Ahok Banyak Disukai, Tapi Belum Teruji Sebagai Cagub di DKI Jakarta
20 March 2016 | 11:40 pm | Dilihat : 1634
Ahok berada di pusaran Cagub DKI Jakarta, Akan dijadikan musuh bersama? (Foto : Editing Pribadi)
Berita yang kini paling populer dan disukai oleh media adalah Pilkada DKI Jakarta. Mengapa? Jawabannya sederhana, karena ada nama Ahok disitu dan semua faham bahwa Jakarta adalah barometer Indonesia. Siapa yang sukses di Jakarta maka karirnya akan melejit, misalnya Jokowi yang mendadak dengan trend 'blusukan' dan memperhatikan rakyat kecil, menang dalam pilpres 2014 jadilah presiden. Kini yang teranyar, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Tito Karnavian, sukses dan tampil sebagai polisi hebat di Jakarta, mendapat promosi sebagai Kepala BNPT, siap berbintang tiga menyalip banyak seniornya, bahkan berpeluang dicalonkan menjadi Kapolri
Nah, dengan sudut pandang intelijen, sebagaimana pakem intelstrat terdapat sembilan komponen, maka penulis menggunakan pisau komponen politik, sosial, budaya, demografi, biografi dan milkam untuk menganalisis peluang Ahok dan kandidat lainnya pada Pilkada DKI 2017. Jakarta sebagai Ibukota Indonesia, di situ bertebaran kepentingan politik yang sangat besar dalam memilih siapa yang menjadi Gubernur DKI. Oleh karena itu dipastikan pimpinan Parpol, Legislatif dan Eksekutif di negeri ini akan sibuk terlibat atau melibatkan diri di dalamnya.
Ahok sebagai incumbent disukai oleh media, oleh karena itu tanpa mengiklankan dan memasarkan diri dia sudah satu dan bahkan dua langkah di depan calon-calon lainnya. Dia populer karena media. Kelugasannya yang nekat dan kadang agak kontroversial disukai publik dan media. Hanya persoalannya, apakah nasib Ahok akan seperti Jokowi, menang karena disukai publik dan juga parpol? Ahok mirip tetapi berbeda dengan Jokowi, dia menjadi Gubernur karena prosedur dan aturan serta UU, otomatis menggantikan Jokowi menjadi Gubernur DKI yang bergeser menjadi Presiden. Dia dulu terpilih menjadi pendamping Jokowi yang moncer. Oleh karena itu menurut penulis, Ahok belum teruji secara penuh, inilah yang akan penulis coba bahas dari sudut pandang intelijen.
Antara Pilpres 2014 dengan Pilkada DKI 2017
Mantan Presiden RI yang juga Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri (kiri depan) berjalan bersama Joko Widodo (kedua kiri) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Minggu (8/12/2013)
Penulis menyusun sebuah artikel dengan judul "Ramalan Intelijen dan Ramalan Jayabaya Presiden 2014," (15 November 2011, dengan pembaca; 37.116), yang menyimpulkan Ibu Megawati Soekarnoputri akan menang apabila bertarung dalam pilpres 2014 dan menjadi presiden pada 2014 menggantikan Presiden SBY. Saat membuat artikel itu penulis mempercayai bahwa dari fakta pilpres 2004 dan 2009, Megawati menjadi menjadi capres yang disukai, walau kalah dari SBY. Mega selalu menjadi runner up, dimana dalam dua periode juaranya SBY.
Pengaruh dan kharisma Mega hingga 2009, bahkan hingga awal 2014 belum tertandingi tokoh nasional lainnya. Pada pilpres 2004 Mega unggul dari capres Wiranto, Hamzah Haz, dan Amin Rais. Pada pilpres 2009 Mega menggungguli capres Jusuf Kalla. Bahkan hingga awal 2014 Mega masih unggul elektabilitasnya dibandingkan Prabowo atau Aburizal Bakrie. Selain itu Mega menjelang pilpres 2014 adalah satu-satunya yang diakui sebagai patron oleh rakyat Indonesia, sedang SBY sebagai patron kuat lainnya tidak dapat maju.
Setelah menulis artikel, penulis dipertemukan dengan Ibu Megawati di kediaman beliau di Jl Teuku Umar Jakarta. Setelah penulis menjelaskan inti artikel,beliau bertanya apakah penulis tahu ada faktor "X" dimana beliau tidak bisa menjadi presiden. Penulis menjawab, bahwa faktor X tersebut adalah apabila Ibu Mega tidak dicalonkan atau tidak maju dalam pilpres 2014. Dalam kenyataannya yang dicalonkan PDIP adalah Gubernur DKI Joko Widodo, dan kemudian menjadi Presiden RI periode 2014-2019.
