Intelijen; Ahok Menyentuh Titik Rawan, Bisa Lumpuh Permanen

15 October 2016 | 2:42 pm | Dilihat : 5802

anti ahok

Ormas keagamaan dan lainnya diberitakan 31 ormas berunjuk rasa di Balaikota DKI Jakarta Jumat (14/10/2016) dengan tertib (foto : kompas)

Pilkada DKI Jakarta baru akan dilaksanakan empat bulan lagi, tetapi di Jakarta sebagai dunia kecil dari Indonesia  masyarakatnya sudah bergetar, bahkan orang Jawa menyebutnya tidak 'karuan.' Mengapa? Nah ini sebuah pertanyaan yang dari kacamana  intelijen harus diteliti, dibuat prediksi dan  dijawab bukan hanya soal siapa yang menang dan yang kalah saja, tetapi yang jauh lebih penting adalah  pengaruhnya terhadap keamanan nasional.

Pilkada DKI Jakarta yang akan dilaksanakan tanggal 15 Februari 2017 bukan sekedar pemilihan pasangan Gubernur dan wakil Gubernur itu ada kepentingan besar lainnya. Terlihat jelas di belakang para calon yang kini masih disebut sebagai balon (bakal calon) ada  tokoh-tokoh besar yang selama ini dikenal sebagai patron. Ahok-Djarot  di dukung Mantan Presiden Megawati, Anis-Sandiaga Uno di dukung Letjen Pur Prabowo mantan capres 2014, sementara calon ketiga Agus Harimurti-Sylviana di dukung Mantan Presiden SBY.

Yang penting untuk dapat menang dan kalah, masing-masing  estimasi tim sukses harus membuat estimasi yang terukur.  Mereka faham bahwa petahana (incumbent) masih menjadi calon terkuat. Penulis pernah menganalisis kekuatan Ahok sebagai petahana sejak setahun yang lalu, dimana lawannya yang seimbang hanyalah Risma dan Ridwan Kamil. Nama Anis Baswedan belum muncul, demikian juga Agus Harimurti, Sandiaga sudah mucul walau belum populer, demikian  juga Sylvi.

Menurut Cyrus Network, saat itu dukungan terhadap Ahok semakin kuat. "Dukungan terhadap petahana (incumbent) Basuki Tjahaja Purnama semakin solid, hari ini pendukung Ahok sudah masuk dalam kategori strong voters jumlahnya sekitar 40 persen pemilih DKI," ucap Managing Director Cyrus Network Eko David di Jakarta, Rabu (11/11/2015). Selain Ahok dengan elektabilitas 40,7 persen, Tri Rismaharini 9,1 persen dan Ridwan Kamil 15,9 persen. Untuk tingkat kesukaan terhadap ketiganya hampir seimbang. Ahok mendapat 62%, sedangkan Emil 62,7% dan Risma 65,6%.

sholat demo

Pada saat demo, para pendemo melaksanakan sholat Asar dengan tertib (foto: detik)

Hasil survei dari Sinergi Data Indonesia (SDI) pada 1-12 Februari 2016 elektabilitas bakal calon gubernur (cagub) DKI Ahok menduduki urutan pertama diantara 10 kandidat lain dengan perolehan suara responden 41,0 persen. Urutan kedua dan seterusnya Ridwan Kamil (12,4 persen), Tri Rismaharini (5,8 persen), sementara Sandiaga Uno hanya 1,8 persen.

Sedangkan untuk survey CSIS  sepuluh bulan yang lalu terhadap calon Gubernur DKI Tahun 2017,  menurut Arya Fernandes pada acara  'Calon Independen vis a vis calon Partai' di Kantor CSIS, Jalan Tanah Abang III, Jakarta, Senin (25/1/2016), dikatakannya, "Dari tingkat popularitas, nama Basuki Tjahaja Purnama masih belum bisa tersaingi. Ahok tingkat popularitasnya ada pada angka 94 persen," ujarnya. Di bawah nama Ahok ada nama Tantowi Yahya yang tingkat popularitasnya  81 persen dan  Wali Kota Bandung Ridwan Kamil  71,25 persen.

Tetapi Managing Director Cyrus Network Eko David di Jakarta, Rabu (11/11/2015) menyampaikan ancaman terhadap Ahok agar  tetap waspada, sebab gerakan anti-Ahok, juga mengalami peningkatan sampai angka 40 persen. "Lawan-lawan Ahok bisa melihat peta potensi suara itu, mau meluaskan jaringan anti-Ahok atau ambil sisa 20 persennya. Walaupun memang agak sulit melawan loyalis Ahok yang sudah sampai 40 persen," kata Eko David.

