Siapa Berada Di Balik Aksi Penyanderaan Oleh Abu Sayyaf?
8 May 2016 | 3:35 pm | Dilihat : 2495
Gambaran anggota Abu Sayyaf dengan persenjataan beragam (foto : dw)
Abu Sayyaf kini menjadi sebuah kelompok teroris yang menakutkan baik warga asing maupun Filipina di wilayah kepulauan Sulu dengan aksi pembajakan, penyanderaan, tuntutan ransom (uang tebusan) serta eksekusi potong leher. Kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris oleh pemerintah Filipina dan Amerika Serikat ini kini makin merajalela, selain menangkap turis, pelaku bisnis resor, pedagang, mereka mulai membajak tugboat berkecepatan rendah yang menarik tongkang batubara.
Aksi Abu Sayyaf yang kemudian menjadi berita internasional karena mereka membajak tugboat Malaysia dan terutama Indonesia serta menyandera awak kapalnya. Indonesia bereaksi keras dan menyiagakan kekuatan militer penuh di Tarakan, siap untuk operasi militer pembebasan sandera. Selain itu Presiden Jokowi, memerintahkan Menlu melakukan diplomasi penuh ke Filipina untuk pembebasan WNI yang jumlah terakhir mencapai 14 orang. Indonesia jelas tidak main-main, selain langkah formal diplomasi pemerintah, langkah informal berupa operasi intelijen pembebasan juga dilakukan langsung ke wilayah konflik.
Dalam upaya pembebasan jalur informal, disebut nama Mayjen Pur Kivlan Zein sebagai penjuru yang mewakili perusahaan sebagai negosiator mereka yang disandera, berkordinasi dengan pimpinan MNLF Nur Misuari, serta Yayasan Sukma dari Media Group dengan Ahmad Baidowi sebagai ujung tombak.
Tokoh Utama MNLF Nur Misuari Yang Membantu Negosiasi Pihak Perusahaan (Foto : Youtube)
Sebagai hasilnya, dari 14 WNI tersebut, 10 orang telah berhasil dibebaskan dengan selamat kembali ke tanah air. Kini tersisa empat WNI yang masih berada di tangan penyandera, yang menurut Presiden Jokowi telah diketahui lokasinya di sebuah pulau serta sedang dilakukan komunikasi.
Melihat aksi teror dari Abu Sayyaf tersebut, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa itu hanyalah sebuah aksi pembajakan untuk penuntutan uang tebusan belaka. Dalam sudut pandang intelijen, sebuah aksi teror harus dibaca dari data-data masa lalu berupa basic descriptive intelligence, dilengkapi dengan kejadian masa kini. Maka apabila dianalisis dengan tajam akan dapat ditentukan formula untuk langkah pengamanan masa depan. Analis harus dapat menyimpulkan tingkat ancaman pada level sektoral, regional atau mengarah kepada keamanan nasional Indonesia.
Dari kasus-kasus beberapa tahun terakhir, analis Intelijen harus menjawab UUK yang pada intinya adalah mengapa setelah 11 tahun, Abu Sayyaf kembali membajak kapal berbendera Indonesia, menyandera dan melakukan tuntutan uang pembebasan? Berpulang kepada pubaket siabidibame, dari data serta fakta-fakta yang berlaku, harus segera ditemukan jawaban bagi langkah counter terrorism, mengingat ancaman yang dihadapi adalah aksi teror. Mari kita analisis masalah ini.
Dua Sayap Utama Abu Sayyaf di Basilan dan Sulu
Abu Sayyaf sebenarnya nama dari seorang seorang panglima militer Mujahidin dari faksi Ittihad al Islamy, Abdur Rab Rasul Sayyaf (Abu Sayyaf) di Afghanistan yang berperang melawan Uni Soviet pada era 1980-an. Abu Sayyaf, yang dalam bahasa Arab berarti pembawa pedang atau ayah ahli pedang mempunyai banyak anak buah dalam pertempuran di Afghanistan. Sejak awal 1991, Nama kelompok “Abu Sayyaf” di Filipina diperkirakan diambil dari nama alias Abdulrajak Janjalani yang memilih nama alias Abu Sayyaf, saat memisahkan diri dari kelompok separatis Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF).
