Konflik di Marawi, Murni ISIS Atau Ulah Proxy?
4 June 2017 | 12:01 am | Dilihat : 1736
Militer Filipina mengerahkan pasukan dan mobil lapis baja dalam konflik di kota Marawi pekan lalu (foto : Nasional-Republika)
Pertempuran yang terjadi antara kelompok militan bersenjata, simpatisan ISIS (milisi Abu Sayyaf dan kelompok Maute) di Filipina dengan militer Filipina di kota Marawi sudah berlangsung selama 12 hari. Menurut beberapa informasi hingga hari ini korban jatuh sudah mencapai 175 jiwa. Sementara juru bicara militer Filipina, Brigadir Jenderal Restituto Padilla menyatakan bahwa hingga Rabu (31/5) korban yang tewas mencapai 129 jiwa, 89 diantaranya pemberontak, 21 militer dan 19 penduduk sipil.
Jenazah warga sipil yang menjadi korban ditemukan oleh fihak militer yang bergerak masuk ke kota pada akhir pekan ini. Delapan korban warga sipil ditemukan di pinggiran jurang, tangan mereka diikat dan terdapat luka tembak di bagian kepala. Mereka diyakini sebagai tukang kayu yang bersama sejumlah warga lainnya berusaha meninggalkan kota untuk menyelamatkan diri pada hari Sabtu (27/05), tapi dihentikan oleh kelompok militan dan dibunuh.
Presiden Filipina Duterte, demi fokus menangani konflik di Marawi membatalkan kunjungan ke Jepang (Foto : OkezoneNews)
Presiden Rodrigo Duterte memberikan tanggapan terhadap krisis Marawi, yang digambarkan sebagai awal dari sebuah kampanye besar oleh ISIS untuk mendirikan pijakan di Filipina. Sementara juru bicara militer Padilla menyatakan bahwa operasi militer telah mampu menguasai 90 persen wilayah di Marawi dan militan bersenjata masih mempertahankan 10 persen yang diyakininya untuk mempertahankan tiga pemimpinnya yang masih bertahan di Marawi.
Menurutnya para pemberontak itu kini terjebak dan putus asa. "They are trapped, they are contained, they are in areas that they will never come up alive unless they surrender," tegasnya. Yang menyulitkan militer, masih terdapat sekitar 2.000 penduduk sipil yang terjebak di lingkungan yang dikuasai pemberontak.
Padilla pada hari Rabu juga menjelaskan militer Filipina melakukan serangan udara untuk mengantisipasi para sniper, dia menegaskan bahwa serangan udara militer tidak membunuh penduduk yang terjebak. Tetapi diakui dalam salah satu bantuan tembakan udara, pesawat AU Filipina justru salah sasaran dan menembaki pasukan sendiri hingga menewaskan 11 orang diantaranya.
Posisi MNLF (Moro National Liberation Front)
Kelompok pemberontak utama Muslim, Moro National Liberation Front (MNLF) sebelumnya telah menandatangani kesepakatan dengan pemerintah Manila yang bertujuan untuk menciptakan perdamaian, melepaskan ambisi separatis mereka sebagai imbalan atas otonomi yang diberikan oleh pemerintah. Sementara kelompok Maute dan kelompok garis keras lainnya tetap menolak proses perdamaian.
Gambaran pasukan MNLF dibawah kepemimpinan Nur Misuari (foto : Merdeka)
Dalam kasus Marawi, MNLF memosisikan diri baik di dalam dan sekitar kota Marawi siap membantu memerangi kelompok teroris Maute. Hanya mereka menunggu kordinasi dan arahan pemerintah selanjutnya. Pimpinan MNLF Davao City, Rolando Olamit mengatakan bahwa mereka memiliki beberapa kamp di Lanao del Sur dan memiliki pasukan di dalam kota Marawi. Olamit menyatakan mereka sudah ada di sana, tapi mereka diminta untuk mundur karena pasukan militer Filipina yang akan menanganinya.
