AS, Korsel dan Jepang Akan Menyerang Korut?
6 April 2017 | 9:47 pm | Dilihat : 2682
Koalisi Tiga Negara, AS, Jepang dan Korsel, akankah menyerang Korut? (Foto : Yonhapnews)
Perkembangan situasi di kawasan Laut China Selatan dan Timur menjadi lebih panas dalam beberapa waktu terakhir. Amerika Serikat menilai bahwa Korea Utara semakin menjadi ancaman militer yang sangat serius. Disatu sisi AS bersekutu dengan Jepang dan Korea Selatan yang sangat merasa tidak nyaman dengan ancaman serangan peluru kendali (rudal) jarak jauh dari Korea Utara dibawah Kim Jong Un. Termasuk juga dengan Singapura dan Filipina yang juga berada dibawah perlindungan payung keamanan AS.
Selain Korea Utara yang dinilai menjadi ancaman serius oleh blok AS, terdapat China sebagai musuh kuning, yang terbaca oleh AS mulai berulah sejak tahun 2012 dan mencoba menguasai kawasan Laut China Selatan dengan kekuatan militer mengemukakan konsep jalur sutera. Saat kepemimpinan nasional AS dibawah Presiden Obama terjadi perubahan politik luar negeri terkait strategi keamanan, dimana pada tanggal 22 Juni 2011, Obama menyatakan bahwa negara yang menjadi basis serangan ke daratan AS pada peristiwa 11 September 2001, sudah bukan merupakan ancaman teror terhadap AS.
Kebijakan Politik Luar Negeri dan Pertahanan AS
AS sejak 2011 kemudian mengurangi gelar pasukan di Afghanistan dan Irak. Presiden Obama saat itu menyampaikan bahwa penarikan pasukan sudah diperhitungkan dengan cermat, dimana dia mengingatkan bahaya dari over extending pengiriman pasukan dalam jumlah besar kesuatu medan tempur. Sebagai contoh dikatakannya, perang di Afghanistan telah menghabiskan dana ratusan milyar dolar dan mengakibatkan hilangnya nyawa 1.500 prajurit AS. Obama menegaskan, "Ketika terancam, kita harus merespon dengan kekuatan," katanya. “But when that force can be targeted, we need not deploy large armies overseas,” jelasnya. Lawan atau bakal lawannya di Asia adalah China dan Korea Utara.
Pasukan Darat AS sejak 2011 ditarik dari Afghanistan dan Irak dalam kebijakan Rebalancing, AS mengandalkan operasi Udara di Irak dan Suriah (Foto : Reddit)
Sebagai negara yang modern dengan sistem yang mapan, walaupun pimpinan nasional pemerintahan kini berganti dari Partai Demokrat ke Republik, tujuan-tujuan dasar kebijakan luar negeri AS tidak akan banyak berubah. Yang harus difahami, tujuan-tujuan dasar kebijakan luar negeri AS tetap konsisten yaitu; Menekan persaingan keamanan di Eropa dan Asia, mencegah munculnya negara-negara besar yang bermusuhan, mendorong ekonomi dunia yang lebih terbuka, melarang penyebaran senjata pemusnah massal (SPM) dan menyebar-luaskan demokrasi dan menghormati hak azasi manusia “William J.Clinton, A National Security Strategy for a New Century (Washington DC: The White House,Mei 1997)”.
Setelah serangan 911 yang mampu meruntuhkan menara kembar WTC pada tahun 2001, apabila dicermati, kemudian kampanye melawan terorisme global merupakan tujuan utama kebijakan luar negeri dan pertahanan Amerika Serikat, dimana tujuan-tujuan internasional lainnya berada dibawah tujuan besar ini. AS menjadi sadar bahwa tidak ada negara yang bisa bebas dari ancaman terorisme. Runtuhnya gedung WTC sangat memukul pemerintah dan rakyat AS yang selalu bangga dengan gengsinya sebagai negara super power, mereka alergi apabila perang menyentuh mainland-nya.