Foto Tokoh Utama Abu Sayyaf di Sulu, Radullan Sahilon merupakan target utama FBI karena kasus penculikan warga AS (Foto : bignewscentral)
Abu Sayyaf berbeda dengan MNLF dan pecahan lainnya seperti MILF (Moro Islamic Liberation Font), meskipun sama-sama memeluk Islam dan memperjuangkan kemerdekaan dari Filipina. Abu Sayyaf yang juga merupakan sempalan dari MNLF tersebut tidak menyetujui otonomi khusus di Filipina Selatan. Tujuan utama dari kelompok Abu Sayyaf adalah untuk membentuk suatu negara merdeka yang menggunakan hukum-hukum syariah Islam sebagai dasar otoritas moral dari undang-undang negara, dan kemudian hukum syariah tersebut dijalankan dan dipatuhi oleh warganegara yang tinggal di negara tersebut.
Abu Sayyaf kemudian gencar memperjuangkan tujuan itu dengan memerangi aparat Filipina. Kelompok ini secara umum dikatakan tidak berpendidikan dan minim pengetahuan. Mereka bergabung karena pemahaman solidaritas, yang brutal dan liar. Melakukan perlawanan ke pemerintah Filipina karena merasa terintimidasi dan terdiskriminasi. Disebutkan juga oleh pengamat Abu Sayyaf, terdapat banyak sel berupa faksi seperti gerombolan-gerombolan, dimana terdapat dua cabang organisasi (sayap) utama, yaitu pertama, Abu Sayyaf di Basilan dipimpin oleh Isnilon Totoni Hapilon (Kepalanya dihargai US$5 juta oleh pemerintah AS).
Sementara sayap kedua berada di Sulu dibawah kepemimpinan Radulan Sahillon (Komandan Putol) yang dibantu oleh Yasser Igasan dan Tuan Awliya. Menurut data dari Anti Terrorism Task Force of Phillipines kekuatan Abu Sayyaf pada Tahun 2005 berjumlah 350 orang yang menyusut akibat operasi militer Filipina (tahun 2000 tercatat 1.269 orang). Menurut catatan Armed Forces of Phillipine pada Tahun 2008 kekuatannya sekitar 380 orang.
Pemimpin Abu Sayyaf di Basilan, Isnilon Totoni Hapilon (tengah) Sudah Ber'baiat ke Abu Bakr al-Baghdadi (Foto: ngoopo.tumbir)
Kepemimpinan dalam tubuh Abu Sayyaf mulai tergantikan, kemudian muncul nama-nama Albader Parad dan Sulaiman Pattah di Sulu. Di Basilan muncul Nurhassan Jamiri dan Furuji Indama sebagai pimpinan baru tersebut. Albader Parad merupakan pengikut dari “Komandan Robot” Ghalib Andang (tewas pada 2005), yang lebih cenderung sebagai pemimpin dengan tipikal bandit daripada pola terorisme atau separatisme.
Kelompok Abu Sayyaf diketahui beroperasi di wilayah provinsi kepulauan Basilan dan kepulauan Sulu, serta tiga provinsi lain di semenanjung Zamboanga di wilayah Barat Mindanao. Daerah ini umumnya merupakan daerah pedesaan. Daerah yang diduga sebagai basis kelompok Abu Sayyaf meliputi wilayah kompleks Sampinit di Upper Kapayoan, di distrik Basilan dari Isabela, dimana kelompok Abu Sayyaf pernah memiliki basis permanen termasuk kamp militer Al- Madinah.
Selain itu juga terdapat basis kelompok di Punoh Muhaji di daerah pusat Basilan, dimana kelompok Abu Sayyaf pernah memiliki markas yang disebut sebagai kamp militer Abdurajak. Kemudian juga terdapat markas yang ditempati Radullan Sahiron di kota Patikul, markas yang ditempati Doktor Abu di Karawan Complex di perbatasan kota Indanan-Parang-Maimbung, dan markas dari Komandan Robot berada di kota Talipao. Itulah sebagian wilayah kekuasaan Abu Sayyaf dari berbagai faksi, dimana secara tepat masing-masing faksi juga tidak mengetahui dengan tepat berapa kekuatan secara keseluruhan.
