberitakan dia pernah menembak mati tiga gembong narkoba.
Duterte setelah menjadi presiden Filipina semakin menjadi sorotan dunia atas kebijakan perangnya melawan narkoba dengan cara membunuh setiap orang yang terlibat penyalahgunaan narkoba, baik pengguna maupun bandar ataupun para gembongnya.
Penjara Filipina dipenuhi pecandu narkoba (foto : Merdeka)
Pada bulan Agustus 2016, puluhan pejabat dan petugas polisi menyerahkan diri untuk membersihkan nama mereka, setelah Duterte pada hari Minggu (7/8/2016) mengultimatum 150 hingga 160 nama pejabat yang masuk sebagai pelindung maupun terkait penyalahgunaan narkoba untuk menyerah dalam tempo 24 jam. Jika ultimatum diabaikan, Duterte memerintahkan polisi untuk memburu dan membunuh mereka.
Kepala Polisi Nasional Filipina, Ronald dela Rosa, telah ditegur keras oleh Duterte setelah informasi menyebutkan banyak polisi masuk dalam daftar menjadi pelindung gembong narkoba. ”Saya marah dengan apa yang terjadi. Saya malu. Kita harus menjadi pihak yang menangkap orang-orang ini (gembong narkoba), tapi kita (justru) melindungi mereka. Saya akan membunuh Anda jika Anda tidak akan berubah,” kata Dela Rosa seperti dikutip dari Reuters.
BBC menulis Pada 17 Desember 2016, hampir 6.000 orang dilaporkan telah tewas dibunuh oleh polisi, warga dan tentara bayaran di Filipina sejak Duterte meluncurkan perang narkoba sejak terpilih menjadi presiden pada bulan Mei 2016. Inilah fakta sebagai informasi intelijen penting dalam kasus keamanan Filipina.
Keterlibatan AS dan Australia di Marawi
Special Forces Amerika melatih pasukan Filipina dari Brigade 103 (foto : Inquirer News)
Dalam kondisi kesulitan militer Filipina karena kurangnya kemampuan dalam perang kota, nampaknya Presiden Duterte mencoba mencari dukungan dari beberapa Negara, diantaranya Amerika, Australia, Indonesia, Malaysia dan bahkan PBB. Dari informasi yang masuk, Filipina mengalami kesulitan mengatasi para penembak jitu (sniper) serta pertempuran kota. Kelompok militan melakukan aksi teror, seperti memasang jebakan granat dengan tabung gas selain ahli dalam pertempuran blok per blok. Mereka juga menggunakan terowongan bom, senjata anti-tank dan menggunakan warga sipil yang disandera sebagai perisai manusia untuk memperkuat posisinya.
Saat pertempuran semakin intensif, Kedutaan Besar AS di Manila mengatakan Amerika mengirimkan dan memberikan bantuan kepada tentara Filipina, meskipun menolak memberi rincian dengan alasan keamanan. Pasukan khusus AS (Special Forces) dikirim untuk membantu militer Filipina untuk mengusir gerilyawan Islam di Marawi, demikian menurut kedutaan AS Sabtu (10/6/2017) , bertepatan saat itu 13 marinir Filipina terbunuh oleh sniper. Perwakilan AS di Manila menyatakan, "Atas permintaan pemerintah Filipina, pasukan operasi khusus AS membantu militer Filipina dalam operasi yang sedang berlangsung di Marawi."
Presiden China Xi Jinping mengadakan pembicaraan dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte di Beijing, ibukota China, 20 Oktober 2016. (Xinhua / Li Xueren)
Beberapa analis berpendapat bahwa bantuan AS di Marawi dikeluarkan setelah Duterte berusaha mengurangi ketergantungan Filipina ke Amerika Serikat dan membangun hubungan yang lebih dekat dengan China dan Rusia. Kedutaan Besar AS mengatakan di Manila, Sabtu (10/7/2017) memberikan penjelasan kebijakan Washington, “Continue to work closely with the Philippines to face a common threat to the peace and security of our countries, including counterterrorism issues." Amerika akan terus bekerja sama dengan Filipina untuk menghadapi ancaman bersama terhadap perdamaian dan keamanan negara-negara kita, termasuk isu-isu kontraterorisme.
