Posisi Politik Rusia Lemah di Suriah, Su-24 Rusia Runtuh Disergap F-16 AU Turki
25 November 2015 | 11:40 pm | Dilihat : 1250
Pesawat Tempur Su-24M Fencer sedang take off dari Pangkalan AU Hmeimim Suriah (Foto : theaviationist)
Pada hari Selasa (24/11/2015), sebuah pesawat tempur AU Rusia jenis pembom tempur Sukhoi, Su-24M (kode NATO; Fencer) yang dioperasikan dari Pangkalan AU Latakia, Suriah Barat telah ditembak jatuh oleh F-16 Turkish Air Force setelah dikatakan melanggar wilayah udara Turki di kawasan Hatay. Menurut Turki, pesawat Rusia itu telah diperingatkan sebanyak 10 kali dalam waktu 5 menit saat mendekati batas wilayah udara Turki sebelum ditembak jatuh.
Insiden intersepsi dan berakhir dengan penembakan tersebut terjadi pada ketinggian 19.000 feet , dimana Fencer dikatakan melintasi wilayah udara Turki dalam waktu 17 detik. Su-24M Fencer tersebut jatuh setelah dihantam oleh peluru kendali udara ke udara (air to air missile) F-16 yang menurut Rusia adalah jenis rudal AIM-9X, atau mungkin jenis AIM-120. Sementara Fencer lainnya berhasil meloloskan diri ke wilayah udara Suriah. Kedua penerbang berhasil eject dengan menggunakan parasut dan mendarat di wilayah Suriah. Diberitakan media bahwa salah satu pilot telah ditembak mati oleh pemberontak dan pilot satunya berhasil di evakuasi pihak Rusia.
Saat Su-24 M Fencer Rusia Jatuh Setelah terkena Rudal F-16 AU Turki (foto:voanews)
Kementerian Pertahanan Rusia membantah adanya peringatan komunikasi lewat radio (oleh F-16) ke Su-24 Rusia tersebut.
Presiden Rusia, Vladimir Putin sebelum mengadakan pertemuan dengan Raja Yordania, Abdullah pada hari yang sama setelah kejadian mengatakan bahwa, “kasus penembakan tersebut sebagai sebuah tusukan dari belakang yang dilakukan oleh kaki tangan teroris.” Ditegaskannya bahwa insiden itu akan memiliki konsekuensi serius terhadap hubungan Moskow dengan Ankara.
Kekuatan Udara Rusia di Suriah
Para analis intelijen dan penerbangan menayangkan foto-foto yang diambil dari satelit angkasa dan mampu mengidentifikasi kekuatan pesawat tempur tempur Rusia yang terekam di al-Assad International Airport, Latakia. Komposisi kekuatan udara terdiri dari ; 4x Su-30SMs, 12x Su-25s (berdasarkan skema warna mereka, adalah Su-25SMs dari 368 Assault Aviation Regiment di Budyonnovsk) dan 12x Su- 24M2s bersama dengan sekitar selusin helikopter, termasuk 10 Mi-24PN, Mi-35M dan beberapa Mi-8AMTSh helikopter, dari 387 Army Aviation Air Base Budyonnovsk (sumber : theavionist).
Pesawat Sukhoi Su-30SM Rusia di Suriah (foto :theaviationist)
Dijelaskan juga bahwa salah satu Su-30SM dilengkapi dengan KNIRTI SPS-171 / L005S Sorbtsiya-S, jammer defensif (ECM) di ujung sayap. Su-30SM merupakan turunan multirole dari Su-27 Flanker, jenis Ini generasi 4 + , bermesin ganda, dua kursi, supermaneuverable, pesawat multi-peran yang dilengkapi dengan peningkatan avionik.
Pencitraan satelit (air intelligence) menunjukkan, pesawat-pesawat AU Rusia itu diparkir di sisi landasan pacu 17L, di sisi utara bandara: Pengamanan serta pertahanan pesawat dinilai lemah, karena sebagai pangkalan depan AU Rusia tidak memiliki hanggar. Pesawat di parkir di udara terbuka, mengekspos ke satelit dan drones pengintai, membuat mereka menjadi bisa target yang mudah untuk diserang.
Sukhoi Su-24, yang ditembak jatuh oleh F-16 Turki pada Selasa lalu pertama kali diproduksi pada era Soviet pada tahun 1983 sebanyak 1.400 pesawat. Pesawat bermesin ganda yang dirancang untuk dua crew itu diproduksi oleh Sukhoi Company, produsen pesawat utama Rusia. Su-24 khususnya digunakan untuk misi serangan udara (pembom tempur) dan telah digunakan oleh AU Rusia untuk membom sasaran darat di Suriah sejak awal operasi serangan udara langsung. Su-24 / Su-24M saat ini dikatakan oleh Rusia sebagai satu-satunya jenis pembom garis depan yang menjadi tulang punggung kemampuan pesawat penyerang baik oleh Rusia maupun Ukraina.