Seorang sumber militer Filipina seperti dilansir zamboangatimes, Kamis (31/3/2016), mengatakan bahwa para penyandera 10 WNI adalah kelompok Abu Sayyaf dari faksi pemimpin senior Alhabsy Misaya dan Uddon Hassim. Disebutkan sebanyak lima belas anggota kelompok bersenjata Abu Sayyaf membawa 10 WNI memakai speedboat menuju kota pesisir Kalingalan Caluang Sulu pada Minggu (26/3/2016).
Dari informasi intelijen militer, yang mengutip informasi penduduk desa Kalingalan Caluang mengatakan speedboat tiba dari pulau Languyan, dekat Tawi-Tawi, Selatan Filipina, berdekatan dengan Sabah, Malaysia. Dia menambahkan para penyandera 10 WNI itu datang dari pulau Languyan dimana 10 ABK asal Indonesia dan tongkang diculik Sabtu (25/3/2016) pagi.
Berdasarkan keterangan penduduk desa, diketahui bahwa setelah mencapai desa Kambing, kelompok Abu Sayyaf menyewa Jeep dan naik menuju ke kediaman pemimpin senior Abu Sayyaf lainnya. Yakni, sub Abu Sayyaf yang bernama SMP Lahab alias Jim Dragon di desa Masjid Punjungan di Kalingalan Caluang. Dia mengatakan 10 WNI itu dijaga oleh anggota-anggota Abu Sayyaf bernama Sabirul Sahiyal, Taib dan Lukman yang merupakan pengikut Misaya.
Kelompok Abu Sayyaf sejak awal pendiriannya telah mengembangkan strategi operasional tempur, mempraktikkan taktik pengalihan kontra-ofensif, dimana unit sekunder menyerang pasukan militer lawan untuk mengalihkan perhatian lawan dari unit penyerangan utama (Turner,1995). Taktik ini dilakukan untuk menghindari konfrontasi langsung dengan pihak militer, kecuali dalam keadaan terpaksa dan terancam. Pergerakan Abu Sayyaf selalu berada dalam kegelapan, mengambil jalan dan jalur yang tidak umum dilalui dan mendapatkan dukungan dari penduduk lokal. Itulah keberhasilan Abu Sayyaf yang berhasil menyergap infanteri Filipina hingga menewaskan 18 dan melukai 53 lainnya, gabungan antara strategi, taktik serta informasi informannya.
Bukti terbaik akan efektivitas teknik ini selama bertahun-tahun adalah fakta bahwa taktik ini dapat membuat kelompok Abu Sayyaf tetap bertahan menghadapi gempuran dari angkatan bersenjata Filipina yang melakukan operasi militer di Sulu, yang melibatkan sekitar 8.000 orang personel militer dengan dukungan militer AS yang berteknologi tinggi. Dalam gempuran di Tipo-Tipo Basilan, pada 10 April 2016 sekitar 80 anggota Abu Sayyaf mampu menyelamatkan diri walau dikepung oleh lima batalyon AD Filipina, semua karena dukungan penduduk yang menjadi informannya. Demikian juga pengakuan mantan sandera WNI, bahwa setiap saat mereka harus berpindah tempat karena ada info penduduk adanya gerakan militer.
Data-Data Serangan Abu Sayyaf
Sejak tahun 1991-2000, tercatat kelompok Abu Sayyaf telah terlibat dalam 378 tindakan terorisme yang meliputi tindakan pengeboman, penyerangan, dan pembunuhan yang mengakibatkan kematian sebanyak 288 orang warga sipil. Pada rentang periode yang sama kelompok Abu Sayyaf tercatat telah melakukan tindakan penculikan dan penuntutan uang tebusan sebanyak 640 kali dan melibatkan korban penculikan sebanyak 2.076 korban.
