Novel Diserang, KPK Jangan Meremehkan Ancaman Koruptor Kelas Mafia yang Terorganisir
14 April 2017 | 7:28 pm | Dilihat : 1033
Kapolda Metro Jaya Irjen Mochammad Iriawan saat menjenguk Novel Baswedan di Rumah Sakit Mitra, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (11/4/2017), Foto : Nasional Kompas.
Masyarakat terkejut dengan terjadinya serangan penyiraman air keras terhadap penyidik KPK atas nama Novel Baswedan. Serangan terjadi pada hari Selasa (11/4/2017) sekitar pukul 05.00 WIB, dimana Novel disiram cairan asam sulfat (H2So4) pada wajahnya oleh dua orang tak dikenal. Kejadian berlangsung seusai Novel menunaikan ibadah salat Subuh berjamaah di Masjid Jami Al Ihsan yang hanya berjarak empat rumah dari rumahnya.
Kasus tersebut menjadi viral dan banyak ditanggapi mulai dari Presiden Jokowi yang ikut geram, para pejabat serta masyarakat, karena hingga saat ini penyidik KPK masih dipercaya sebagai ujung tombak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Serangan keji dengan air keras dinilai tidak kalah menyeramkan dibandingkan serangan dengan menggunakan senjata tajam, senjata api ataupun bom. Banyak pihak percaya bahwa ini adalah aksi teror. Benarkah begitu?
Pihak keamanan kini bergegas mencari kdua pelaku untuk membongkar jaringan serta motif serangan. Nah, penulis mencoba menganalisis beberapa hal terkait dengan masalah ini yang beraroma teror kearah KPK atau mungkin polisi sebagai target.
Mengenal Novel Baswedan dan Pimpinan KPK
Novel Basweda yang dilahirkan 20 Juni 1977 di Semarang adalah cucu dari , Abdurrahman (AR) Baswedan yang jurnalis, diplomat dan juga sastrawan Indonesia. Novel adalah kakak sepupu dari Anies Baswedan yang kini menjadi Cagub DKI Jakarta. Novel adalah perwira lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 1998, pernah bertugas di Polres Bengkulu pada 1999-2005. Pada tahun 2004, terjadi kasus penembakan terhadap enam pencuri sarang burung walet di Bengkulu. Kala itu Novel menjabat Kasatserse Polres Bengkulu. Salah seorang di antara enam tersangka itu akhirnya tewas. Setahun kemudian, Novel ditarik ke Jakarta dan ditugaskan sebagai penyidik KPK dari unsur Polri
Novel Baswedan menjadi Kepala Satgas kasus megakorupsi e-KTP (Foto:Portal Islam)
Sebagai penyidik KPK, kini Novel menjadi kepala satgas penyidikan kasus pengadaan e-KTP dimana sedang dibongkar megakorupsi yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun dari total nilai proyek Rp 5,9 triliun. Dalam surat dakwaan sidang kasus e-KTP, jaksa penuntut umum menyebut sejumlah nama nama besar politikus dan pejabat seperti Ketua DPR Setya Novanto, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Anas Urbaningrum, hingga Menkumham Yasonna Laoly serta demikian banyak anggota-anggota DPR RI lainnya. Kini Setya Novanto dicegah bepergian keluar negeri oleh pihak imigrasi selama enam bulan atas permintaan KPK terkait dalam penyidikan dengan tersangka Andi Narogong.
Selain itu, selama bertugas di KPK, sejumlah perkara korupsi yang ditangani KPK juga dipegang Novel. Pria berjenggot itu juga berperan penting dalam mengungkap kasus dugaan korupsi proyek simulator ujian SIM Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, suap hakim MK Akil Mochtar, suap wisma atlet SEA Games Palembang dan pengadaan alat kesehatan. Dia juga yang menyidik skandal korupsi yang melibatkan mantan Bendahara Partai Demokrat, M. Nazaruddin, yang kemudian menyeret banyak tokoh penting di Indonesia. Novel adalah salah satu dari lima penyidik asal Polri yang memilih tetap bertahan di KPK saat Polri memutuskan menarik 15 penyidiknya yang diperbantukan di KPK.
