Jessica Kini Ditahan, Akan Bebas atau Terancam Pidana Mati?
31 January 2016 | 6:59 am | Dilihat : 1484
Jessica saat dijemput petugas Kepolisian Polda Metro Jaya (foto : Detik)
Kejahatan dalam bentuk apapun akan selalu meninggalkan jejak. Hal ini merupakan sebuah keyakinan serta pegangan baik bagi penegak hukum maupun aparat intelijen. Aparat penyelidik serta penyidik kepolisian maupun intelijen adalah mereka yang terdidik dan terlatih dalam melaksanakan tugasnya. Yang berbeda, polisi sebagai abdi hukum harus mengutamakan asas praduga tak bersalah, kemudian harus melengkapi paling sedikit dua bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Polisi lebih fokus kepada kasus.
Sementara bagi intelijen, terlebih badan intelijen strategis, melihat sebuah permasalahan, terutama ancaman, kewajibannya mengaitkan dengan wilayah yang lebih luas bahkan hingga ke tingkat regional serta internasional. Karena itu polisi dalam bertindak dia harus membuktikan, seakan memenangkan pertempuran melawan pihak yang disangkakan. Sementara intelijen cakupannya lebih luas yaitu dalam memenangkan peperangan, dan mungkin saja tidak semua pertempuran dimenangkannya.
Wayan Mirna Salihin, korban tewas kopi Vietnam, sama-sama alumnus dengan Jessica dari Billy Blue College di universitas Australia (Foto : dream)
Nah, dalam kasus kematian seorang wanita bernama Wayan Mirna Salihin (27 tahun) setelah menyeruput es kopi Vietnam di Cafe Olivier, Grand Indonesia bersama dengan dua temannya, Mirna mengalami kejang-kejang. Teman-teman dan pelayan cafe segera membawa Mirna ke Klinik D di Grand Indonesia, hingga suami Mirna datang dan membawanya ke Rumah Sakit Abdi Waluyo di Menteng. Hanya saja, sesampainya di sana, Mirna sudah meninggal dunia.
Pihak kepolisian Polda Metro Jaya kemudian melakukan penyelidikan, memeriksa kejadian yang terus diberitakan media. Kemudian Sabtu (30/1/2016) malam. Penyidik Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya akhirnya memutuskan untuk menahan Jessica Kumala Wongso atas kasus tewasnya Mirna tersebut.
Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Krishna Murti di gedung Dirkrimum Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (30/1/2016) malam menyatakan, "Kami memiliki alasan subjektif kekhawatiran akan melarikan diri, dan menghilangkan alat bukti," katanya. Saat dijemput untuk ditahan, Jessica tidak berada di rumahnya di bilangan Sunter, Jakarta Utara, tetapi berada di salah satu kamar hotel. Menurutnya, Jessica yang dikenakan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana atas Mirna pada 6 Januari 2016, memberikan keterangan yang berbeda dengan bukti-bukti yang dimiliki penyidik.
Kombes Pol Krishna Murti Dirdiskrimun Polda Metro Jaya, setelah menghadapi Teroris di Thamrin kini Sibuk dengan Kasus kematian Mirna (Foto : suara.com)
Ditegaskan oleh Krishna, "Hasil BAP kami adakan gelar perkara dan kami sandingkan dengan keterangan sebelumnya, kami sandingkan dengan alat-alat bukti yang lain, dan nyata-nyata kami menemukan adanya ketidak sesuaian antara keterangan yang bersangkutan dengan fakta-fakta yang kami temukan dan alat bukti yang lain," paparnya.
Kasus Sederhana Tetapi Menarik
Kasus tewasnya Mirna ini sebenarnya sebuah kasus sederhana, tetapi menarik. Menurut penulis ini kasus 4A, yaitu yang diangkat dan menjadi besar oleh media menyangkut empat nama berakhiran 'A' , yaitu Mirna, Jessica, Sianida dan Krishna. Mirna adalah korban yang tewas, tidak menyangka dia akan tewas karena minum kopi Vietnam di sebuah cafe terkenal.
Dari hasil otopsi sementara oleh team Bidokkes Polda Metro Jaya dari lambung, hati, dan empedu Mirna, menunjukkan adanya zat yang bersifat korosif menempel di bagian organ tubuh korban. Hasil pemeriksaan sementara terhadap enam sampel es kopi Vietnam yang diamankan seusai kejadian, Rabu (6/1/2016), menunjukkan bahwa kopi yang diminum Mirna positif mengandung zat racun sianida.
Sianida atau Natrium Sianida (NaCN), merupakan bahan kimia berbentuk kristal kubus atau serbuk, granule, tidak berwarna, berbau seperti almond. Jika kering tidak berbau, tetapi jika menyerap air berbau. Sianida berakibat fatal bila terhirup atau tertelan, racun yang akan menyerang semua jaringan sehingga tidak terjadi pertukaran oksigen atau disebut mengalami hipoksia yakni kekurangan oksigen dalam jaringan. Merupakan racun paling mematikan yang merusak sistem saraf sentral dan sistem saraf otot.
