Mencermati Reshuffle Jilid-II Dari Sisi Intelijen
28 July 2016 | 10:43 am | Dilihat : 1454
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berfoto bersama calon menteri yang akan dilantik di Istana Negara, Rabu (27/7/2016), Foto : nasional.kompas)
Presiden Jokowi pada hari Rabu (27/7/2016) mengumumkan Reshuffle jilid II, di teras belakang Istana Merdeka yang menghadap ke gedung Istana Negara. Tercatat ada sejumlah menteri yang diganti dan ada juga yang hanya bergeser posisinya. Saat mengumumkan, presiden didampingi Wapres Jusuf Kalla dan Seskab Pramono Anung. Dalam sambutannya dikatakan, "Saya berusaha maksimal agar Kabinet Kerja bisa bekerja lebih cepat, dalam tim yang solid dan saling mendukung," tegasnya.
Bahasa formal Jokowi mengatakan, perombakan ini dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antara yang kaya dengan yang miskin. Perombakan ini diharapkan bisa menyelesaikan masalah perekonomian bangsa saat ini. Ditambahkannya, "Dan tantangan yang terus berubah membutuhkan tindakan yang cepat pula. Salah satu tantangan yang harus dihadapi, adalah kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan yang miskin. Menurutnya kesenjangan itu masih terasa di berbagai wilayah dan harus ditangani sesegera mungkin."
Fakta-Fakta Reshuffle
Pergeseran posisi menteri dan lembaga terjadi pada:
1. Luhut Binsar Panjaitan menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman menggantikan Rizal Ramli. 2. Bambang Brojonegoro menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, menggantikan Sofyan Djalil. 3. Sofyan Djalil menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang, menggantikan Ferry M Baldan. 4. Thomas Trikasih Lembong menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, menggantikan Franky Sibarani.
Sementara yang masuk menjadi menteri baru adalah :
1. Jenderal Purn Wiranto menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Ketum Partai Hanura), menggantikan Jenderal Pur Luhut Panjaitan. 2. DR. Sri Mulyani, Direktur Pelaksana Bank Dunia menggantikan Bambang Brodjonegoro menjadi Menteri Keuangan. 3. Eko Putro, Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menggantikan posisi rekan sesama partainya, Marwan Jafar menjadi Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal, dan Transmigrasi. 4. Budi Karya, Direktur Utama Angkasa Pura II menjadi Menteri Perhubungan, menggantikan Jonan. 5. Prof.Muhajir Effendi, Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menggantikan Anis Baswedan. 6. Enggartiasto Lukito, Pengusaha dan politikus Partai Nasdem menjadi Menteri Perdagangan menggantikan Thomas Lembong. 7. Archandra Tahar, Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) dan pemilik salah satu firma, 20 thn di Amerika Serikat menjadi Menteri ESDM, menggantikan Sudirman Said. 8. Asman Abnur, perwakilan Partai Amanat Nasional (PAN) menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menggantikan Yuddy Chrisnandi. 9. Airlangga Hartarto (Politikus Partai Golkar) sebagai Menteri Perindustrian, menggantikan Saleh Husin.
Analisis Hasil Pulbaket
Berita tentang rencana reshuffle sudah berembus keras sejak sebelum Ramadhan tahun ini. dimana demikian banyak beredar nama-nama yang akan diganti maupun calon yag baru. Akan tetapi nampaknya dinamika politik termasuk informasi sensitif yang masuk kemudian mampu merubah rencana, yang jelas menjadi pertimbangan presiden dalam mengambil keputusan. Kalkulasi itulah yang terpenting dinilai dari sudut pandang intelijen, disebut sebagai perkembangan keadaan masa kini.
Yang sudah pasti dan jelas, presiden menggunakan basic descriptive intelligence (fakta-fakta masa lalu), konsep yang diinginkan sebagai pemimpin, yang kemudian menjadi ukuran dari keberhasilan para pembantu-pembantunya dalam mendukung pemerintahan pada kabinet kerja.
Seperti kita ketahui bahwa keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin tidak akan bergeser dari sifat, karakter, norma dan budaya yang melekat pada dirinya sejak kecil hingga dia dewasa. Nah, penulis melihat beberapa pembantu presiden nampaknya tidak faham, dan tidak mengenal siapa Presiden Jokowi itu. Mereka menggunakan pemikiran di era demokrasi yang bebas berbicara. Dalam waktu hampir dua tahun kepemimpinannya Jokowi tetap seseorang yang tidak bergeser dari kultur Jawa. Hal inilah yang kurang difahami oleh pembantu presiden sehingga mereka kemudian terpental dan presiden terpaksa melakukan reshuffle dua kali dalam masa dua tahun.