Kelompok Abu Sayyaf Filipina saat mengancam akan membunuh dua sandera Jerman kecuali jika membayar uang tebusan dan Jerman menghentikan dukungannya terhadap Amerika Serikat dalam memerangi ISIS
Aksi teror yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf yang meliputi tindakan pengeboman, pembunuhan dan penculikan, diantaranya adalah :
4 April 1991, melakukan pengeboman menggunakan geranat di kota Zamboanga, Filipina Selatan, yang menyebabkan dua orang tewas
14 April 1995, melakukan penyerangan terhadap kota pemukiman Kristen di kota Ipil yang mengakibatnya tewasnya 53 orang (baik warga sipil dan pasukan militer) dan 30 orang lainnya menjadi korban penyanderaan.
23 April 2000, milisi Abu Sayyaf menyerang sebuah resor wisata di Sipadan dan kemudian menyandera 20 orang, meliputi perwira polisi Malaysia dan turis dari Eropa dan Timur Tengah.
1 Juli 2000, kelompok Abu Sayyaf melakukan penculikan terhadap penginjil Kristen Filipina di kawasan hutan di Jolo. Tercatat sebanyak 13 orang menjadi sandera dalam kasus penculikan tersebut.
28 Mei 2001, milisi Abu Sayyaf melakukan penyerangan bersenjata ke resor wisata Dos Palmas. Dalam kasus penyerangan ini tercatat sebanyak 20 orang wisatawan asing dan lokal menjadi korban penculikan. Kasus tersebut memicu operasi militer dari pemerintah Filipina untuk menyelamatkan para sandera.
Juni 2001, terjadi bentrokan bersenjata antara kelompok Abu Sayyaf dan militer Filipina yang terjadi di Gunung Sinangkapan, Tubaran. Peristiwa ini menyebabkan sebanyak 16 orang tewas dan 44 orang mengalami luka-luka
7Agustus 2002, enam orang dari Sekte Saksi Jehovah Filipina diculik oleh kelompok Abu Sayyaf, dua orang sandera diantaranya kemudian tewas dipenggal.
4 Maret 2003, sebuah bom meledak di luar bangunan terminal utama Bandara Internasional Davao, Filipina. Juru bicara kelompok Abu Sayyaf melalui siaran pada stasiun radio nasional mengklaim bertanggung jawab atas serangan pengeboman tersebut. Tindakan tersebut mengakibatkan tewasnya 21 orang dan sebanyak 148 orang luka-luka.
4 Februari 2004, sebuah bom yang ditempatkan di dek bawah kapal Superferry 14 meledak dan menenggelamkan kapal feri tersebut. Sebanyak 116 orang tewas akibat insiden tersebut dan menjadikannya sebagai serangan bom terorisme paling mematikan di Filipina. Kelompok Abu Sayyaf mengklaim bertanggung jawab atas serangan pengeboman tersebut.
14 Februari 2005, tiga bom diledakkan oleh operasi kelompok Abu Sayyaf di kota Makati, Davao dan General Santos. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai “Bom Hari Valentine”. Berdasarkan pernyataan juru bicara kelompok Abu Sayyaf saat itu, Abu Solaiman, mengatakan bahwa bom tersebut merupakan “hadiah” untuk Presiden Gloria Macapagal Arroyo. Insiden tersebut menyebabkan 8 orang tewas dan 96 orang luka-luka.
Juli 2009, seorang staf Palang Merah Internasional dari Italia, Eugenio Vagni, disandera selama enam bulan. Vagni dilepas di Jolo, setelah ditebus US$10.000 atau sekitar Rp130 juta.
27 Februari 2010, kelompok Abu Sayyaf membunuh satu orang milisi dan 10 orang warga sipil di Maluso, Filipina.
5 Desember 2011, kelompok Abu Sayyaf menculik pensiunan tentara Australia, Warren Richard Rodwell. Kelompok Abu Sayyaf meminta uang tebusan sebesar 2 juta dollar AS untuk ganti pelepasan sandera. Nasib dan keberadaan Rodwell belum diketahui.
1 Februari 2012, kelompok Abu Sayyaf menculik warga negara Eropa (kebangsaan Swiss dan Belanda) dan pemandu wisata asal Filipina di sekitar kepulauan Tawi-Tawi.