Pimpinan KPK terdiri dari lima orang dengan Ketuanya Agus Rahardjo (59), pendidikan terakhir; S2 Manajemen dari Arthur D. Little Management Education Institute, AS, pekerjaan terakhir: Kepala Lembaga Kebijakan Barang dan Jasa Pemerintah. Nomor dua Alexander Marwata (48 tahun), Pendidikan terakhir D-IV dari STAN Jakarta, Pekerjaan terakhir: Hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ketiga, Irjen Pol Basaria Panjaitan (58). Pendidikan terakhir: Magister Hukum Ekonomi UI, pekerjaan terakhir, Staf Ahli Kapolri Bidang Sosial Politik, Pernah menjadi penyidik utama di Bareskrim Polri (2008).
Foto lima pimpinan KPK (Foto : Pojok Sulsel)
Keempat, Laode Muhammad Syarif (50), pendidikan terakhir, Doktor hukum lingkungan hidup internasional dari Universitas of Sydney, pekerjaan terakhir, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, Senior Adviser Partnership for Governance Reform in Indonesia. Kelima, Thony Saut Situmorang (56), pendidikan terakhir Doktor Manajemen SDM dari Universitas Persada Indonesia, pekerjaan terakhir Staf Ahli Kepala BIN, Dosen Kajian Strategik Intelijen Pascasarjana UI.
Korupsi Yang Menghancurkan
Pada masa kini, KPK serta para penyidik-penyidik serta staf lainnya berhadapan langsung dengan para koruptor. Selama ini orang melihat bahwa korupsi hanyalah tindakan menyelewengkan anggaran untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu, kalau tertangkap diadili dan dimasukkan ke penjara. Entah sadar atau tidak, kini korupsi sudah seperti belalai gurita raksasa yang melibat bangsa kita tanpa kita sadari semakin lama semakin banyak yang terbelit. Korupsi kini bukan budaya lagi, tetapi telah menjadi sebuah komoditas.
Kita hanya terheran-heran, dari proyek e-KTP Rp 5,9 triliun, KPK menyebutkan sebesar Rp 2,3 triliun telah dikorupsi, bahkan secara berjamaah. Pengusutan dan penyidikan terus dilakukan oleh KPK dan beberapa sudah masuk ke pengadilan Tipikor. Mengerikan membaca berita demikian banyak para anggota legislatif dan eksekutif disebutkan terlibat. Apakah kita hanya cukup terheran-heran? Bila hal seperti ini terus dibiarkan, maka menurut teori kepercayaan rakyat kepada pemerintah bisa hilang dan pemberontakan hanya tinggal menunggu waktu. Benarkah demikian? Mari kita bahas lebih lanjut.
Penulis pernah menyusun artikel terkait dengan korupsi, dan memandang perlu memunculkannya lagi sebagai pengingat dan penambah wawasan bagi kita bersama tentang bahayanya. Menurut ikhtisar dari World Economic Forum, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Tingkat korupsi bervariasi antar wilayah, negara dan sistem politik. Korupsi salah satu hambatan terbesar bagi pembangunan ekonomi dan sosial di seluruh dunia. Praktik korupsi mendistorsi pasar dan menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Logo KPK di kantor yang baru, mampukah menghadapi lawan yang semakin berat? (Foto : Nasional Kompas)
Pengaruh korupsi tidak hanya bidang ekonomi, korupsi juga melemahkan supremasi hukum dan memengaruhi stabilitas politik dan menghambat kohesi sosial. Pemberontakan yang pernah terjadi di Afrika Utara dan Timur Tengah menunjukkan bagaimana korupsi yang meluas dapat menimbulkan sebuah keresahan sosial dan berakibat terjadinya pemberontakan.