Hubungan Ahok dan Megawati cukup baik dan akrab, akankan meredup pada masa mendatang ? (Foto: netralnews)
Dari analisis tersebut, penulis mengaitkan dengan Pilkada DKI yang akan dilaksanakan pada Tahun 2017. Apa faktor X yang tersirat? Ahok sebagai incumbent sangat kuat posisinya, terlebih hubungannya sangat dekat dengan Presiden Jokowi. Faktor X bagi Ahok bukanlah nanti saat di bilik suara, tetapi sama dengan Ibu Mega, justru dia akan terus diganjal sebelum pemilihan. Kini mulai muncul black campaign menyerang Ahok. Keputusannya melalui jalur independen, apabila sepenuh hati bisa menjadi titik rawannya atau faktor X. Berbeda apabila ini hanya bagian dari strategi politiknya.
Ahok Sebuah Fenomena Menarik
Sejak beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia lebih menyukai sesuatu yang ringkas dan simple, termasuk nama. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono lebih dikenal dengan SBY, Wapres Jusuf Kalla dikenal JK. Nah, dalam pemerintahan baru, nama Joko Widodo lebih umum disebut Jokowi. Kini nama Basuki Cahya Purnama yang lebih dikenal sebagai Ahok, itulah perkembangan psikologis masyarakat demokratis yang lebih bebas dan terbuka.
Ahok, bukanlah sekedar nama, ini nama WNI keturunan Tionghoa yang pada tahun 1998 banyak diantaranya yang menjadi korban kerusuhan. Tetapi sejalan dengan reformasi demokrasi, maka kini nama Ahok sudah menjadi 'branding,' tokoh perubahan kepemimpinan di sebuah daerah. Tanpa kita sadari, demokrasi keterbukaan telah mencerdaskan rakyat Indonesia, dimana media sosial menjadi sarana terampuh, dan bahkan mengalahkan media arus utama. Medsos mampu menjadi alat penekan yang ampuh dan mampu menaikkan citra seseorang dengan tepat.
Twitter, Face Book, Instagram , Whats App misalnya sudah menjadi kebutuhan dan bagian kehidupan publik. Tanpa kita sadari, dibelakangnya itu adalah bisnis raksasa yang mampu memetakan sasaran pemasaran yang tepat efektif dan efisien. Disinilah Ahok berayun, sementara yang lainnya masih berfikir dan bersikap secara tradisional. Dari sisi ini Ahok posisinya sudah lebih dari tiga langkah bukan dua lagi di muka calon lainnya.
Dua tokoh pembaruan pemimpin yang bebas dan akrab, ini bukti kekuatan Ahok karena kedekatan dengan presiden Jokowi (Foto: okezone)
Sebagai seorang tokoh pembaruan, Ahok adalah sosok eksekutif muda yang berani. Dia muncul terbuka, berani menyatakan dirinya jujur dan berani mengenakan punishment di DKI. Sikap ini banyak disukai publik tidak hanya di Jakarta bahkan di daerah lainnya. Kawula muda menyebut Ahok itu 'Urat takutnya sudah putus.' Mari kita lihat penilaian survei fanomena Ahok ini. Kepala Penelitian Bidang Politik CSIS Philips Vermonte, menyatakan, nama Ahok mencuat seperti katapel pada 2015, padahal tahun 2014 dia belum dikenal. Ini lantaran kebijakannya yang selalu mendapatkan apresiasi dari publik, tuturnya.
Dalam survey CSIS yang dilakukan pada 14-21 Oktober 2015 tentang pilpres dia mampu menembus posisi 3 besar. "Berdasarkan tingkat elektabilitas tokoh, bila Pilpres dilaksanakan hari ini, Jokowi masih unggul dengan 36,1 persen, kemudian Prabowo 28,0 persen, Ahok 4,9 persen, dan SBY 4,8 persen," kata Vermonte di Jakarta, Minggu (25/10/2015). Bayangkan, elektabilitas Ahok mampu mengalahkan SBY, presiden dua periode. Nampaknya CSIS mencoba menguji elektabilitasnya di tingkat yang lebih tinggi. Walau kita faham siapa CSIS, tetapi hasil survey ini jelas bermanfaat untuk menambah pemahaman berpolitik.