Selain AS, Australia juga menyatakan mengirim bantuan kepada Filipina. Reuter memberitakan, bahwa Australia pada hari Jumat (23/6/2017) sepakat untuk mengirim dua pesawat pengintai untuk membantu Filipina mengatasi pemberontak. Filipina telah menerima tawaran dua pesawat AP-3C, Orion untuk pengintaian dalam menentukan lokasi kelompok pejuang Maute yang bersembunyi.
Pesawat intai Australia AP-3C Orion yang dikirim oleh Australia untuk membantu Filipina menyelesaikan kasus Marawi (foto :Inquirer Global Nation)
Menteri Pertahanan Australia Marise Payne mengatakan dalam sebuah pernyataannya, "Ancaman regional dari terorisme, khususnya dari Daesh dan pejuang asing, merupakan ancaman langsung bagi Australia dan kepentingan kita." Payne merujuk pada Islamic State dengan akronim bahasa Arab (Daesh). Bantuan Australia muncul saat kekhawatiran tumbuh bahwa Maute dan afiliasinya memiliki desain dan kesiapan yang tinggi dan lebih kuat di Marawi daripada yang dibayangkan sebelumnya. Hal tersebut dibuktikan dengan kemampuan tempur dan daya tahan mereka selama minggu-minggu belum dapat dilumpuhkan.
Permintaan Bantuan Kepada Indonesia
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menegaskan bahwa Indonesia siap terlibat dalam operasi militer untuk menggempur kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS di Marawi, Filipina Selatan. Menurut Wiranto, sudah sejak lama Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengizinkan Indonesia terlibat dalam operasi militer tersebut. Wiranto menghargai tawaran Filipina agar TNI bisa masuk ke Marawi untuk memerangi gerombolan bersenjata Maute yang terafiliasi dengan ISIS.
"Sudah dari dulu diberikan izin. Kemauan kita melawan terorisme itu enggak bisa mandiri, mesti bersama-sama," ujar Wiranto saat memberikan keterangan di Kemenko Polhukan, Jakarta Pusat, Kamis (22/6/2017). "Itu patut kita hargai karena mereka menghargai Indonesia sebagai negara yang mempunyai kemampuan untuk melakukan suatu operasi perkotaan seperti itu," katanya.
Meski demikian, lanjut Wiranto, operasi militer tidak serta merta bisa dilakukan, sebab, kegiatan tersebut harus sesuai prosedur hukum yang berlaku di masing-masing negara. Di sisi lain, Indonesia juga harus mematuhi prosedur operasional yang disyaratkan oleh Filipina. Demikian penjelasannya kepada media.
Indonesia memang belum mengirimkan pasukan untuk membantu militer Filipina melawan militan ISIS di sana. "Tetapi yang pasti, yang sudah bergerak di lapangan itu kan patroli maritim bersama. Untuk mengirim pasukan ke sana tidak gampang 'kan?" kata Menko Polhukam Wiranto di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Senin (3/7/2017).Menko Polhukam Wiranto, untuk mengirim pasukan ke sana tidak segampang yang kita gambarkan (foto : harian pijar)
Saat ini KemenkoPolhukam masih merancang prosedur operasi bersama dalam memerangi gerombolan bersenjata Maute yang terafiliasi dengan ISIS. "Sekarang sedang kami rancang bersama bagaimana melakukan suatu prosedur operasi bersama, apakah latihan, atau operasinya, sedang digarap TNI AD, TNI AL, TNI AU," katanya. Wiranto mengatakan, komunikasi dengan Filipina terus menerus, dan operasi bersama perlu persiapan waktu. Ketika ditanya apakah Presiden Joko Widodo sudah menyetujui rencana pengiriman pasukan TNI itu, Wiranto menjawab: "Belum" (Antara).