MNLF yang berada disekitar Marawi telah keluar dari konflik untuk menghindari kecurigaan bahwa mereka bersama dengan Maute. Ditegaskannya bahwa MNLF dibawah Nur Misuari benar-benar bertentangan dengan Maute. Olamit menambahkan sekitar 5.000 pejuang MNLF kini disiagakan untuk bergabung dengan pemerintah dalam pertempuran selanjutnya, tidak hanya di Marawi, tapi bila pecah di daerah lain dengan kehadiran ISIS yang diinspirasi dari Maute.
Militan Maute Penyerbu Marawi
Kelompok Maute juga dikenal dengan nama the Islamic State of Lanao adalah kelompok Islam radikal, sebagian dari mereka terdiri dari mantan gerilyawan Front Pembebasan Islam Moro (Moro Islamic Liberation Front ), dipimpin oleh Abdullah Maute. Dia adalah pendiri Daulah Islamiyah yang berbasis di Lanao del Sur, Mindanao. Pada Februari 2016 terjadi bentrok antara Maute dengan militer Filipina, dimana markas Maute di Butig, Lanao del Sur di kuasai militer.
Pimpinan Maute Group, Omar Maute (kiri) dan Abdullah Maute (kanan) (Foto : NusantaraNews)
Kelompok ini didirikan pada tahun 2012 oleh saudara laki-laki Abdullah dan Omar Maute, yang hanya dikenal sebagai penjahat kecil waktu itu. Pada bulan April 2015 Maute dengan kekuatan 100 orang menyatakan kesetiaan (berbai'at) ke Negara Islam. Bersama dengan organisasi teroris Anshar Al-Khilafah Filipina, juga bersumpah setia untuk saling memberikan dukungan satu sama lainnya. Namun, menurut mantan konsultan senior Dewan Keamanan Nasional Filipina, Ashley Acedillo, tidak ada indikasi bahwa ISIS telah mengakreditasi janji kesetiaan grup Maute tersebut. Maute hanya diketahui telah berafiliasi dengan Jemaah Islamiyah Asia Tenggara.
Sebuah laporan yang diterbitkan pada bulan Oktober 2016 menyatakan bahwa Grup Maute, "memiliki anggota kelompok pro-ISIS terpandai, terdidik, dan paling canggih di Filipina." Kelompok ini diperkirakan memiliki lebih dari 100 anggota dan dipasok persenjataannya oleh seorang teroris asing. Dalam aksinya Maute selalu menggunakan simbol bendera hitam ISIS, tetapi Walikota kota Butig, Ibrahim Macadato juga menyatakan bahwa Maute tidak berafiliasi dengan ISIS, hanya merupakan penduduk bersenjata . Beberapa dokumen menyebutkan kelompok ini mungkin mencoba berafiliasi dengan ISIS. Kota Butig, yang merupakan markas besar kelompok Maute, juga merupakan kubu Front Pembebasan Islam Moro (MILF), dimana kedua kelompok tersebut terikat oleh hubungan kekerabatan.
Kini dengan kondisi ISIS di Irak dan Suriah yang posisinya semakin tertekan karena serangan banyak negara, disamping adanya arahan desentralisasi tokoh ISIS pusat, kesetiaan kelompok Maute terhadap ISIS dinilai sebagai peluang medan perang baru bagi para jihaddis Asia Tenggara yang harus keluar dari Timur Tengah. Setidaknya sejak tahun 2016, laporan tentang kegiatan jihad di Filipina dan semakin besarnya keinginan para militan Filipina untuk bergabung dengan ISIS menunjukkan meningkatnya koordinasi, kerja sama, dan kohesi antara militan Asia Tenggara dengan ISIS di Suriah dan Irak.
Dalam kasus di Marawi, diberitakan bahwa intelijen Filipina menemukan kohesi tersebut dengan ditemukannya WN Indonesia, Malaysia, Singapura, Saudi, Turki, Pakistan yang ikut bertempur bersama Maute dan Abu Sayyaf.