Sedangkan untuk survey calon Gubernur DKI Tahun 2017, menurut Arya Fernandes, pada acara 'Calon Independen vis a vis calon Partai' di Kantor CSIS, Jalan Tanah Abang III, Jakarta, Senin (25/1/2016). Dikatakannya, "Dari tingkat popularitas, nama Basuki Tjahaja Purnama masih belum bisa tersaingi, Ahok tingkat popularitasnya ada pada angka 94 persen," ujarnya. Di bawah nama Ahok ada nama Tantowi Yahya yang tingkat popularitasnya 81 persen dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil 71,25 persen.
"Walaupun dalam survei tingkat elektabilitas Ahok 45 persen, sedangkan Ridwan Kamil hanya kisaran 15 persen, namun ada kecenderungan orang yang tidak puas dengan kinerja pemerintahan (Ahok) akan memilih Ridwan Kamil," ujar Arya.
Tiga pemimpin Daerah yang dikenal sukses dan menjadi idola publik, Ahok, Risma dan Emil, Sayang bila mereka diadu di DKI (Foto: korannonstop)
Sedangkan menurut Cyrus Network yang merilis hasil surveinya mengenai Pilkada DKI Jakarta, memperlihatkan dukungan terhadap Ahok semakin kuat. "Dukungan terhadap petahana (incumbent) Basuki Tjahaja Purnama semakin solid, hari ini pendukung Ahok sudah masuk dalam kategori strong voters jumlahnya sekitar 40 persen pemilih DKI," ucap Managing Director Cyrus Network Eko David di Jakarta, Rabu (11/11/2015).
Selain Ahok, dengan elektabilitas 40,7 persen, dua nama yang elektabilitasnya cukup tinggi adalah Tri Rismaharini 9,1 persen dan Ridwan Kamil 15,9 persen. Untuk tingkat kesukaan terhadap ketiganya hampir seimbang. Ahok mendapat 62%, sedangkan Emil 62,7% dan Risma 65,6%. Sementara Sandiaga Uno 0,3 persen dan Adhyaksa Dault 6,7 persen.
Meskipun kini terunggul, menurut David, Ahok harus tetap waspada, karena menurut survey gerakan anti-Ahok, juga mengalami peningkatan sampai angka 40 persen. "Lawan-lawan Ahok bisa melihat peta potensi suara itu, mau meluaskan jaringan anti-Ahok atau ambil sisa 20 persennya. Walaupun memang agak sulit untuk melawan loyalis Ahok yang sudah mencapai 40 persen," katanya.
Independensi Ahok dan Deparpolisasi
Dalam kisaran politik di DKI, PDI Perjuangan kemungkinan besar akan ditinggal Ahok dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017. Ahok sudah menyatakan memilih jalur independen dan menggandeng Heru Budi Hartono sebagai calon wakil gubernur. Ahok, melepas Djarot Saiful Hidayat (Wagub DKI saat ini), yang ditawari menjadi cawagubnya, tetapi Djarot menolak, tetap setia kepada PDIP. "(Hubungan) saya kalau sama PDI-P baik-baik saja kok. Cuma masalahnya, Pak Djarot enggak berani ikut kami saja (maju independen bersama Teman Ahok). Sekarang beberapa teman di PDI-P merasa, kok saya maju enggak mengajak orang PDI-P, itu saja masalahnya begitu loh," kata Ahok di Balai Kota, Kamis (17/3/2016) malam.
Kegiatan pengumpulan satu juta KTP dukungan Ahok ( Foto: jakarta.bisnis)
Ahok pandai berkilah, dikatakannya, "Ini bukan soal ambisi, ini soal saya takut kepercayaan anak muda yang hilang. Mereka (Teman Ahok) kan orang-orang yang percaya demokrasi, tetapi tidak percaya kepada parpol. Nah, saya lebih baik memenangkan mereka untuk percaya kalau masih ada politisi dan birokrat yang baik," kat,
Dalam aturan pengajuan Cagub dan Cawagub, PDIP di DKI Jakarta menjadi parpol tekuat, tanpa berkoalisi dengan partai lainnya, PDIP bisa mengajukan pasangan Cagub dan Cawagub dengan syarat 20 kursi. PDIP meguasai kursi di DKI, dan mendapat dukungan 1.231.843 suara (28 kursi), Gerindra: 592.568 suara (15 kursi), PPP: 452.224 suara (10 kursi), PKS: 424.400 suara (11 kursi), Golkar: 376.221 suara (9 kursi), Demokrat: 360.929 suara (10 kursi), Hanura: 357.006 suara (10 kursi), PKB: 260.159 suara (6 kursi), NasDem: 206.117 suara (5 kursi), PAN: 172.784 suara (2 kursi).