10 Juli 2012, militan Abu Sayyaf diduga terlibat dalam pembunuhan tujuh orang pekerja perkebunan karet setelah menyerang kendaraan mereka di Sumisip, Basilan. Peristiwa ini menyebabkan 7 orang tewas dan 18 orang luka-luka.
28 Juli 2012, kelompok Abu Sayyaf membunuh dan memenggal tujuh orang marinir Filipina selama bentrokan senjata dengan aparat keamanan di Panglayahan, Jolo
25 Mei 2013, terjadi bentrokan bersenjata antara marinir Filipina di kota Patikul, Sulu. Bentrokan tersebut menyebabkan tewasnya 7 orang marinir Filipina dan 5 orang militan Abu Sayyaf.
17 November 2013, kelompok Abu Sayyaf diduga melakukan pembunuhan dan penculikan dua orang wisatawan asal Taiwan di Kepulauan Pom Pom, Sabah. Satu orang diantara sandera dinyatakan tewas dalam insiden tersebut.
16 Februari 2014, melakukan penculikan terhadap sepasang suami istri di kepulauan Jolo. Suami istri, keduanya adalah karyawan perusahaan lokal, diculik oleh enam tersangka teroris dari kelompok Abu Sayyaf di depan rumah mereka di San Raymudo village di Jolo.
31 Maret 2014, kelompok Abu Sayyaf melakukan penculikan terhadap seorang wanita bernama Benita Enriquez Latonio, seorang penduduk dari Barangray Talisayan yang menjabat sebagai Kepala Sekolah di Sekolah Dasar Manggal, Kota Sumisip, Basilan.
November 2015, Abu Sayyaf memenggal Bernard Ghen Ted Fen, seorang turis asal Malaysia, karena keluarga gagal memenuhi tebusan 40 juta peso atau sekitar Rp12 miliar
Sabtu (2/4/2016), membajak kapal berbendera Malaysia, MV MASFIVE 6, yang membawa 9 ABK itu dicegat 8 pria bersenjata ketika berlayar di dekat Pulau Ligitan, pulau kecil di Tawau, Sabah yang sempat jadi sengketa Malaysia dan Indonesia. Para pelaku dilaporkan menodongkan senjata api dan memaksa awak turun dari kapal, kemudian membawa pergi empat warga Malaysia dari kapal tersebut. Sedangkan lima awak kapal lainnya (3 Myanmar dan 2 WNI), tidak ikut dilepaskan.
Pada 15 Maret 2016 Kapal Tugboat Barahama-II bertolak dari Banjarmasin menuju Filipina dengan 10 awak. Kapal kemudian dilaporkan dibajak pada Sabtu (26/3) dengan nahkoda kapal Peter Tonsen Barahama dari perusahaan PT Patria Maritime, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Peter melaporkan bahwa mereka diculik oleh orang bersenjata yang meminta tebusan sebesar 50 juta peso atau setara Rp14,2 miliar. Ke-10 sandera akhirnya dibebaskan pada tanggal 1 Mei 2016.
Jumat 15 April 2016 kembali terjadi pembajakan oleh kelompok teroris Abu Sayyaf terhadap kapal tunda dan tongkang berbendera Indonesia yang berisi 10 WNI di perairan Filipina Timur dari Mataking Island. Pembajakan terhadap kapal Tunda TB Henry dan kapal Tongkang Cristi di perairan perbatasan Malaysia-Filipina pada hari Jumat 15 April 2016 sekitar pukul 18.31 WIB. Empat WNI diculik, satu ditembak dan lima dibebaskan.
Dari beberapa data serta analisis kasus, trend yang menarik terlihat dalam waktu tiga tahun terakhir terjadi peningkatan pembajakan, terutama setelah pimpinan Abu Sayyaf, Isnilon Hapilon ber'baiat kepada pemimpin ISIS, Abu Bakar Al-Baghdadi pada 2013. Pada tahun 2012 hanya terjadi 6 kasus penculikan, kasus naik menjadi 16 pada 2013, naik lagi menjadi jadi 22 kasus pada 2014. Sementara angka penculikan Abu Sayyaf pada 2015 diperkirakan lebih dari 30 kasus. Dari 108 kasus, sebanyak 25 persen atau 27 kasus penculikan oleh Abu Sayyaf targetnya adalah orang asing.