DPR RI Menolak Pengiriman Pasukan TNI Ke Marawi
Pihak DPR RI mengingatkan agar pemerintah tidak reaktif meski Presiden Filipina, Rodrigo Duterte membuka peluang TNI dilibatkan dalam operasi militer menggempur ISIS di Marawi. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin dalam siaran pers yang diterima wartawan, Selasa, (4/7/2017) menyebutkan ada beberapa alasan agar TNI tidak bisa dilibatkan dalam perang ini.
Dikatakannya, dalam UUD 1945, yang terkandung, TNI bertugas untuk mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan NKRI. Terkait dengan wewenang TNI dalam operasi militer selain perang, TNI memiliki tugas untuk melaksanakan, menciptakan perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri maka ada hal yang mesti diperhatikan. Dikatakannya, pengiriman satgas TNI dalam operasi perdamaian di bawah bendera PBB harus mendapatkan persetujuan dari DPR-RI, serta memperhatikan pertimbangan institusi lainnya yang terkait.
Pihak DPR RI mengingatkan agar pemerintah tidak reaktif menanggapi permintaan Presiden Duterte untuk mengirim pasukan (foto :Flicker)
UU Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahahan Negara. Disebutkan TNI dapat ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Dalam penjelasannya, tugas TNI yang masuk dalam kategori operasi militer selain perang (OMSP) itu antara lain berupa bantuan kemanusiaan (civil misision). OMSP juga dilakukan berdasarkan permintaan atau perundang-undangan.
UU RI No.34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 7 tugas pokoknya melaksanakan OMP dan OMSP (di wilayah yuridiksi NKRI), pengerahan kekuatan bersenjata kemanapun atas perintah Kepala Negara yang disetujui oleh DPR-RI.
UU RI No.37 Tahun 1999 tentang hubungan luar negeri; UU RI No.24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional dan UU RI no.2 Tahun 1982 tentang pengesahan misi khusus, memiliki spesifikasi khusus untuk melakukan kebijakan pemerintah sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam rangka melaksanakan kebijakan pemerintah dengan berbagai pihak negara tetangga maupun badan dunia lainnya.
Mengacu pada beberapa produk UU di atas maka sangat jelas bahwa pemerintah Indonesia tidak dibenarkan mengirim pasukan tempur ke Filipina. TNI hanya di izinkan melakukan penugasan sebagai pasukan perdamaian di bawah bendera PBB. Apabila dilaksanakan, maka pemerintah akan dinilai inkonstitusional.
Menilai Bahaya Marawi Sudut Pandang Intelijen (Menjawab UUK)
Dari sudut pandang intelijen, dalam pelibatan kekuatan selain yang termaktub dalam UU yang berlaku, para pejabat penulis kira faham tentang kondisi kritis dan sangat berbahaya dan complicated di kawasan Mindanao. Walau kekuatan gabungan antara pasukan Hapilon dan Maute tidak besar, tetapi nampaknya mereka sulit ditaklukkan, ini sebuah pertanyaan besar bagi intelijen.
Dilain sisi, pemerintah Amerika serta Australia jelas tidak akan melibatkan diri dalam konflik apabila kondisi tidak terlalu serius. Pemerintahan Filipina dibawah Duterte jelas berhadapan dengan beberapa permasalahan keamanan berupa ancaman nasional. Pertama, kondisi geopolitik kawasan; pendekatan Duterte ke Rusia dan khususnya China pada kemelut Laut China Selatan jelas membuat kepentingan AS terganggu. Duterte perlu menilai ulang langkahnya tersebut sebagai mitra AS.
Muslimin Sema, pemimpin MNLF dengan pengikut 12.500 pasukan bersenjata (foto : Rappler)
Kedua, khusus di kawasan Filipina Selatan, ada masalah yang belum juga usai yaitu soal otonomi khusus. Terdapat organisasi yaitu MNLF, MILF, Abu Sayyaf serta Maute yang bersenjata lengkap. Kekuatan pasukan terbesar ada di MNLF (kini terpecah, Nur Misuari dengan 2.000 pengikut dan Muslimin Sema dengan 12.500 pengikut). Sementara Isnilon Hapilon serta Maute hanya memiliki beberapa ratus pengikut. Masing-masing kelompok ada yang berbeda kepentingannya, tetapi pada intinya mereka menuntut Undang-undang Otonomi Khusus dengan konsep syariah.