PDI-P sebelumnya sudah mengetahui bahwa Ahok memilih jalur independen bersama relawan Teman Ahok untuk maju di Pilkada DKI Jakarta. Bahkan, Ahok sendiri sudah mengutarakan niatnya maju secara independen langsung kepada Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri beberapa waktu lalu. Muncullah pandangan deparpolisasi.
Terkait keputusan Ahok, Politikus PDIP, yang menjadi Ketua DPRD DKI, Prasetio Edi Marsudi, saat bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati pada Senin (7/3/2016) di Jalan Teuku Umar, Menteng, mengatakan mereka sempat membahas masalah deparpolisasi, yaitu menghilangnya peran partai politik dalam proses demokrasi.
Ahok dan Djarot, kini bersama sebgaai Gub dan Wagub DKI Jakarta, pada Pilkada 2017 akan berpisah (Foto: metrotvnews)
Menurutnya, masalah deparpolisasi harus segera disikapi. Dikatakannya, dalam pertemuan tersebut, Megawati sempat mengutarakan bahwa sejarah Indonesia tidak pernah lepas dari peran partai politik. Bangsa ini, kata Prasetio, dibangun oleh parpol, bukan semata-mata oleh relawan. Menurut Prasetio, ada perbedaan mendasar antara parpol dan relawan. Relawan hanya sebagai pendukung pilihannya. Selain itu, baik di DPR maupun DPRD tidak terdapat fraksi independen. "Istilahnya membantu untuk support jagoannya," katanya.
Inilah lanjutan langkah Ahok setelah keluar dari Partai Gerindra, agar dia tetap bebas dalam melaksanakan kepemiminannya pada masa-masa mendatang yang tidak didikte oleh kepentingan parpol.
Peluang Strategi Ahok Menjelang Pilkada 2017
Penulis melihat apa yang dilakukan Ahok adalah sebuah strategi memeluk rembulan dengan memanfaatkan sinar matahari. Secara perlahan tetapi pasti. dalam menjalankan kepemimpinannya di DKI, Ahok lebih disinari kepercayaan masyarakat. Transparansi, keberaniannya menghadapi preman dan kesan kecenderungan menghajar korupsi serta pemompaan dan ketegasannya berupa tekanan peran aparat di DKI untuk lebih berbuat, mendapat apresiasi masyarakat yang jenuh dengan gaya kepemimpinan Gubernur sebelum Jokowi yang flamboyan. Ahok terinspirasi Jokowi langsung tutun ke bawah. Jokowi kuat karena dukungan rakyat kuat, ini yang dilakukan Ahok.
Pesaing Ahok yang berbahaya, Yusril. Elektabilitasnya belum muncul, tetapi bisa menjadi pengganjal dari sisi hukum dan politik (Foto : inddit)
Nah, kini Ahok menjalankan strategi Sun Tsu, menguasai informasi, faham dengan kekuatan dan faham dengan pesaing-pesaingnya. Oleh karena itu dengan keyakinan dukungan dan keprcayaan teman Ahok serta apresiasi rakyat Jakarta secara umum, dia berani memilih jalur independen. Ternyata perhitunganya matang. Kini dua parpol menyatakan mendukung tanpa syarat, Nasdem (5 kursi) dan Hanura (10 kursi). Artinya dia hanya butuh 5 kursi lagi.
Sementara PDIP tetap mengikuti perkembangan di DKI. Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPD PDI-P DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan, partainya masih mencermati dinamika politik di Jakarta berkaitan dengan Pilkada 2017 nanti. Segala kemungkinan dikatakan masih terbuka, termasuk opsi mengusung Basuki Tjahaja Purnama sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta. "Segala kemungkinan masih terbuka, termasuk itu (mengusung Basuki) juga," kata Gembong saat ditanya tentang rencana mengusung Basuki oleh Kompas.com, Jumat (18/3/2016) pagi.