Baru-baru ini polisi berhasil membongkar sindikat kriminal yang bekerja di Bandara Internasional Manila. Informasi dan penyaringan siapa-siapa saja yang akan diculik berawal dari informasi informannya di bandara. Target yang disasar adalah orang asing kaya terutama dari India, Cina, dan negara-negara Barat. Berdasarkan informasi lembaga risiko dan manajemen konflik, NYA International, rata-rata uang tebusan pada 2014 mencapai 17 juta peso atau USD 371.000 per orang.
Peneliti menyebutkan angka rata-rata orang yang diculik per-tahun bisa mencapai 7,8 orang. Jika ditotal, maka pendapatan per tahun bisa mencapai USD 2,9 juta. Angka ini sudah cukup besar bagi kelompok yang anggotanya tinggal 300-400 orang. Sementara Manila Institute for Peace, Violence and Terrorism Research memperkirakan, hampir 90 persen pendapatan kelompok ini berasal dari penculikan dan pemerasan. Pembenaran spekulasi ini bisa dilihat dari penyelesaian kasus. Menariknya, dari banyak kasus penculikan yang dilakukan Abu Sayyaf hampir 60 persen atau 65 kasus berakhir dengan pembebasan sandera secara damai. Proses pembebasan dilakukan lewat dibayarnya uang tebusan yang nilainya besar.
Dari komunikasi empat WNI yang diculik, didapat informasi adanya tuntutan uang tebusan sebesar 200 juta Peso (sekitar Rp 56 miliar). Negosiasi sedang dilakukan oleh pemerintah, dimana Kivlan Zein yang mendapat dukungan Pimpinan MNLF Misuari mendapat mandat perusahaan PT Patria Maritim sebagai negosiator. Selain itu jelas dilakukan operasi senyap intelijen yang jelas tidak dapat diberitakan.
Analisis Kasus Penyanderaan
Dari fakta-fakta tersebut diatas, terlihat bahwa walau kelompok Abu Sayyaf adalah kelompok yang terurai menjadi beberapa faksi, Inti organisasi berada di Sulu dan Basilan. Mereka mampu melindungi dirinya dengan strategi operasional, kemampuan lepas libat, melarikan diri melalui laut serta dukungan penduduk berupa informasi intelijen apabila terdeteksi ancaman. Selain itu, mereka justru terlindungi oleh UU di Filipina yang tidak mengijinkan pasukan asing beroperasi di Filipina.
Amerika dengan Australia yang menerapkan prinsip preemtive-strike (mengejar teroris hingga ke garis belakang) juga tidak menerapkannya di Filipina. Mungkin karena Filipina dinilai sebagai sekutu, atau mungkin Abu Sayyaf dinilai belum menjadi ancaman nasional kedua negara tersebut. Amerika serta Australia sebagai sherifnya selama ini melakukan prinsip tersebut ke Afghanistan, Irak, Syria dan bahkan Pakistan. Ini berarti Abu Sayyaf hanya ancaman regional yang tidak terlalu membahayakan mereka. AS hanya memberikan bantuan pelatihan militer serta menempatkan 200 penasihatnya di Filipina.
Dalam menilai aksi pembajakan serta penculikan serta permintaan uang tebusan dari Abu Sayyaf, penulis melihat dari tiga kemungkinan :
Pertama, Abu Sayyaf murni melakukan tindakan pembajakan, penyanderaan serta permintaan uang tebusan, yang variatif, terhadap 10 WNI sebesar 150 Juta Peso dan kemudian dari komunikasi terakhir menjadi 50 juta Peso. Kemudian untuk empat sandera mereka menuntut tebusan 200 juta Peso. Pemerintah Filipina jelas tidak setuju adanya pembayaran (kebijakan; No Ransom Policy) karena uang itu akan dapat dipergunakan untuk membeli senjata. Mereka telah meniru perompak Somalia, bergerak di laut dan melakukan pembajakan. Berarti langkah pemerintah Indonesia, Malaysia dan Filipina sudah tepat, bertemu dan akan melakukan pengamanan jalur kepulauan Sulu.