Menara kembar kebanggaan AS runtuh dalam serangan teror mematikan, kemudian AS mencanangkan melawan terorisme global yang merupakan tujuan utamanya (Foto :9-1-1Magazine)
Selama ini AS apabila terlibat berperang selalu di wilayah dan negara orang lain. Nah, setelah ikon terorisme pimpinan Al-Qaeda (Osama bin-Laden) yang dituduh sebagai dalang yang mampu menyentuh negaranya berhasil dibunuh oleh Navy Seal di Pakistan pada 1 Mei 2011, terorisme tidak lagi dinilai menjadi ancaman utama keamanan nasionalnya. Syahwat balas dendamnya terbayar sudah, mirip sebuah kepuasan semu tetapi terpenuhi.
Kebijakan luar negeri dan pertahanan AS kemudian bergeser, dimana Presiden Barack Obama pada tahun 2011 mengeluarkan kebijakan dengan nama Pivot to the Pacific, yang kemudian di revisi menjadi Rebalancing toward Asia. Kebijakan tersebut sebagai respon atas kebangkitan China menjadi kekuatan besar di Asia Pasifik, khususnya dengan pernyataan sepihak, bahwa Laut China Selatan sebagai wilayahnya. Obama sejak itu memrioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam perencanaan militer, kebijakan luar negeri, dan kebijakan ekonomi.
Pasukan AS di Irak dan Afghanistan diputuskan ditarik dan digeser ke kawasan ini. Tujuan utama kebijakan luar negeri AS adalah ikut membentuk norma dan aturan di Asia Pasifik agar hukum dan norma internasional tetap ditegakkan. AS khawatir dengan ambisi dan ulah China yang agak arogan dan nekat, berambisi akan menguasai dan mengendalikan kawasan Laut China Selatan. Dari perkembangan geopolitik, ternyata calon lawan lawan lainnya yang nekat yang tidak kenal takut adalah Korea Utara. Kim Jong-Un sang pemimpin menerapkan kepemimpinan otoriter yang brutal dan berani menantang AS, termasuk bila terpaksa harus berperang.
AS Menempatkan Korea Utara Sebagai Ancaman Serius
Kim Jong-Un pemimpin Korea Utara yang nekat dan berani, mengarahkan ahli militernya memproduksi peluru kendali jarak dekat berkepala nuklir (Foto: express)
Dalam hal memperkirakan ancaman, kini AS lebih mewaspadai Korea Utara dibawah Jong-Un dibandingkan China. Korea Utara sejak lama menjadi negara bersama Burma (Myanmar) yang berusaha melakukan isolasi untuk melindungi masyarakatnya dari penetrasi demokrasi, dan memilih keluar dari partisipasi dalam komunitas global yang didominasi Barat. Myanmar kemudian melunak berbeda dengan Korea Utara. Dengan kemampuan dan teknologi terbatas sejak tahun 1990-an, Korea Utara kemudian berusaha memperkuat diri dengan pengembangan peluru kendali antar benua serta terlihat mampu melakukan pengayaan nuklir menjadi senjata nuklir. ICBM Korut dinyatakan memiliki jarak jangkau 10.000 km (6.200 mil), dapat mencapai pantai Barat AS yang berjarak sekitar 9,000km (5.500 mil) dari Korea Utara.
Presiden Donald Trump selain mewaspadai ambisi China di LCS yang membangun infrastruktur pertahanan di LCS, ternyata harus menghadapi ambisius Korea Utara. Pejabat tinggi AS mulai lebih terbuka menyatakan Korea Utara adalah negara dengan potensi ancaman rudal nuklir yang dapat menyerang mainland mereka. Bahkan, Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat Rex Tillerson telah mengingatkan kemungkinan dilakukannya serangan militer (preemtive strike) terhadap Korea Utara (Korut), jika negeri komunis itu terus meningkatkan ancaman lewat program nuklir dan rudalnya.