Dilain sisi, Ketua DPW PKS DKI Jakarta Syakir Purnomo menjelaskan soal komunikasi politik lima parpol untuk Pilkada DKI Jakarta 2017. Lima parpol tersebut yaitu Golkar, PKS, PPP, Gerindra, dan PDI Perjuangan. Dikatakan Syakir, "Masih tahap komunikasi awal. Kita sepakat, ada kandidat yang diusung bareng-bareng. Ini masih terus dimatangkan, di antara partai-partai yang ada. Keputusan akhirnya tetap di pusat," katanya.
Nah, dari dinamika politik menjelang pendaftaran calon, jelas Ahok tidak akan berspekulasi terhadap upaya pengganjalan di awal. Disini berarti Ahok apabila tidak waspada terhadap titik rawannya, dia akan terhalang atau akan diupayakan gagal sebagai calon. Sebagai contoh misalnya, dari pengumpulan KTP yang sudah mencapai angka diatas 720 ribu, ada sanggahan bahwa itu bisa tidak sah, karena bukan dukungan pasangan. Apabila secara hukum gerakan teman Ahok dianggap melanggar, artinya harus dilakukan pengumpulan ulang. Terkait waktu dan ulangan pengisian pendaftaran, ini bukan hal yang mudah. Mampukan teman Ahok?
Surya Paloh Ketua Parpol pertama yang mendukung Ahok, memakaikan Rompi Teman Ahok dengan logo Nasdem (Foto : tribunnews)
Menurut UU No. 8 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota syarat dukungan warga meningkat dari 3 persen menjadi 7,5 persen dari total penduduk. Berdasarkan data BPS DKI, penduduk Jakarta di siang hari yakni 10.075 juta jiwa. Jika ingin maju sebagai calon independen di pemilihan gubernur selanjutnya, Ahok dan teman Ahok harus mengumpulkan dukungan dari warga sebanyak 750 ribu KTP.
Oleh karena itu Ahok memang harus waspada terhadap keumngkinan faktor X, dia bisa terkena jebakan Batman apabila tidak waspada, di Jakarta banyak orang yang ahli dalam menjatuhkan citra. Tetapi titik rawannya adalah hambatan hukum atau ada kasus hukum yang diupayakan membelitnya, seperti kasus RS Sumber Waras. Sementara aksi Haji Lulung dengan Kelompok Haji Lulung, langkah Wagub DKI dengan Sahabat Djarot, serta Sahabat Sandiaga Uno penulis perkirakan akan sulit menarik minat, karena bukan langkah kreatif hanya bisa meniru.
Kesimpulan
Mengacu dari hasil survei, nampaknya peluang Ahok hingga kini masih lebih besar dibandingkan calon-calon lainnya. Ridwan Kamil yang mulai mendapat apresiasi warga Jakarta dengan elektabilitas menguat, akhirnya menyatakan tidak ikut persaingan. PDIP mempunyai dua tokoh yaitu Risma dan Ganjar Pranowo Gubernur Jateng hingga kini belum jelas.
Ahok, asal Belitung yang menjadi si Pitung, Mampukah dia melampaui Ujian Pilkada Gub 2017? Ini dunia politik yang tricky Bang! (Foto: indonesiana.tempo)
Calon-calon lainnya seperti Yusril, Adhyaksa Dault, Ahmad Dhani, Dessy Ratnasari sudah mulai bermunculan, tetapi belum diukur elektabilitasnya. Jakarta jelas berbeda dengan daerah lainnya. Masyarakatnya heterogen, lebih maju, cerdas dan cerdik. Tidak mempermasalahkan soal etnis, soal agama, mereka butuh pemimpin muda yang berani dan mau berbuat untuk kepentingan warga Jakarta. Ahok dengan dukungan presiden mulai mewujudkan impian Jakarta sebagai kota Metropolitan.
Akan tetapi bisa saja akan muncul tokoh lain seperti Jokowi masa lalu di DKI setelah sukses di daerah. Yang pasti tidak ada partai politik yang mau berspekulasi mendukung pasangan yang peluangnya kecil dan tidak jelas. Sangat bisa dipercaya mereka terus mengamati Ahok, tidak peduli dengan sikap dan mulutnya, tetapi yang jauh lebih penting adalah peluang menangnya. Inilah politik.
Terakhir, waspada dengan titik rawannya, yang apabila mampu di eksploitasi pesaing akan bisa menimbulkan kelumpuhan, bahkan permanen. Ahok belum teruji dalam pemilihan sebagai calon Gubernur, karena itu pemeriksaan sekuriti elektabilitas harus dari lembaga survei yang sangat terpercaya dan hasilnya tidak semu. Itulah kira-kira pandangan dari sudut pandang intelijen.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net