3-cagub-dki_20160924_051738

Tiga calon Gubernur DKI Jakarta, Ahok, Anis, Agus (foto : tribunnews)

Menurut penulis, para team sukses ketiga pasangan juga melihat data survei sembilan bulan sampai satu tahun yang lalu itu. Mereka harus mengatur strategi agar popularitas dan elektabilitas masing-masing jagonya tinggi. Tetapi nampaknya ada yang salah dalam strategi team Ahok. Sebagai petahana, mestinya Ahok tidak membuat upaya dengan tujuan popularitas, karena sembilan bulan yang lalu saja popularitas Ahok sudah 94 persen. Arti popularitas sederhananya kan si calon dikenal publik, calon konstituen. Nah untuk apa kalau kemudian tim sukses Ahok men-design peningkatan popularitas? Sementara dengan gayanya yang tetap seperti itu, kemungkinan besar  justru elektabilitasnya akan tergerus. Beberapa survei kemudian menunjukkan bahwa elektabilitas Ahok pribadi  hanya sekitar 31 persen.

Tim sukses dua pasangan lawan Ahok jangan dipandang ringan, SBY dan Prabowo jelas didukung banyak ahli strategi hebat dan berpengalaman, khususnya SBY. Perolehan suara Partai Demokrat pada pemilu 2009 mampu di dongkrak hingga diatas 300 persen. Nah, kondisinya dalam perjalanan kini, seperti kata Eko David dari Cyrus, mereka tinggal memilih ada 60 persen suara yang bisa digarap cepat, yaitu 40 persen yang anti Ahok atau mau mengambil 20 persen dan yang mungkin berlebih yang tersisa.

282632_07592209102016_basuki-tjahaja-purnama

Penampilan Ahok (foto :rmol)

Dari perjalanan waktu setelah deklarasi resmi tiga pasangan, nampaknya dua pasangan itu berebut konstituen yang 60 persen, mereka memilih menggarap yang anti Ahok 40 persen sekaligus mencoba merebut hati swing voters.

Dalam kondisi perebutan awal (dalam operasi militer disebut pancangan kaki), Ahok dan tim suksesnya menurut penulis kurang cerdik.  Apakah dia sadar bahwa dia dijadikan musuh bersama, saat dua lawannya menggarap 40 persen mereka yang anti dia? Ahok menurut penulis tidak sadar atau mungkin tidak tahu, siapa mereka-mereka yang anti dia. Pada survei LSI bulan Maret 2016, tingkat elektabilitas Ahok 59,3 persen. Tapi pada Oktober 2016, elektabilitas Ahok pribadi, 31,1 persen. Agus pribadi 22,30 persen dan Anies pribadi 20,20 persen. Dari hasil survey berpasangan, elektabilitas Ahok-Djarot 31,4 persen, Anies-Uno 21,1 persen dan Agus-Sylviana 19,3 persen. Walaupun perlu dilakukan uji ulang oleh masing-masing tim sukses, agar faktanya valid.

Nah, hari ini mulai nampak nyata, gerakan demo anti Ahok terutama dari kalangan Muslim, dimotori oleh beberapa organisasi Islam. Mereka membuat garis batas yang jelas dimana Ahok akan dikucilkan dari konstituennya. Pemilih di Jakarta 90 persen Muslim dan 10 persen non Muslim. Pasangan Anis-Uno akan memainkan kartu PKS sementara dari pasangan Agus-Sylvi akan memainkan kartu PPP, PKB dan PAN, sementara apabila diukur dari  keempat parpol di belakang Ahok adalah parpol nasionalis. Ini fakta kasarnya.

Para ahli strategi dua pasangan lawan Ahok-Djarot faham bahwa Ahok memiliki kebiasaan berbicara bebas, terbiasa emosional, meledak-ledak dan merasa kuat dengan dukungan baik parpol maupun tokoh-tokoh  di belakangnya. Tetapi ada yang dilupakannya, dia masuk dalam jebakan detonator saat berbicara di kepulauan seribu, menyebut surat Al-Ma'idah.