Menlu AS Rex Tillerson, mantan CEO Perusahaan Minyak Exxon mengingatkan kemungkinan As akan melakukan preemtive strike ke Korut. Sadarkah dia dengan resiko yang bisa lebih parah dibandingkan perang Afghanistan? (Foto:the Sun)
Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Jong-Un sejak 17 Desember 2011 ternyata mampu membangun kekuatan militer penyerang strategis yang menggiriskan. Sejak tanggal 30 Desember 2011, Politbiro Partai Buruh Korea secara resmi menunjuk Kim Jong-un sebagai Panglima Tertinggi Tentara Rakyat Korea. Jong-Un dengan kekuasaannya kemudian lebih bebas mengembangkan senjata nuklir dan beberapa jenis peluru kendali jarak jauh.
Tahun lalu Korea Utara telah melakukan serangkaian peluncuran rudal dan telah menguji dua rudal, terakhir pada bulan Maret 2017. Pengamat dan para ahli persenjataan rudal di AS mengatakan hal tersebut telah menyebabkan peningkatan "kualitatif" dalam kemampuan nuklir dan rudal negara itu. Jika Korea Utara mampu menyelaraskan teknologi secara bersamaan diperkirakan mereka akan bisa menghasilkan senjata yang dapat mengancam dan menjangkau hingga Hawaii dan pantai Barat Amerika.
Melihat bahaya dan ancaman masa depan tersebut, AS mencoba melakukan diplomasi melalui negara ketiga, China sebagai mentor Korea Utara, tetapi nampaknya upaya tersebut mengalami kegagalan. China selama ini beranggapan Korea Utara yang tegas-tegas menyatakan AS sebagai musuhnya, sebagai bumper dari kemungkinan serangan AS. China akan terus menghindarkan Korea Utara jatuh dibawah kontrol AS atau disatukannya kedua negara Korea tersebut juga dibawah kontrol AS.
Presiden AS Donald Trump yang terkenal sebagai the risk taker, dalam kasus Korea Utara, akankah mengambil resiko menyerang terutama fasilitas nuklirnya (Foto :CreditWritedown)
Dalam kondisi tersebut, AS nampaknya siap melakukan aksi sepihak untuk menetralisir program nuklir Korut jika China menolak. Presiden Donald Trump menyatakan, "Jika China tidak menangani Korea Utara, kita yang akan menanganinya. Itu yang bisa saya katakan kepada Anda," katanya dalam wawancara dengan Financial Times of London. Presiden AS Donald J. Trump menegaskan melalui tweeter, 06:05 - 3 Jan 2017 (@realDonaldTrum), "Korea Utara hanya menyatakan bahwa itu adalah dalam tahap akhir pengembangan senjata nuklir mampu mencapai bagian AS, itu tidak akan terjadi!."
AS mulai melakukan tekanan militer atau unjuk gigi dengan penggelaran kekuatan serta melakukan latihan militer bersama baik dengan Jepang maupun dengan Korea Selatan. Oleh karena itu perkembangan geopolitik sebaiknya lebih diperdalam dan dipertajam oleh pejabat militer pertahanan di kawasan LCS, termasuk Indonesia yang tidak masuk dalam aliansi pihak yang bersengketa.
Gelar Kekuatan Militer AS dan Sekutu di Semenanjung Korea
Ashton Carter, mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat pada era Presiden Barack Obama, memperingatkan perang antara AS dengan Korea Utara (Korut) bisa saja terjadi setiap saat. Carter memprediksi perang AS-Korut akan diwarnai intensitas kekerasan sangat tinggi, yang belum pernah terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Carter menyatakan pada hari Minggu (2/4/2017), bahwa AS harus tetap memosisikan diri untuk mengeksekusi preemtive strike terhadap fasilitas senjata nuklir Korea Utara, meskipun fakta serangan tersebut akan memicu konflik regional. Itulah opsi terbaik AS untuk membatasi ambisi nuklir Korea Utara.