Suatu hal yang sangat menarik dan menjadi perhatian fihak Barat adalah saat AU Rusia melakukan penggeseran 28 pesawat tempur dari Moscow ke bandara al-Assad, Latakia, Suriah yang tidak terdeteksi oleh radar negara manapun. Menurut laporan intelijen, selama penerbangan feri mereka, dari beberapa formasi (masing-masing terdiri dari sebuah pesawat kargo dan empat jet tempur), mungkin melakukan short stop di Iran sebelum terbang ke Latakia.
Formasi Pesawat Angkut Rusia An-24 dengan Sukhoi saat feri ke Suriah (Foto: theaviationist)
Ini juga menjelaskan mengapa beberapa Il-76s/An-24 (dengan endurance yang memungkinkan non-stop terbang dari Rusia ke Latakia) ternyata short stop di Hamadan antara tanggal 18-19 September 2015, dimana kemudian saat itu juga pesawat tempur Sukhoi mulai muncul di landasan Latakia. Strategi AU Rusia sama dengan formasi pesawat-pesawat tempur Israel saat dahulu menyerang reaktor nuklir Osirak di Irak, saat 8 F-16 Israel terbang rapat dalam satu formasi dan mampu mengecoh, menyatakan sebagai sebuah pesawat komersial. Dalam feri pesawat tempur Rusia ini beberapa radar pertahanan udara negara yang dilewati hanya menangkap satu obyek Il-76s/An-24, sementara empat pesawat tempur yang terbang rapat dengan Ilyushin itu tidak terdeteksi.
Potensi Konflik Udara di Suriah
Seperti diketahui bahwa pemerintah Rusia telah mengerahkan kekuatan militer darat, laut dan udaranya secara besar-besaran untuk mendukung pemerintahan Suriah dibawah Presiden Bashar al-Assad. Rusia dikatakan mengirimkan hingga 18 kapal perang, pasukan tank dan pesawat-pesawat tempurnya.
Rusia memulai serangan udara di Suriah pada akhir September dengan alasan memerangi kelompok Negara Islam (Islamic State), yang lebih dikenal sebagai ISIS. Para pemimpin Barat, mengatakan Rusia juga menargetkan dan menyerang kelompok oposisi yang merupakan ancaman bagi presiden Suriah Bashar al-Assad.
Kapal perang Armada Rusia Caspian menembaki fasilitas dari organisasi teroris Islamic State di Suriah, menghancurkan semua target, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan 7 Oktober 2015 (Foto: en.trend.az)
Kapal perang Rusia juga telah menembakkan rudal (peluru kendali jarak jauh) ke Suriah dari Laut Kaspia untuk pertama kalinya. Menteri pertahanan Rusia, Sergei Shoigu, mengatakan bahwa empat kapal perangnya telah meluncurkan 26 rudal ke sasaran Islamic State. Rudal jarak jauhnya itu melewati Iran dan Irak untuk mencapai target mereka di Suriah yang berjarak hampir 900 mil.
The Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) , sebuah kelompok pemantau HAM di wilayah Suriah, mengatakan pesawat tempur Rusia telah meluncurkan setidaknya 37 serangan udara sejak Rusia melakukan operasi tempur udara. SOHR mengatakan Rusia membom sasaran di Provinsi Idlib, sebagian besar wilayah dikuasai oleh koalisi pemberontak yang dikenal sebagai Jaysh al-Fateh, yaitu organisasi sayap al-Qaeda di Suriah.
Terkait dalam insiden tempur udara tersebut, menurut NATO (Turki juga salah satu anggotanya), menyatakan bukan yang pertama kalinya pesawat Rusia melakukan pelanggaran wilayah udara Turki. Pada tanggal 3 Oktober 2015, empat pesawat tempur AU Rusia, Su-30SM dan Su-24M di deteksi telah melanggar wilayah udara di wilayah Hatay. NATO mengatakan bahwa pesawat tempur Rusia tetap memasuki wilayah udara Turki meskipun pihak berwenang Turki telah memberi peringatan.
Formasi F-16 Turkish Air Force (Foto : koutipandoras.gr)
Dalam kasus tersebut, pesawat tempur AU Turki F-16, QRA (Quick Reaction Alert) segera mengidentifikasi pesawat penyusup, akan tetapi justru sebaliknya pesawat Rusia Su-30SM yang melakukan “lock-on” (target dikunci dan siap di tembak dengan misil). Menurut AU Turki, Sukhoi Rusia itu terus mempertahankan kunci radar terhadap satu atau kedua F-16 selama 5 menit dan 40 detik. Dalam insiden itu F-16 selamat dan tidak di serang. Dari sisi kemampuan radar dan avionik, diketahui bahwa Su-30 kemampuannya lebih tinggi dibandingkan F-16 Turki, Ini masalah yang tidak biasa, karena dalam kasus intersepsi, umumnya pesawat tidak saling mengunci, untuk menghindarkan situasi berbahaya. Sukhoi Rusia saat itu hanya membuktikan bahwa mereka tidak bisa diancam oleh Falcon.