Presiden Jokowi mengundang Menlu dan Panglima AB Malaysia dan Filipina untuk bersama Menlu dan Panglima TNI membahas langkah aksi teror Abu Sayyaf (foto : laksamanaraja)
Kedua, Pemerintah Indonesia dan Malaysia sebaiknya mewaspadai langkah Abu Sayyaf merupakan skenario dari Islamic State (dahulu ISIS) dimana Abu Bakr al-Baghdadi memerintahkan membangun khilafah-khilafah baru. Asia Tenggara merupakan wilayaht dibangunnya target ke Islaman versi Baghdadi yang telah membentuk Khatibah Nusantara di Syria dan Irak, terdiri dari jihadis Indonesia, Malaysia dan Filipina.
Negara Islam (ISIS) kini telah menggantikan Jamaah Islamiyah (JI) sebagai sumber kekerasan regional Islamisme. Lebih penting lagi, ISIS telah mewarisi struktur regional , ideologi , dan strategi JI di Asia Tenggara, yang termasuk tidak hanya JI, tetapi Abu Sayyaf di Filipina serta Kumpulan Mujahidin Malaysia. Meskipun generasi pertama kepemimpinan JI, yang melakukan serangan bom tahun 2002, telah dieliminasi tetapi ideologi dan jaringan tetap hidup.(M.L.R. Smith, Profesor Teori Strategis, Departemen Studi Perang, King College London).
Perjuangan Islam di Asia Tenggara menjadi gerakan yang koheren untuk membuat kekhalifahan Asia Tenggara atau Darul Islam Nusantara. Isil telah jelas mewarisi Kedua struktur dan theo-politik visi Salafi dalam hal strategis dikandung dari jaringan regional dan transnasional.
ISIS melakukan serangan pertama di jl Thamrin Indonesia setelah teror terakhir Tahun 2009, Malaysia menggagalkan empat upaya membom gedung-gedung publik dan menculik politisi Melayu dan pengusaha China. Pada saat yang sama, di Selatan Filipina Abu Sayyaf telah menghidupkan kembali kamp pelatihan regional untuk jihadis, peningkatan serangan teror dan baiat kepada Negara Islam.
PM Singapura Lee Hsien Loong menyatakan pada tahun 2015 Asia Tenggara telah menjadi 'pusat perekrutan utama bagi negara Islam’, ancaman teror itu ada di sini'. Agak dilematis, bahwa Asean tidak memiliki pemahaman bersama tentang keamanan regional dan pendekatan yang terkoordinasi untuk membongkar terorisme transnasional. Sementara itu, ISIS mengeksploitasi gagasan tentang wilayah Islam terpadu untuk memromosikan versi dari 'khalifah jauh' di Asia Tenggara.
Nah, dengan demikian mulai terbuka tirai bahwa aksi teror Abu Sayyaf merupakan setting dari Islamic State (dikenal ISIS), yaitu konsep musuh jauh. Oleh karena itu terjawab, bahwa sejak pembajakan tahun 2005, maka sebelas tahun kemudian kembali terjadi aksi pembajakan kapal Inconesia. Selama ini suku bangsa Moro menghormati angsa Indonesia, MNLF juga menghargai hinga kini. Tetapi Abu Sayyaf sebagai sempalan yang sudah terkontaminasi ISIS kini harus masuk sebagai ancaman utama bagi jalur ekonomi perdagangan laut Indonesia-Filipina.
Mereka tidak membedakan agama maupun suku bangsa, siapapun yang diperkirakan akan jadi mangsa akan dibajak dan disandera. Tujuannya satu mengumpulkan dana untuk membentuk khakhalifahan. Kesimpulannya ISIS serta besar kemungkinan Khatibah Nusantara berada dibelakangnya. Perlu pengembangan penyelidikan sel teror Indonesia-Filipina.