Keterlibatan WN Indonesia Dalam Konflik di Marawi
Pihak Polri menyebutkan terdapat sekurangnya 38 WNI diduga terlibat dalam aksi serangan kelompok Maute di Marawi dan diketahui empat orang diantaranya tewas. Kadivhumas Mabes Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan satu orang diantara puluhan WNI tersebut merupakan perempuan, enam orang diantaranya dipulangkan otoritas Filipina dan enam lainnya dideportasi. "Mereka (yang sudah berada di Indonesia) masih dimintai keterangan oleh Densus 88, dan kita juga punya profiling dan data apakah yang bersangkutan itu terkait dengan terorisme atau tidak," kata Setyo.
Polisi Filipina merilis di Face Book, DPO baik penduduk lokal maupun WN Indonesia diantaranya empat orang (Foto : Jawa Pos)
Setyo juga mengatakan masih ada sekitar 22 orang Indonesia yang masih berada di dalam Marawi. "Kemungkinan besar mereka ikut berperang di situ, kita masih selidiki WNI ini berasal dari kelompok mana dan jalur yang membawa mereka ke Filipina, apakah Maute atau Isnilon Hapilon," katanya.
Keberadaan WNI di Filipina Selatan bukanlah hal baru, diketahui sejak lama bahwa senjata-senjata yang dipakai kelompok Santoso di Poso dan teroris di Indonesia lainnya juga berasal dari Filipina. Hubungan para jihaddis Indonesia dengan Filipina Selatan sudah bertahun-tahun terjalin. Misalnya ikon terorisme asal Indonesia, Umar Patek alias Umar Kecil alias Umar Arab alias Abu Syekh alias Zacky yang keturunan Jawa-Arab itu lama tinggal di Filipina Selatan.
Patek mengakui ikut membuat bom Bali-1 tahun 2002 bersama Sawad dan Abdul Goni, pembuatan rangkaian switching selanjutnya dikerjakan oleh Dr Azhari dan Dulmatin. Setelah peledakan bom Bali-1, Patek 2003 melarikan diri ke Philipina, pada tahun 2005, dia bergabung dengan kelompok Abu Sayyaf. Saat di Filipina Selatan itu diyakini Umar sudah bersama Zulkarnain, komandan tertinggi Jemaah Islamiyah (JI) Asia Tenggara. Keduanya diperkirakan berada di Pulau Jolo, salah satu pulau di gugusan kepulauan yang berhutan lebat di Provinsi Mindanao, Filipina Selatan.
Kegiatan Umar Patek sebagai salah satu teroris terkenal (Foto: JakartaPost)
Umar Patek kembali ke Indonesia pada Tahun 2009, kemudian bergabung dengan Dulmatin, Heri Kuncoro dan Hasan Noer di Pamulang. Pada 2011 dia berangkat ke Pakistan. Di Pakistan dia ditangkap aparat keamanan dan dideportasi ke Indonesia, diadili dan di penjara di Indonesia.
Konflik Marawi Murni ISIS, atau Proxy?
Dalam menciri sebuah serangan teror, sebenarnya tidak sulit dalam melihat apakah ada keterlibatan langsung asing atau tidak. Serangan bom di Bali, JW Marriott, Kedubes Australia adalah bom besar dengan tingkat kehancuran tinggi, target utamanya AS serta sekutunya. Disitu jelas ada teroris asing, Dr Azhari dan Noordin M Top (WN Malaysia), serta jelas ada aliran dana besar dari luar negeri.
Bom-bom dan serangan teror bentuk lainnya yang terjadi di Indonesia setelah tahun 2009 lebih banyak ditujukan ke Polri, baik instansi maupun perorangan. Mereka hanya mampu mengadopsi dan menyerang dengan bom panci, serangan pistol, bom kecil lainnya, tetapi korbannya tidak besar. Ini seperti dikatakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, hal tersebut menunjukkan kapabilitasnya rendah. Jelas yang memengaruhi masalah ahli dan terutama dukungan dana serta makin ketatnya aparat keamanan dalam mengawasi pembelian bahan bom.
