Antara Intelijen dan Diskusi Tasawuf Modern
1 February 2016 | 2:00 am | Dilihat : 1847
Cover Buku Intelijen Bertawaf (Foto : Dokumentasi Pribadi)
Beberapa tahun yang lalu penulis pernah membuat artikel dengan judul Intelijen Bertawaf yang akhirnya terbit menjadi judul buku kebanggaan, karena itu buku pertama tentang intelijen yang merupakan kumpulan dari artikel-artikel di kompasiana. Kemudian penulis dalam mengulas hilangnya pesawat Malaysia Airlines menerbitkan buku dengan judul "MH370 the Art of Impossible." Nah kali ini penulis mencoba menulis artikel dengan judul yang lebih spesifik yaitu, "Antara Intelijen dan Diskusi Tasawuf Modern."
Intelijen adalah bidang yang selama ini penulis geluti dan menjadi bagian jiwa, melekat erat dalam cara berfikir. Mungkin ilmu ini sudah terpateri di benak penulis sejak awal mengikuti pendidikan intelijen pada tahun 1978. Berbicara tentang tasawuf, ini merupakan ilmu Islam tinggi yang penulis coba cermati lebih jauh. Dari beberapa literatur, maka pengertian dasar tentang Tasawuf adalah sebagian ilmu ajaran Islam yang membahas cara-cara seseorang mendekatkan diri kepada Allah, seperti misalnya berakhlak tinggi (mulia), tekun dalam beribadah tanpa keluh kesah.
Manusia melakukan latihan dengan kesungguhan untuk membersihkan, mempertingggi dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah. Jadi dengan tuntunan tersebut manusia dapat lebih mengenal Allah Swt, sehingga seseorang dapat melangkah dengan baik dan benar dengan ahlak yang indah serta akidah yang kuat.
Oleh karena itu bagi seorang analis intelijen senior yang murni, maka perenungannya melihat sebuah rangkaian kasus sebaiknya dengan cara pandang bak latihan tasawuf, yaitu sudut pandangnya harus bersih, luas dan komprehensif, tidak prejudice. Dalam pembahasan ini penulis menggunakan referensi pemahaman tasawuf modern dari penulis Agus Mustofa, seorang cendekiawan muslim yang aktif menulis beberapa serial Diskusi Tasawuf Modern. Selamat membaca.
Pemahaman Intelijen Bertawaf
Peluncuran Buku Intelijen Bertawaf, Dihadiri Marsekal Pur Chappy Hakim/Mantan Kasau, Jenderal Pur Hendropriyono/Mantan Kabin dan Pak Edi Taslim/Admin Kompasiana (Foto: kompasiana.com)
Pada tahun 2009 penulis menggunakan istilah Intelijen Bertawaf, dimana judul artikel ini penulis susun setelah bertemu beberapa teman dan mendiskusikan topik soal politik dan agama. Fokus diskusi adalah, "Di Indonesia, Departemen apa yang paling kuat jaringannya, tetapi yang paling tidak berdaya?." Berbagai jawaban teman yang lain muncul, Dephan, Deptan, Depkes sampai Depdagri (sebelum diganti nama menjadi Kementerian). Ternyata dari jawaban dari satu teman yang cerdas itu mengejutkan, Departemen Agama, katanya. Kenapa? Rumusnya sederhana, katanya. Bayangkan berapa jumlah mesjid, musholla, gereja sampai vihara di Indonesia. Kenapa tidak berdaya?. Karena dalam kegiatan ibadah sehari-hari mereka langsung ke Tuhan Yang Maha Kuasa, tak pernah menyinggung Departemen Agama sedikitpun.
Penulis mendengar kata jaringan, begitu pulang terinspirasi membuat artikel, maka jadilah tulisan intelijen bertawaf. Dalam intelijen, jaringan atau 'indra' merupakan salah satu elemen strategis yang harus terkoordinasi hingga menghasilkan manfaat yang optimal. Pada tahun 1974, Alm Jenderal LB Moerdani 'sang legenda intelijen' dipanggil pulang dari Korea Selatan, beliau mendapat tugas membenahi berbagai jaringan dan institusi intelijen yang tumpang tindih dan selalu bersaing satu sama lainnya. Institusi intelijen umumnya saling menutup diri dengan informasi yang didapatnya.