Racun Sianida (Cyanide) yang mematikan (foto : merdeka)
Sementara Jessica adalah wanita yang penuh senyum, sekolah bersama-sama Mirna di Australia. Walaupun dicurigai dalam keterlibatan kematian Mirna sebagai temannya, Jessica justru beberapa kali tampil di talk show media elektronik. Dia mengumbar senyum tanpa menunjukkan rasa khawatir sedikitpun. Disinilah penulis berfikir, ini kasus menarik, walaupun sederhana. Dalam teori 'cleaner' yaitu pelenyapan atau pembunuhan seorang target, apabila dilakukan dengan racun, umumnya si pembunuh tidak berada di dekat target, untuk menghindari counter penegak hukum. Apakah Jessica faham teori tersebut, dan dia menjungkir balikkan argumentasi aparat?
Nah, kasus ini kini telah sepenuhnya dikendalikan oleh Krishna, dimana pihak kepolisian sudah memegang beberapa bukti, seperti jam berapa racun berbahaya tersebut masuk ke tubuh Mirna serta asal muasal sianida tersebut. Kombes Krishna Murti menyatakan, hal tersebut akan dibuka di pengadilan nanti. Sebelumnya, Krishna menjelaskan, salah satu alat bukti yang dimiliki adalah CCTV dan akan dibuka pada persidangan nanti. "Salah satu saksi lupa dan tidak ingat jadi diperlihatkan CCTV untuk mengingatkannya dan itu juga menjadi salah satu bukti," jelasnya.
Sebuah pertanyaan dari sudut pandang intelijen. Yang tersulit bagi intelijen adalah menjawab kebutuhan informasi intelijen dalam Sisbidibame. Me disini adalah 'mengapa?.' Muncul keganjilan, mengapa kalau toh Jessica pelakunya, dia tetap tenang dan tegar selama ini. Jessica dikabarkan menangis setelah akan ditahan polisi dan dinyatakan sebagai tersangka. Hal tersebut, hanya akan muncul apabila cleaner (si pembersih) menyimpan dendam yang sangat besar, ataupun sebuah keyakinan ideologis bahwa dia memang harus membunuh.
Pengumpulan bahan keterangan, Siabidibame (Siapa, Apa, Bilamana, Dimana, Bagaimana dan Mengapa). Mengapa atau Why adalah bagian yang terpenting (Foto : ideasik)
Keyakinan ideologis diperlihatkan oleh Afif atau Sunakim, pelaku bom Thamrin yang tenang tanpa penutup muka saat melakukan aksi teror. Dia siap mati, dengan segala keyakinannya. Kemungkinan lain bagi pelaku pembunuhan yang tenang tanpa rasa bersalah adalah tingkah laku seorang psikopat, dia tidak merasa bersalah walaupun membunuh seseorang.
Yang jelas, kini Krishna sudah meyakini dan menahan Jessica. Dalam kondisi ini, penyidik jelas tidak berani mengambil resiko bila tanpa memiliki bukti serta alasan yang sulit disangkal. Dilain sisi, Jessica jelas dipihak yang lemah, secara pribadi, mental, dalam membentengi diri, mungkin memiliki cover, karena dia berhadapan dengan sebuah sistem penegakkan hukum yang sangat terlatih dan berpengalaman. Terlebih, polisi diperkuat dan didukung beberapa ahli. Bahkan Profesor Sarlito Wiryawan yang pernah bersama penulis sebagai anggota kelompok ahli di BNPT turut bertindak sebagai saksi ahli selaku kriminolog.
Menghadapi interogator berpengalaman, tersangka umumnya akan lumpuh secara mental dan dia akan mengakui perbuatannya, karena 20 hari waktu yang lama dan secara hukum bisa diperpanjang lagi. Sebagai wanita muda mampukah Jessica menghadapi kesendiriannya?
Polisi kemungkinan akan menang dalam membuktikan kasus pembunuhan tersebut, persoalannya, ada apa sebenarnya dibelakang itu semua? Apakah Mirna korban salah bunuh? Ataukan ada pengendali dibelakang ini yang merencanakan pembunuhan untuk sebuah pembersihan residu?
Adapun dalam KUHP, Pasal 340 soal pembunuhan berencana berbunyi : Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.
Yang jelas, tugas polisi masih panjang, karena pasal pembunuhan berencana memang bukan kasus yang mudah. Menurut pengacara hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Ganjar Laksamana Bondan, dengan menerapkan pasal 340 KUHP polisi menurutnya perlu hati-hati, karena hingga saat ini, polisi belum mengungkap bagaimana tersangka melakukan rencana pembunuhannya.
Jessica Kumala Wongso saat awal, usai menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya didampingi kuasa hukumnya (foto : metro.news.viva)
Menurut penulis, Jessica tegar dan sangat berani muncul di layar kaca, senyuman di TV itu jelas dilihat calon hakim. Pembunuh yang tersenyum adalah pembunuh berdarah dingin, itu yang fatal baginya apabila nanti polisi berhasil membuktikan dia pelakunya atau dia mengakuinya. Mari kita tunggu jalannya sidang, yang pasti akan sangat menarik diikuti. Inilah potret demokrasi, semua akan transparan, aparat jangan ambil resiko merekayasa, tetap berjalan pada koridor profesionalisme, yang dipertaruhkan adalah citranya, jangan sampai salah, penerapan hukum yang keliru akibatnya akan sangat besar.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen www.ramalanintelijen.net