Mantan Menhan AS Ashton Carter mengatakan bila terjadi perang AS vs Korut akan berlangsung dalam intensitas tinggi, AS memosisikan pre-emtive strike (Foto : The Post Turtle)
Pada hari Selasa (4/4/2017), Ashton Carter menyatakan pada wartawan ABC News keyakinannya bahwa serangan awal (pre-emptive) terhadap Korut, bisa mendorong upaya pemimpin Korut, Kim Jong-Un bisa melakukan serangan, menginvasi Korea Selatan (Korsel).
Kapal Induk Nimitz melakukan latihan tempur di Selatan California dalam Composite Training Unit Exercise (COMPTUEX), dengan dikawal kelas Arleigh Burke, perusak berpeluru kendali USS Chafee (DDG 90), USS Howard (DDG 83), USS Pinckney (DDG 91) dan USS Kidd (DDG 100), dan penjelajah kelas Ticonderoga berpeluru kendali USS Princeton (CG 59), yang tergabung dalam DESRON 9, berpartisipasi dalam latihan dengan Nimitz. Tujuan dari latihan ini adalah untuk melatih para awak kapal siap berpartisipasi memahami lingkungan ketika mereka bergerak melalui selat di wilayah asing.
Kapal dan pesawat dari Angkatan Laut Amerika Serikat, Republik Korea (ROK) Angkatan Laut, dan Angkatan Bela Diri Jepang Maritime kemudian melakukan trilateral latihan anti-kapal selam April 4-6 2017 di laut di sekitar Korea dan Jepang untuk mempromosikan dan melatih komunikasi, interoperabilitas, dan kemitraan. Terlibat unsur laut adalah kapal perusak berpeluru kendali USS McCampbell (DDG 85), dan kapal perusak ROKS (Korea Selatan) Kang Gam Chan (DDH 979) dan JS Sawagiri (DD 157) Jepang.
Kapal Induk USS Carl Vinson Pernah Bertugas di Kawasan Timur Tengah, kini menjadi kekuatan penempur di Laut China Selatan (Foto: Business Insider)
Selain itu, AS juga menggelar dan menyiagakan Kapal induk USS Carl Vinson (CVN 70), dengan kekuatan pesawat tempur dari Air Wing (CVW) 2, yang dikawal kapal perusak berpeluru kendali USS Wayne E. Meyer (DDG 108) dan kapal penjelajah berpeluru kendali USS Lake Champlain (CG 57) yang bersandar di Singapura. Sebelumnya kelompok penyerang gabungan Carl Vinson telah menyelesaikan operasi rutin selama dua minggu di kawasan Asia-Pasifik, termasuk latihan laut dengan Angkatan Laut Republik Korea dan Angkatan Laut Bela Diri Jepang. Satgas Carl Vinsion dioperasikan di Laut Cina Selatan selama pergerakan tersebut.
Selain itu kapal perang yang dilengkapi sistem Aegis dari Amerika Serikat, Korea Selatan dan Jepang mulai melakukan latihan bersama sejak Selasa (4/4/2017) untuk meningkatkan kemampuan menembak jatuh rudal balistik musuh, demikian diumumkan oleh US Navy (Angkatan Laut AS). Tiga kapal yang terlibat dalam latihan yaitu kapal perusak berpeluru rudal USS Curtis Wilbur, ROKS Sejong Agung, dan JS Kirishima, yang dilengkapi dengan sistem pertahanan rudal Aegis. Sistem canggih ini memungkinkan melakukan deteksi dini (early warning) ancaman rudal musuh untuk diintersepsi. Aegis mampu melacak lebih dari 100 target pada satu waktu, dan telah lulus tes berulang-ulang.
AS menggelar sistem pertahanan udara THAAD buatan lockheed Martin di Korea Selatan untuk menghancurkan rudal Korut apabila menyerang (Foto : Lockheed)
Menggunakan kemampuan monitor radar yang sangat canggih AN / SPY-1 kapal Aegis yang paling dekat dengan lokasi peluncuran dapat mendeteksi rudal lawan, dimana Aegis juga dapat bekerja bersama dengan sistem pertahanan rudal lain seperti THAAD atau sistem perlindungan rudal balistik Patriot yang digelar di Korea Selatan. Analis militer mengatakan bahwa China khawatir dengan penggelaran radar THAAD yang memungkinkan AS untuk melihat lebih jauh ke wilayah Cina dan memantau pergerakan militernya.