Sekarang, apa hubungan antara tawaf dan Intelijen? Kenapa intelijen harus bertawaf? Tawaf itu adalah kodrat Ilahi, jangankan manusia, alam semesta saja bertawaf. Bulan bergerak mengelilingi bumi, bumi mengelilingi matahari. Matahari sebagai bagian salah satu Bimasakti mengelilingi induknya. Bimasakti juga bergerak. Jadi hakikat tawaf adalah "gerak." Yang patut diingat, gerak dalam hakikat tawaf adalah gerakan yang teratur dan terstruktur. Baik itu gerakan yang sudah menjadi ketentuan Tuhan, seperti gerakan jagat raya tadi. Disisi lain ada pula katagori gerakan, dimana Tuhan memberi manusia keleluasaan untuk menentukan polanya. Konsekuensi logisnya, ya harus ditanggung sendiri oleh si manusia itu.
Oleh karena itu intelijen harus terus bertawaf, bergerak secara teratur dan terstruktur, jangan berhenti dalam melaksanakan tugasnya. Inilah inti dari tawaf tadi, jangan tertinggal dalam pulbaket itu.
The Art of Impossible
Malaysia Airlines sebagai Prominent Target? (Foto: centrumpost.com)
Penulis menyusun beberapa artikel terkait dengan kasus hilangnya pesawat Boeing 777 (MH-370) dari Malaysian Airlines pada bulan Maret 2014. Beberapa artikel kemudian dicetak menjadi sebuah buku dengan judul "Misteri MH370." Dalam menelusuri kasus tersebut penulis menggunakan pisau intelstrat yang pada beberapa waktu terakhir ini kesimpulan penulis, Malaysia sedang mendapat serangan proxy war, dihancurkan dari sisi kredibilitas dan integritas. Kasus accident pesawat sebagai serangan jilid satu, kasus tuduhan dana gelap PM Najib adalah jilid dua, penulis perkirakan akan ada serangan jilid tiga.
Dalam dunia intelijen dikenal pengertian intelijen taktis dan Intelijen strategis. Untuk memenangkan sebuah pertempuran, maka yang dipergunakan adalah intelijen taktis. Demikian juga untuk menyelidiki sebuah kasus kriminal, intelijen taktis akan bermula dari TKP (Tempat Kejadian Perkara) dan baru melebar mengumpulkan bukti-bukti yang lebih lengkap melebar ke nasional, regional dan internasional. Sementara intelijen strategis (intelstrat) adalah ilmu yang dipergunakan untuk memenangkan peperangan, terdiri dari sembilan komponen intelstrat (komponen ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, biografi, demografi dan sejarah). Intelijen mencermati dunia internasional, kemudian mengerucut ke regional, nasional dan terakhir kearah TKP.
Dari sisi Intelstrat, menilai sebuah kasus saat bermain dalam dunia politik, nafas gerakannya dikenal sebagai "the art of possible", dimana kepentingan menjadi muara dari segala gerakan. Selama kepentingannya sama, semua bisa diatur. Tetapi apabila kepentingan berbeda semua bisa saling bermusuhan. Dilain sisi, dalam dunia terorisme, nafasnya adalah "the art of impossible". Sebelum kasus 911, tak seorangpun pernah berpikir akan ada segelintir orang yang nekad menerbangkan dan menubrukan pesawat ke WTC hingga runtuh. Semua pihak awalnya akan berpikir "impossible", tapi nyatanya "possible".
Serangan Teror WTC 2001, The Art of Impossible (Foto: ipmoticias.com)
Nah, pada profile tingkat tinggi ini intelijen harus jernih dan berpandangan jauh kedepan dalam memperkirakan potensi ancaman, terutama kemungkinan munculnya the art of impossible. Jelas badan intelijen tidak hanya fokus terhadap ancaman teroris sebagai sebuah kasus, tetapi yang terpenting adalah ancaman terhadap keberlangsungan berbangsa dan bernegara, yang kita kenal sebagai national threat. Institusi yang memiliki indera ke enam melakukan counter dan sangat memahami ancaman nasional terhadap sebuah negara adalah intelijen.