Dalam dekade terakhir, masyarakat internasional telah berhasil menciptakan sebuah front penindakan yang kuat terhadap korupsi, memperkenalkan hukum dan peraturan yang lebih keras. PBB, OECD , World Economic Forum dan organisasi internasional lainnya semakin mencurahkan perhatian terhadap korupsi yang dinilai mempunyai daya rusak yang tinggi.
Menurut Transparency International, korupsi adalah penyalah gunaan wewenang untuk kepentingan pribadi atau suatu kelompok tertentu. Menurut Sindhudarmoko, 2000, pada korupsi tersangkut tiga pihak, pihak pemberi, penerima dan objek korupsi. Dalam buku saku KPK berjudul Memahami Untuk Membasmi, definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No.31 Tahun 1999, jo.UU No.20 Th 2001, dalam pasal-pasalnya dirumuskan 31 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.
Hasan Hambali (2005) dalam penelitiannya menyampaikan bahwa sumber korupsi mencakup dua hal pokok yaitu, "Kekuasaan Kelompok Kepentingan dan Hegemoni Elit." Kekuasaan kelompok kepentingan cenderung lebih berwawasan politik, hegemoni elit lebih berkait dengan ketahanan ekonomi. Piranti korupsi umumnya menggunakan perlindungan politis dan penyalahgunaan kekuasaan. Interaksi sumber dan peranti menimbulkan empat klasifikasi. Pertama, Manipulasi dan Suap, interaksi antara penyalah gunaan kekuasaan dan hegemoni elit.
Kedua, Mafia dan Faksionalisme, golongan elit menyalahgunakan kekuasaan dan membentuk pengikut pribadi. Ketiga, Kolusi dan Nepotisme, elit mapan menjual akses politik dan menyediakan akses ekonomi untuk keuntungan diri, keluarga dan kroninya. Keempat, Korupsi Terorganisir dan Sistem, korupsi yang terorganisasi dengan baik, sistematik, melibatkan perlindungan politik dari kekuasaan kelompok kepentingan.
Korupsi bukan budaya tetapi sudah menjadi komoditas. Begitu? (Foto : Kompasiana)
Menurut teori Sindhudarmoko, korupsi apabila dibiarkan akan berdampak terhadap makroekonomi, berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, dalam jangka pendek pengaruhnya belum akan terlihat, tapi dalam jangka panjang korupsi sangat mematikan pertumbuhan ekonomi. Bahkan World Economic Forum menegaskan bahwa korupsi juga melemahkan supremasi hukum, mempengaruhi stabilitas politik dan menghambat kohesi sosial. Apabila disebuah negara korupsi meluas, maka pemberontakan hanyalah soal waktu, karena hilangnya kepercayaan masyarakat dan timbulnya frustrasi rakyat.
Tanggapan Terhadap Serangan Novel
Serangan terhadap Novel jelas merupakan sebuah tindakan kriminal, tetapi juga harus dilihat dari sisi yang lebih luas (dibaca sebagai aksi teror). Menurut teori, kategori kelompok teror adalah ; Pertama, Nonstate-supported Group (irrational crime, kelompok kecil dengan kepentingan khusus, seperti political terror, narco terror). Kedua, State-sponsored Group (teror dimanfaatkan sebagai sarana proxy), Ketiga, State-Directed Group/Terrorism, dimana negara mengorganisir dukungan kepada kelompok teroris secara langsung (Iran 1984 mengorganisir special Forces untuk penyebaran faham Islam fundamentalis. Nah, teror kepada Novel adalah kelompok Nonstate-supported Group, bisa terkait politik dan bisa terkait tindak korupsi.
Presiden Jokowi mengutuk keras serangan terhadap Novel Baswedan, dikatakannya, “Itu tindakan brutal. Saya mengutuk keras,” katanya di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (11/4/2017). Presiden Jokowi memerintahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk mencari siapa pelaku yang telah menyiram Novel dengan air keras. Ditambahkannya, “Jangan sampai orang-orang yang punya prinsip teguh seperti itu dilukai dengan cara yang tidak beradab. Ini tidak boleh terulang,” ujarnya.