Sementara ketiga negara melakukan penggelaran kekuatan, Menteri Pertahanan Korea Selatan Han Min-koo (R) mengadakan pertemuan dengan Admiral Scott Swift, Panglima Armada Pasifik AS, di Seoul pada tanggal 3 April 2017. Swift meyakinkan bahwa Washington tetap teguh dan tidak akan berubah dalam membela Korea Selatan. Ditegaskannya bahwa Armada Pasifik Amerika Serikat akan tetap memainkan peran penting dalam mempromosikan hubungan kerjasama antara Angkatan Laut kedua negara.
Panglima Armada Pasifik AS Admiral Scott Swift bertemu dengan Menhan Korsel Han Min-Koo di Seoul (Foto :YonhapNews)
Kementerian Luar Negeri China pada hari Selasa (4/4/2017) sore menyerukan agar semua pihak mengakhiri "Lingkaran Setan yang bisa lepas kendali." Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying mengatakan, bahwa, "Korea Utara telah melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB yang melarang peluncuran rudal balistik, tetapi di sisi lain, Korea Selatan, AS dan Jepang tetap bersikeras melakukan latihan militer dalam super skala besar."
Di lain sisi, pemerintah Korea Utara di Pyongyang melalui kantor berita Korea Central News Agency, KCNA,menuduh AS sedang mempersiapkan "serangan pendahuluan". Ditegaskannya, "Jika mereka melanggar kedaulatan kami dan martabat kami, pasukan kami akan meluncurkan tanpa ampun serangan ultra-presisi dari darat, udara, laut dan bawah air."
Penyelesaian Korea Utara Berbeda dengan Kasus Nuklir di Iran
Peluru kendali Korut saat ditembakkan, akan mencapai ketinggian 500 km dan mengarah ke target (foto : BBC)
Kasus ancaman nuklir Korea Utara mirip dengan kasus nuklir di Iran yang juga tidak dikehendaki oleh Amerika dan negara Barat Eropa lainnya. Iran melanggar perjanjian non-proliferasi senjata nuklir sejak Agustus 2002. Pengayaan uranium itu dinilai bukan untuk tujuan produksi energi. Alasan yang sejak lama tidak dipercaya Amerika dan negara lain, mengingat cadangan minyak dan gas bumi Iran sangat besar.
Di bawah tekanan internasional, dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada Oktober 2003 Iran akhirnya mengumumkan kesediaan untuk menghentikan sepenuhnya program pengayaan uranium.Namun, pada Juni 2004 Iran melanggar batas waktu yang ditetapkan IAEA untuk menyerahkan semua rencana dan informasi mengenai program nuklir negara itu. Pada saat bersamaan, Iran mengumumkan akan melanjutkan produksi mesin sentrifugal gas yang bisa dipakai untuk memperkaya uranium.
Sejak itulah ketegangan antara Iran dan dunia barat, meningkat. Janji Teheran untuk menghentikan program nuklirnya dipertanyakan. IAEA lalu memutuskan sebuah resolusi yang menyerukan Iran untuk menghentikan semua kegiatan pengayaan uranium. Teheran menyampaikan jawaban pada Februari 2005. Presiden Iran ketika itu, Mohammad Khatami menyatakan, pemerintah Iran tidak akan menghentikan program nuklir.