Nah, penulis berpendapat para pembantu presiden kini sebaiknya lebih mencoba memahami sifat dan karakter pemimpinnya orang Jawa, menggunakan referensi (Ihwan Yulianto, 1958) tentang sifat dan karakter orang Jawa, inilah yang perlu dikenali dari pemimpin kita bersama.
Sifat dan Karakter Orang Jawa Suku jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan, menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung, menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara. Suku Jawa umumnya lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Suku Jawa memang sangat menjunjung tinggi etika. Baik secara sikap maupun berbicara.
Ciri khas lain yang tak bisa di tinggalkan adalah sifat gotong royong atau saling membantu orang lain di lingkungan hidupnya, akan lebih kentara sifat itu bila kita bertandang ke pelosok-pelosok daerah suku Jawa di mana sikap gotong royong akan selalu terlihat di dalam setiap sendi kehidupannya baik itu dalam suasana suka maupun duka. Kebiasaan hidup secara berkelompok menyebabkan rasa diri mereka sedemikian dekat satu dengan lainnya, sehingga saling menolong merupakan sebuah kebutuhan.
Mereka selalu memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Bahkan dengan segala cara mereka ikut membantu seseorang keluar dari permasalahan, apalagi terhadap saudara atau mereka yang menjadi teman. Mereka begitu menghargai persahabatan sehingga eksistensi orang lain sangat dijunjung sebagai sesuatu yang sangat penting.
Dan yang tidak dapat kita abaikan adalah sikap hidup orang Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan. Dalam interaksi antar personal di masyarakat, mereka selalu saling menjaga segala kata dan perbuatan untuk tidak menyakiti hati orang lain. Menghargai orang yang lebih tua dan pemimpin menjadi bagian penting bagi suku Jawa.
Mereka tidak ingin orang lain atau dirinya mengalami sakit hati atau tersinggung oleh perkataan dan perbuatan yang dilakukan. Bagi orang Jawa, berlaku "Ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono" artinya, harga diri seseorang diukur dari lidahnya (omongannya), harga diri badan dinilai dari pakaiannya.
Oleh karena itu kenyamanan Jokowi sebagai pemimpin nasional mulai terusik saat para pembantu-pembantunya menjadi gaduh, tidak kompak, saling menyalahkan dan yang parah tidak menuruti apa yang dia kehendaki dalam rencana kepemimpinannya. Mereka selama sembilan bulan banyak yang berceloteh sak maunya, tidak menghargai pejabat lainnya, bahkan ada yang menghina.
Nah, dengan demikian maka kita bisa menilai mereka-mereka yang bergeser, atau diganti/dilengserkan. Pasti yang namanya Rizal Ramli tidak mengira dan sangat terkejut dia diganti, juga kita lihat mengapa Luhut digeser dari posisinya yang powerfull sebagai Menko Politik Hukum dan Keamanan menjadi Menko Maritim demikian juga Sofyan Djalil bergeser (keduanya tetap eksis jelas karena alasan tertentu). Terus mengapa Yudhi Chrisnandi, Ignasius Jonan, Sudirman Said, Salih Husin, Anis Baswedan, Marwan Jafar, Ferry M Baldan diganti? Kalau direnungkan sebentar saja kita akan menemukan jawabannya.
Kesimpulannya, dengan melakukan Reshuffle ini, Presiden Jokowi menunjukkan dan membuktikan bahwa sebagai pemimpin nasional strategi politiknya semakin matang dan mantap. Selain itu dia mampu membaca geopolitik, situasi kawasan, baik terhadap tantangan dan ancaman keberlangsungan pemerintahannya. Memang nampaknya ekonomi menjadi fokus perhatiannya, oleh karena itu Sri Mulyani dipanggil pulang sebagai CB-2 (Cara Bertindak Dua) apabila Indonesia menghadapi keadaan darurat. Yang penulis cermati, Presiden Jokowi semakin faham dan tajam mengamati bahwa tantangan akan terus berubah, bisa sewaktu-waktu menjadi ancaman dan untuk mengatasinya, dibutuhkan tindakan yang cepat pula.
Statement terpentingnya, "Saya berusaha maksimal agar Kabinet Kerja bisa bekerja lebih cepat, dalam tim yang solid dan saling mendukung." Itulah sebenarnya kebutuhan intinya, faktor dan alasan lain adalah bagian dari sub system dalam sebuah sistem manajemen pemerintahan. Dan yang tidak boleh dilupakan para pembantunya, hak prerogatif hanya dipunyai oleh presiden. Kalau kabinet ini kemudian tersendat, bukan tidak mungkin akan dilakukannya lagi mini reshuffle, why not?
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net