Presiden Perintahkan Kapolri Tangkap Pelaku Kekerasan Terhadap Novel Baswedan (foto: VOA Indonesia)
Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla menduga insiden penyiraman air keras ke wajah penyidik KPK Novel Baswedan terkait kasus hukum yang sedang ditangani korban. Dikatakannya, "Ini tentu memberikan kita suatu indikasi adanya perlawanan dari pihak-pihak yang mungkin kena kasus hukum. Kita tidak bisa menuduh kasus hukum mana," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (11/4).
Menkopolhukam Wiranto menilai kasus yang dialami Novel termasuk tindakan biadab dan tidak dibenarkan secara hukum, etika, maupun adat istiadat. Wiranto menyebut tindakan menghalalkan segala cara itu tak bisa diterima di Indonesia karena bertentangan dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Dia menyatakan mendukung rencana KPK meningkatkan pengamanan terhadap pegawainya. Menurutnya, langkah tersebut bisa memperkecil insiden serupa terjadi lagi di masa depan. "Karena yang disiram itu seorang petugas yang sedang menjalankan satu tugas-tugas dan mengungkap permasalahan yang cukup serius," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (11/4/2017).
KPK menyatakan akan meningkatkan pengamanan pegawai khususnya para penyidiknya. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan telah berbicara kepada Polri soal peningkatan keamanan bagi pegawai KPK. Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (11/4) mengatakan bahwa KPK sebenarnya sudah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk pengamanan para pegawainya. Namun, kata Febri, setelah insiden yang dialami Novel, KPK akan memperkuat mitigasi risiko.
Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Mochamad Iriawan menyebut Novel Baswedan sempat menolak pengawalan dan penjagaan di sekitar rumahnya, seminggu sebelum ia disiram air keras. Atas penolakan tersebut, kata Iriawan, polisi pun menarik personel yang biasanya ditempatkan untuk berjaga di sekitar rumah penyidik senior KPK itu.
Sebagai adik sepupu dari Novel Baswedan, Cagub Anies Baswedan menyebutkan bahwa ini bukan pertama kalinya Novel mendapatkan teror selama bertugas di KPK, melainkan sudah kali kelima. "Ini sudah yang kelima. Kami semua percaya namanya penegakan kebenaran melawan korupsi akan berhadapan dengan tantangan. Jadi, ini bukan sebuah hal yang aneh," kata Anies. Teror yang menimpa Novel sebelumnya, di antaranya pernah ditabrak menggunakan motor, pernah ditersangkakan, hingga penabrakan terhadap mobilnya.
Analisis dan Kesimpulan
Disatu sisi dalam pemberantasan korupsi, Novel adalah pahlawan, tetapi dilain pihak dia bisa dinilai sebagai ancaman. Dalam sebuah aksi teror, maka aksi yang dilakukan bisa merupakan sebagai sebuah pesan, menimbulkan rasa takut yang amat sangat ataupun bisa merupakan aksi penghukuman versi lawan Novel pribadi ataupun secara umum kepada KPK.
Melihat dan mengukur lawan serta sisi KPK sendiri dari sisi intel taktis (kekuatan, kemampuan dan kerawanan), menurut penulis petinggi KPK serta WP (Wadah Pegawai) tidak cukup hanya menyatakan mereka tidak takut dalam melaksanakan aksinya. Kekuatan lawan jelas semakin hari semakin heterogen dan membesar. Dari kasus proyek e-KTP, apabila digunakan teori Hasan Hambali, sangat jelas terlihat kaitan erat antara Kekuasaan Kelompok Kepentingan dan Hegemoni Elit. Terlihat adanya kelompok Mafia dan Faksionalisme, yang lebih parah sudah terbentuk kelompok yang melakukan Korupsi Terorganisir dan Sistem.