Beberapa jenis peluru kendali yang diproduksi Korut (Foto : viableOposition)
PBB menerapkan sanksi-sanksi, sementara Amerika dan Uni Eropa memberlakukan langkah-langkah untuk menekan Iran agar meninggalkan ambisi senjata nuklirnya. Pada awal Januari 2016, Iran memenuhi komitmennya dalam kesepakatan nuklir dengan mengirimkan cadangan uranium yang telah diperkaya ke Rusia. Sesuai perjanjian, Eropa dan Amerika Serikat mencabut sanksi ekonomi dan membuka akses pemerintah di Teheran terhadap cadangan devisa di luar negeri sebesar lebih dari 100 milyar US Dollar.
Melihat kasus Iran, nampaknya kini kasus Korea Utara menjadi tidak lebih mudah bagi AS, letak geografis Iran lebih dekat ke Eropa, sehingga AS yang sangat anti dengan senjata pemusnah massal tidak melakukan tindakan dengan instrumen militernya. Tetapi kini Korea Utara nampaknya dinilai menjadi ancaman yang sangat serius karena selain dilakukannya percobaan peluru kendali, juga mereka diberitakan akan melengkapi dengan senjata nuklir yang cepat atau lambat akan mencapai daratan AS. Disinilah dilema bagi AS, apakah akan menyerang atau melakukan tekanan lainnya, blokade tidak dianggap oleh Korut.
Kesimpulan
Dari beberapa fakta tersebut diatas, penulis melihat di satu sisi AS nampaknya demikian serius menangani kasus ancaman Korea Utara. Pada saat ini AS dan sekutunya sedang melakukan pulbaket mengukur kekuatan dan kemampuan tempur Korea Utara. Seperti dikatakan mantan Menhan Ashton Carter, resiko terbesarnya apabila diserang AS, Korea Utara akan melakukan invasi ke Korea Selatan. Memang pada saat ini Korea Utara akan berat dan lebih lemah apabila militernya harus menghadapi serangan dari AS.
Tetapi apabila serangan dilakukan, maka bisa diperkirakan akan menimbulkan dampak regional, dimana selain konflik berlarut yang tidak kunjung usai di Timur Tengah, konflik akan berlarut di Semenanjung Korea. Korea Utara memiliki arsenal militer yang cukup kuat, serta semangat juang yang sangat tinggi. Perang masa kini memang betul perang teknologi, tetapi ada yang jangan dilupakan oleh AS serta sekutunya, sulit menguasai sebuah negara dengan penduduk yang siap mati hingga tetes darah penghabisan.
AS harus hati-hati, jangan meremehkan Korut, karena dari indikasi pembunuhan Kim Jong-Nam, Korut memiliki gas syaraf VX. Selain itu, perang Vietnam adalah studi kasus dimana akhirnya AS harus angkat kaki melawan pasukan rakyat Vietnam Utara yang dikenal sebagai tikus tanah. Perang dengan Korea Utara penulis perkirakan akan lebih berdarah-darah dibandingkan dengan perang di Afghanistan, Libya atau di Irak.
Tercabik. Apabila terjadi perang maka akan terjadi kehancuran tidak hanya di Semenanjung Korea, mungkin Korea Utara akan menembakkan seluruh rudal dari arsenalnya, sehingga mampu mengancam tidak hanya AS, tetapi negara-negara lainnya (Foto :theInquisitr)
Nampaknya opsi terbaik bagi Amerika serta Jepang dan Korea Selatan, adalah operasi intelijen. Menurut beberapa informasi, lebih 65 persen penduduk Korea Utara ingin bersatu dengan Korea Selatan. Karena itu langkah militer bukan opsi terbaik, resikonya sangat besar. Penulis percaya bahwa Presiden AS Donald Trump adalah seseorang yang berlatar belakang bisnis, karena itu setelah dilakukannya diplomasi tekanan militer psikologis, dia akan berusaha melakukan pembicaraan. Semoga saja begitu. Kalaupun tidak, dan perang terjadi, Indonesia jauh hari harus mulai memikirkan dan siap mengambil posisi yang tepat. Perang bisa mengimbas dan meluas kemana-mana. Banyak pihak yang akan terpaksa terlibat walau tidak secara langsung.
Penulis : Marsda (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen www.ramalanintelijen.net