Implementasi Intelijen dalam Tasawuf Modern
Mengawali bukunya berjudul 'Segalanya Satu' dalam serial Diskusi Tasawuf Modern, Agus Mustofa menuliskan, "Seluruh cakrawala tiba-tiba berpusar ke satu arah bertriliun-triliun benda langit yang tadinya bergerak ke segala penjuru kini terlihat menuju ke satu titik: Pusat Alam Semesta." Seakan-akan saja berlawanan secara linear. Padahal sesungguhnya semua bergerak berpusat ke satu arah secara diametral-dimensional. "Ahad...!" tiba-tiba terlontar kalimat itu. Ya, semuanya terpusat kepada Al Ahad. Disinilah terkait antara pemahaman intelijen bertawaf yang penulis sebutkan diatas dengan pemahaman dasar tasawuf modern.
Dalam kaitan ini, menurut penulis apabila seorang intelijen memiliki sense (rasa), semakin tinggi ilmunya, maka akan semakin menakjubkan sebuah realitas baginya. Semakin bersyukur, akan semakin indah dan menakjubkan realitas itu baginya. Untuk mencapai tataran di tingkat ini, dia harus meningkatkan ilmu intelijen dan mindset agar menjadi orang yang tekun dan bersyukur, agar ketajaman analisisnya semakin hebat. Kuncinya dia harus terus melakukan perenungan dan mengasah dirinya dengan tekun.
Dalam kondisi biasa, seorang intelijen yang memandang sesuatu kasus dengan fokus, ia akan kehilangan kewaspadaan terhadap kejadian di sekitarnya yang bisa menjadi blur. Yang lebih baik, dia fokus tetapi tanpa harus kehilangan kewaspadaan terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Dia harus tenang tetapi reaktif.
BIN Sebagai Tulang Punggung Negara (Foto: beritasatu.com)
Intelijen yang sempurna adalah mereka yang berhasil melakukan pengamatan secara berkeliling sehingga bisa melihat dan menganalisis informasi dari semua sisinya, itulah petugas ataupun analis yang waspada. Yang perlu difahami adalah sisi kontradiktif. Kesempurnaan analis adalah ketika dia bisa memahami sebuah realitas dengan menggabungkan semua sisi yang kelihatan berbeda dan kontradiktif ke dalam sebuah pemahaman yang tunggal dan utuh.
Pemahaman yang utuh terhadap realitas akan terjadi ketika aparat intelijen mampu membangun sebuah kesadaran yang bisa mewadahi seluruh masukan yang berbeda-beda, bahkan yang kontradiktif sekalipun. Itu hanyalah merupakan bagian-bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan tunggal yaitu realitas. Jangan terjebak dengan satu bagian saja, karena counter intelligence akan selalu berhadapan dengan upaya desepsi.
Kesimpulan
Sense of Intelligence (foto: dailimail.co.uk)
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya seorang intelijen harus terus meningkatkan ilmu serta mindset-nya. Dalam ilmu tasawuf, pada intinya sebagai usaha untuk mengungkap hijab yang membatasi antara manusia dengan Allah Swt. Petugas intelijen itu kecil dan tidak berarti apa-apa tanpa adanya kesadaran bahwa yang dia lakukan di dunia hanya merupakan bagian kecil dari realita kehidupan. Dia akan berhadapan dengan sekat-sekat yang apabila tidak disadarinya justru akan menjerumuskannya.
Seorang intelijen dengan tataran tingkat tinggi sebagai analis, apabila dikaitkan dengan pemahaman tasawuf modern, pengamatan serta perhatiannya sebaiknya tidak berhenti pada tataran fisik belaka, melainkan juga pada apa yang ada di baliknya. Bukan hanya yang bersifat obyektif tetapi juga yang bersifat subyektif. Perenungan batiniah akan lebih menajamkan hasil analisisnya. Itulah yang dimaksud dengan "sense of intelligence."
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen www.ramalanintelijen.net