Ketiga, menurut penulis ada kemungkinan penyanderaan adalah sebuah tekanan psikologis terhadap pemerintah Malaysia dan Indonesia. Tekanan tersebut terkait dengan potensi konflik perebutan pengaruh antara China-AS. Dimana Amerika sangat tegas menempatkan kawasan Laut China Selatan sebagai jalur mati hidupnya yang tidak boleh terganggu oleh China. Presiden Obama saat kunjungan ke Jepang pada 2009 menegaskan bahwa AS mempunyai sekutu di Asia Pasifik dengan Australia, Jepang, Filipina, Korea Selatan dan Singapura. Sementara Malaysia dan Indonesia diharapkan menjadi mitranya.
Malaysia jelas menolak, karena kerjasama perdagangan utamanya dengan China, dan bahkan dalam KTT Asean di Bali cenderung membela China. Sementara Indonesia dianggap lebih berat berhubungan dengan China. Sudut pandang masing-masing negara jelas bisa berbeda sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Dari sisi intelijen, penulis terus mengamati hilangnya pesawat Malaysia Airlines MH-370 serta penembakan MH-17 di udara Ukraina serta dibongkarnya tuduhan korupsi PM Malaysia Najib merupakan sebuah pressure terhadap Malaysia? Ada celah proxy war dalam kasus yang sangan tidak biasa tersebut.
Kini, mendadak ada ulah Abu Sayyaf, melakukan penyanderaan tiga tugboat, dua Indonesia dan satu Malaysia. Empat WN Malaysia masih disandera, dan 4 WNI juga masih disandera. Selain itu dibuktikan pada November 2015 seorang WN Malaysia dipenggal kepalanya karena tidak bayar tebusan. Jelas penyanderaan terlebih apabila terjadi pemotongan leher akan berakibat luas, khususnya bagi publik Indonesia. Dari penyanderaan 10 WNI saja TNI sudah dikerahkan dan siap menyerbu, sementara Malaysia tenang-tenang walau warganya dipotong lehernya. Hanya PM Najib yang marah.
Pernyataan bersama Tiga Menlu dalam Trilateral Meeting menyikapi teror Abu Sayyaf (Foto : beritagar)
Bagaimana apabila mereka melakukan eksekusi terhadap empat WNI? Apa langkah pemerintah? Hanya marah atau menyerbu? Nah, yang diharapkan oleh perancang, dengan tuntutan yang semakin besar (Rp54 miliar), sulit bagi perusahaan untuk membayar, kemungkinan besar setelah deadline, sandera bisa mereka eksekusi. Rakay akan marah, dianggap pemerintah tidak becus menyelamatkan warganya. Iti sasaran perencana, dari langkap proxy yang lebih kepada conditioning operation.
Kesimpulan
Dari analisis kasus, pressure kepada pemerintah Indonesia sangat mungkin dilakukan dengan menggunakan proxy Abu Sayyaf. Oleh karena itu bisa diperkirakan pembebasan empat WNI yang masih disandera akan lebih sulit dibandingkan 10 yang sudah bebas. Dari kasus pembajakan yang bersifat murni, strategi ISIS atau proxy war terkait Laut China Selatan, maka pekerjaan rumah Badan Intelijen jelas masih banyak.
Menurut penulis, sebuah aksi pembajakan dimana Abu Sayyaf sudah berani menyentuh dua negara tetangga dimana dia bermukim, jelas merupakan sebuah keputusan yang tidak sederhana. Terlebih di Filipina Selatan terdapat MNLF dan MILF dimana ada tokoh Nur Misuari yang menegaskan bahwa Abu Sayyaf bermain di wilayahnya. MILF berkekuatan 8.000 personil, Abu Sayyaf hanya 380 orang, apakah mereka tidak berhitung? Karena itu ada faksi sempalan yang sudah dipengaruhi oleh pihak ketiga untuk berbuat sesuatu yang dikatakan nekat. Jadi intinya Intelligence community yang bisa menetralisir pihak ketiga tersebut, karena teror adalah ilmu kecabangan dari Inteligence. Semoga bermanfaat.
Penulis : Marsda (Pur) Prayitno Ramelan, Intelligence Analyst, www.ramalanintelijen.net