Di Filipina Selatan tersebut, kelompok Hapilon diketahui telah menyatakan setia kepada pimpinan ISIS Abu Bakr al-Baghdadi, mereka selalu mengusung bendera ISIS. Dari 40 korban WN asing dikatakan militer Filipina, mereka adalah simpatisan ISIS yang berasal dari beberapa negara. Jadi pernyataan Duterte masih valid bahwa pemberontak ada keterkaitan dan berafiliasi dengan Islamic State. Berita yang diangkat oleh media serta para analis bahwa kasus Marawi adalah kasus terorisme ISIS jelas masih diragukan, karena Maute bukanlah jaringan ISIS atau Islamic State. Duterte mungkin juga mendapat informasi intelijen, masuk dalam informasi desepsi siapa dibelakang itu semua. Indikasi yang ada meragukan.
Dari fakta pembersihan dengan gaya cleaner system (pembunuhan) terhadap jaringan narkoba nampaknya kini memunculkan ancaman terhadap Duterte. Pada saat masih menjadi Walikota Davao, kebijakan serupa yang diterapkan hanya berdampak sektoral, dan paling besar nasional. Tetapi begitu Duterte menjadi presiden, kebijakan tumpas yang diakukanya jelas dianggap oleh para Capo Mafioso mengganggu dan merugikan perdagangan internasional. Kita faham, banyak dari gembong narkoba yang menjadi penguasa atau kelompok jaringan penguasa di negara-negara besar. Bahkan narcoterrorism akan semakin berkembang.
Presiden Duterte bersama Nur Musuari salah satu pemimpin MNLFyang membawahi 2.000 pasukan bersenjata (foto : philnews)
Oleh karena itu para mafioso itu kini ikut melibatkan diri dan bahkan menciptakan proxy war kepada pemerintah Filipina dengan menggunakan kelompok radikal atau teroris lokal. Disinilah kemudian dari persepsi intelijen pembacaan situasi Marawi menjadi lebih complicated. Semua kepentingan bisa berjalan sendiri-sendiri, tetapi bisa juga mereka berkolaborasi. Hulu persoalan bisa meliputi kepentingan geopolitik, narkoba dan terorisme. Inilah jawaban faktor-faktor dalam menjawab UUK diatas.
Nah, dalam kondisi yang berlaku, menurut penulis sebaiknya para petinggi meninjau ulang rencana-rencana pelibatan yang sudah ada dengan pertimbangan political risk, social risk serta military risk. Selain itu dampak keterlibatan bisa berupa pelanggaran konstitusi, jatuhnya harga diri, dan bukan tidak mungkin Indonesia akan terseret dalam kasus konflik regional. Yang paling berbahaya, apabila Presiden Jokowi menyetujui atau bahkan memerintahkan pengiriman pasukan, dia bisa di makzulkan. Dengan demikian, saran penulis, sebaiknya pemerintah segera menyatakan membatalkan rencana serta menghentikan konsep pengiriman pasukan TNI ke Marawi.
Dalam posisi sebagai negara sahabat baik juga apabila Indonesia tetap ikut prihatin dan memberi semacam bantuan logistik, misalnya berupa tenda dan ransum militer. Sebagai penutup, disarankan pejabat terkait tidak perlu membuat pernyataan lebih lanjut soal Marawi, benefitnya hampir dikatakan tidak ada. Saran lain yang jauh lebih penting, intelijen perlu lebih mendalami kemungkinan adanya pelebaran masalah terkait UUK diatas.
Perlu dilakukan pembacaan atas indikasi bentuk ancaman dari perkembangan geopolitik kawasan, narkoba dan teroris Islamic State terhadap keamanan nasional Indonesia. Islamic State serta narkoba diketahui sudah ada di Indonesia. Jadi UUK intelijennya; "Apakah ada dan seberapa jauh terjadinya kolaborasi antara kepentingan geopolitik negara besar, jaringan narkoba dan sel Islamic State di Indonesia?" Itulah pekerjaan rumahnya. Semoga bermanfaat.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net