Terlepas dia betul menggunakannya dalam pidatonya, tetapi ada yang dilupakan, Ahok bukan Muslim dan sebaiknya menghindari menyentuh hal-hal sensitif seperti itu yang bisa dijadikan pemicu (detonator) massa. Akibatnya akan menjadi seperti bola salju, isu ini akan terus menggulung dan membesar, walau Ahok sudah meminta maaf. Sebenarnya kemana arah semua ini? Menurut penulis ada strategi memotong Ahok sebagai calon, yang gagal dilakukan beberapa waktu lalu. Seperti penulis ulas pada artikel terdahulu, agak berat mengalahkan petahana apabila sampai di bilik suara. Pilkada kemungkinan besar akan berlangsung dalam dua putaran dan Ahok kemungkinan akan menjadi yang terkuat, dan ini yang sedang diupayakan tidak terjadi.

kapolda M iriawan

Kapolda Metro Jaya Irjen Pol M Iriawan, naik sepeda motor pantau Demo  (Foto:kompas) 

Kini, dengan detonator ranjau sudah diinjaknya, ranjau sudah mulai meledak berupa gerakan massa, tidak hanya di Jakarta tetapi merambah ke beberapa kota rawan seperti Medan dan Solo. Apakah gerakan massa itu serius? Kita lihat saja untuk menenangkan massa di Balaikota Jakarta, Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya berpidato dari atas mobil pendemo bersama Ketua FPI Habib Riziek di Balaikota. Kapolda mengatakan akan memroses Ahok atas laporan tentang kasus penistaan agama, itulah tuntutan massa, yang mengancam akan kembali berdemo. Jumlah pendemo Jumat kemarin jelas sangat banyak.

Banner di mobil pimpinan demo sangat menggigit, "Aksi Bela Islam, Tangkap Penjarakan Ahok, Penista Agama." Ini masalah serius karena Ahok kini adalah Gubernur DKI Jakarta resmi, tetapi citranya kini hanya sebagai pribadi cagub, wibawanya mulai habis dan tetap 'ngotot' dia tidak bersalah.

Menurut penulis  popularitas dan elektabilitas Ahok yang walaupun menurut beberapa hasil survei semakin menurun, sebagai petahana posisinya sementara ini masih yang terkuat. Anis-Uno-Agus-Sylvia saat ini bukanlah tokoh yang sudah terbentuk jadi elektabilitasnya, popularitasnya saja mungkin belum, Tim Agus dan Anis jangan terjebak dengan survei yang tidak fair mestinya. Membangun popularitas dan terlebih elektabilitas tidak bisa dikerjakan dalam waktu singkat, itu pasti dan butuh waktu.

Mereka belum bisa dibandingkan dengan Risma atau Ridwan Kamil yang sudah berkiprah dan terkenal disukai dengan prestasi masing-masing di dua daerah sebagai pemimpin kota sebuah kota. Anis hanya dikenal sebagai Menteri pendidikan, Agus baru saja geser dari TNI ke politik. Rakyat Jakarta masih menunggu apa kiprah dan keistimewaan  kedua tokoh ini, apakah memang lebih baik dari Ahok? Ini pekerjaan rumahnya.

Yang perlu diingat, dalam Pilkada di DKI Jakarta dengan masyarakat yang sudah lebih pintar, konstituen akan memilih si calon, bukan parpol pengusungnya. Jadi menurut penulis Ahok dengan mulutnya itu menggali lubang kuburnya sendiri. Penulis tetarik dengan imbauan Ibu Megawati supaya Ahok jangan banyak bicara.  Ahok menurut penulis masih sekelas kucing, mungkin sudah jadi kucing besar, tetapi dia belum menjadi sekelas macan, karena itu jangan mengaum keras-keras, nanti dilempar sandal oleh pemilik rumah di DKI ini, bisa pincang. Kalau nanti  sudah jadi macan baru mengaum, orang akan takut, ini rumus politiknya.

Tahukah kita, siapa pemilik rumah di DKI?  Dalam Pilkada DKI, mereka konstituen yang 90 persen Muslim dan 10 persen non Muslim. Jadi pinter-pinterlah berpolitik. Di Jakarta berlaku aturan "Ente jual, ya Ane beli." Jadi Jakarta akan dingin kalau Ahok tidak salah omong, kira-kira begitu. Kalau terus saja dia 'nyerocos' sembarangan dan tidak terukur, walau ada teman Ahok yang katanya satu juta, bisa runtuh juga dia. Yang berbahaya apabila ada yang menghendaki chaos, ini yang harus kita hindari. Tanpa di garap lawan saja, Ahok menyentuh titik rawannya sendiri dan kini tereksploitasi maka siap-siap kelumpuhan permanen sudah menunggunya. Apakah begitu? Kita lihat nanti.

Penulis : Marsda (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net

Artikel Terkaitahok kalau belum jadi macan jangan mengaum

 IMG-20161014-WA0010 (1)

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.