Kelompok Maute dan milisi Abu Sayyaf yang beroperasi di pulau Mindanao meluncurkan serangan kejut ke Marawi, melepaskan sejumlah narapidana, menjarah Gudang senjata. ISIS menyebar ke pusat kota, menguasai RS Pakpak dan Balaikota, mengisolasi pelabuhan kota, mengusir polisi dan militer. Beberapa hari terakhir menunjukkan bahwa pasukan pemerintah telah pulih dari guncangan awal serangan , kini tmemegang inisiatif strategis dalam pertempuran (Foto : Al-Masdar)
Nah, konflik di Marawi selama seminggu menjadi semacam zona perang, hingga militer Filipina kemudian mengerahkan selain pasukan juga panser serta pesawat tempur penyerang. Militan yang terlibat menurut Menhan Filipina Delfin Lorenzana sekitar 400-500 orang. Ini bukan serangan sembarangan, dibutuhkan dukungan logistik yang besar serta kodal yang tepat dalam menggerakkan kekuatan yang hampir satu batalyon itu.
Menurut penulis, dalam kasus Marawi terindikasi adanya keterlibatan luar (asing) disitu. Menjadi pertanyaan, apakah yang terlibat ISIS dari Suriah atau mungkin ada pendana lain yang memang menciptakannya. Melihat penguasaan mereka terhadap Marawi, kemampuan awalnya sepertinya akan membentuk sebuah khilafah sekelas Provinsi seperti dikatakan Presiden Duterte.
Pasukan khusus Filipina Scout Ranger merupakan kebanggaan dengan Marinir selalu diterjunkan dalam konflik yang sifatnya kritis (Foto : Radar Militer)
Tetapi kalau melihat dalam 11 hari saja, militer mampu mendikte dan mendesak kelompok bersenjata hanya menguasai sepuluh persen Marawi saja, ini menunjukkan perencanaan pembentukan basis khilafah sangat lemah dan tidak terencana dengan baik. Justru dikatakan bahwa para pemberontak semakin putus asa.
Pengamat terorisme Asia Tenggara dan penasehat senior International Crisis Group (ICG), Sidney Jones, mengatakan bahwa apa yang terjadi di Marawi ditunggangi oleh orang-orang asing dan bergabung dengan kelompok radikal yang berada di Marawi, dan sudah beraliansi kuat dengan ISIS.
Penulis melihat adanya kejanggalan pada kasus Marawi, terindikasi kelompok yang menyatakan berbai'at ke ISIS itu telah dimanfaatkan oleh sebuah kekuatan atau bahkan negara lain dalam kegiatan proxy. Konflik Marawi sangat mungkin hanya sebuah konflik yang diciptakan untuk melakukan tekanan terhadap pemerintah Filipina, menyampaikan pesan, dan kemungkinan juga adanya kepentingan lain. Filipina sudah ditetapkan sebagai medan Jihad mereka yang pro ISIS, oleh karena itu perembesan ke Indonesia nampaknya kecil kemungkinannya.
Apakah milisi Abu Sayyaf dan kelompok Maute hanya dipergunakan sebagai sarana proxy war di Filipina Selatan? Atau memang murni ISIS yang bermain? Ini yang harus dijawab dahulu agar penyelesaian sesuai dengan kebutuhan (Foto : PressTV)
Kini yang perlu diwaspadai oleh pemerintah Filipina bukan tidak mungkin akan tetap ada upaya proxy yang berlanjut hingga cover gerakan terbongkar. Sementara di Indonesia kelompok radikal dan konservatif sangat mungkin dimanfaatkan sebagai sarana proxy war dalam menciptakan chaos untuk menekan pemerintah dibawah Presiden Jokowi, ini yang perlu diwaspadai. Kelompok teroris belum mereka mainkan dalam skala besar, mengingat sel-sel yang ada kapabilitasnya belum memadai dan mudah diantisipasi oleh Densus dan aparat keamanan lainnya. Kira-kira begitu.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net