Rakyat akan memberikan dukungan kepada KPK apabila institusi KPK diserang (foto : beritatrans)
Nah menghadapi lawan kelas berat tersebut, sudah siap dan benarkan sistem pengamanan di KPK? Menurut penulis, kini waktunya pimpinan KPK melakukan "pemeriksaan sekuriti." Yang dimaksud adalah memeriksa sistem pengamanan intelijen (pengamanan personil, materiil, informasi dan kegiatan). Ini tidak hanya menyangkut sekedar menempatkan 'bodyguard', tetapi KPK harus mempunyai seksi intelijen tersendiri yang mampu melaksanakan operasi intelijen sebagai lawan teror. Boleh percaya atau tidak kini pasti ada rasa was-was atau takut diantara para penyidik.
Lawan yang dihadapi bukan sekedar yang bertindak perorangan, tetapi sudah terorganisir. Melihat rekam jejak pimpinan KPK, dari lima orang ada dua yang bersentuhan dengan kemampuan penindakan hukum dan intelijen. Ini tidak cukup apabila KPK ingin tetap menjadi badan yang terpercaya. Uang korupsi triliunan bisa dipakai untuk apa saja, dan terbukti pernah terjadi kriminalisasi pimpinan KPK yang membuktikan KPK tidak steril dari ancaman operasi semacam intelijen penggalangan.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Ketua KPK Agus Rahardjo (foto : nasional kompas)
Walaupun kecil, terbersit dalam benak penulis, kemungkinan kaitan serangan Novel yang juga polisi terkenal dengan terjadinya tiga peristiwa penyerangan kepada polisi terkait terorisme. Pada Kamis (6/4/2017), Densus 88 melakukan penangkapan tiga orang terduga teroris di Lamongan. Seorang di antaranya dipastikan sebagai pimpinan kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Pada Sabtu (8/4/2017) terjadi baku tembak antara gerombolan teroris jaringan JAD dengan polisi di Tuban. Terduga teroris melakukan aksi balas dendam karena pemimpinnya telah ditangkap Densus 88 di Lamongan. Dalam baku tembak itu, polisi menembak mati enam orang pelaku teror. Pada hari Selasa (11/4/2017) pukul 10.10 WIB seorang pria tak dikenal yang menggunakan cadar hitam dan helm tiba-tiba menyerang Markas Polres Banyumas di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, tiga anggota Polres terluka terkena sabetan pedang.
Polri kemudian memberlakukan status siaga satu di internalnya. Ini dilakukan menyusul serangan teror yang diarahkan ke polisi tersebut. Menurut Wakapolri, Komjen Syafruddin di Mapolda Banten, Rabu (12/4/2017), “Perintah Kapolri, seluruh jajaran Polda, Polres, Mabes Polri siaga satu. Bukan siaga satu nasional ya, siaga satu untuk komando masing-masing," katanya. Nah, serangan yang terakhir waktunya sama dengan serangan ke Novel. Apakah terkait? Ataukah serangan proksi? Kalau memang terkait dengan kelompok teroris, maka ini merupakan pesan bahwa mereka bisa menyentuh dimanapun anggota polisi bertugas. Kita tunggu hasil penyelidikan Polri.
Saran penulis kepada Pak Agus Rahardjo, pimpinan KPK yang sederhana dan penulis percaya sulit disentuh koruptor dalam upaya 'penyelesaian secara adat,' kasus Novel ini terlepas sebagai persoalan pribadi ataupun sebagai ancaman yang menjurus kearah KPK atau Polri, sebagai institusi yang dipercaya masyarakat, jangan pandang rendah dan jangan remehkan koruptor yang sudah naik kelas menjadi Mafia yang terorganisir. Mohon peningkatan fungsi intelijen di KPK, dimana KPK bisa meminta bantuan selain ke Polri, BIN, Bais TNI atau Anstra Kemhan. Mari kita dukung dan lindungi KPK sebagai penyelamat negara.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net