Pihak Rusia mengatakan bahwa pelanggaran terjadi karena "kesalahan navigasi." Setelah insiden dimana pesawat tempurnya terkena lock-on, pihak Turki menegaskan akan menembak jatuh setiap pesawat yang melakukan pelanggaran wilayah udara negara mereka seperti yang pernah dilakukan AU Turki pada masa lalu terhadap Mig-23 dan Mi-17 Suriah.
Kasus intercept tanpa insiden penembakan kembali terjadi pada tanggal 5 Oktober 2015, dimana AU Turki mengindentifikasi pelanggaran wilayah oleh pesawat tempur jenis Mig-29 (kode NATO: Fulcrum) yang tidak dikenal kepemilikannya. Dari informasi intelijen NATO, yang menyatakan bahwa Rusia tidak mengirimkan Mig-29 ke Suriah, maka diperkirakan itu adalah pesawat tempur AU Suriah.
Pesawat Mig-29 Fulcrum AU Suriah (Foto : dw.com)
Menurut penjelasan dari Staf Umum Turki, Fulcrum itu telah disergap dan di lock-on oleh salah satu dari delapan pesawat F-16 AU Turki yang sedang melakukan CAP (Combat Air Patrol) di perbatasan Turki- Suriah. Penguncian radar berlangsung selama 4 menit dan 30 detik, kemudian Mig-29 tersebut dilepas dan kembali ke wilayah udara Suriah.
Analisis Intelstrat
Insiden antara pesawat tempur Rusia dengan negara-negara koalisi memang sudah bisa diperkirakan sangat mungkin terjadi sejak Rusia melakukan operasi udara di Suriah. Rusia jelas tidak main-main dalam pengerahan kekuatan udara dan laut serta darat.
Pada saat Rusia ikut terlibat langsung dalam kemelut di palagan Suriah, wilayah kekuasaan di Suriah terbagi diantara empat kelompok: pertama, pasukan rezim yang didukung oleh Hizbullah; kedua kekuatan Islamic State/IS, dikenal sebagai ISIS; ketiga, kelompok-kelompok Islam lainnya (Islamist Groups); keempat, kelompok-kelompok oposisi yang lebih moderat (Moderate Groups). Sementara milisi Kurdi terpisah mengontrol daerah di utara negara itu.
Peta medan pertempuran dan daerah kekuasaan di Suriah (Sumber :bbc.com)
Kebijakan Rusia hanya mendukung rezim Suriah (Bashar al-Assad) dengan kekuatan Hizbullah, dilain sisi Rusia menentang dengan kekuatan militer terhadap IS, Islamist Group dan Moderate group.
Sementara Turki, Saudi Arabia, Qatar dan Yordania secara politik sama yaitu menentang pemerintah al-Assad dengan diplomasi dan tekanan logistic, menentang IS dengan tindakan militer, mendukung dengan diplomasi dan logistik terhadap Islamist dan moderate groups. Sementara AS mirip dengan Turki, menentang al-Assad dengan diplomasi, tetapi AS menyerang dengan militer (AU) terhadap IS dan Islamist Groups. AS mendukung moderate goups (para pemberontak/Free Syrian Army).
Nah, dalam posisi politiknya, Rusia mempunyai musuh bersama baik di kalangan pemberontak, IS maupun kelompok-kelompok Islam lainnya. Yang jelas dan harus diperhitungkan Rusia, bahwa daerah operasi udaranya sama dengan daerah operasi baik AS, Turki, Saudi, Qatar dan Yordania. Karena itu kemungkinan terjadinya persinggungan, pelanggaran wilayah maupun penetapan target akan bisa menjadi masalah bagi AU Rusia di Suriah. Kini terjadi terbukti denga insiden ditembaknya Su-24 Rusia karena dianggap melanggar wilayah udara.
Menteri Pertahanan AS Ashton Carter menyatakan strategi Moskow cacat tragik, dan menuduh bahwa serangan Rusia di Suriah tidak terfokus pada ISIS (Foto:conspiranoicos.foroactivo)
Menteri pertahanan AS, Ashton Carter, mengatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan bekerja sama militer dengan Rusia di Suriah, tetapi bersedia mengadakan diskusi untuk mengamankan keselamatan para penerbangnya dalam menyerang sasaran IS. Carter menyebut strategi Moskow cacat tragik, dan mengatakan target Rusia tidak hanya IS tetapi juga kelompok oposisi yang didukung AS. Dari sisi kekuatan dan kemampuan, Rusia harus menghindarkan diri dari kemungkinan provokasi konflik udara dengan USAF di Suriah, karena Amerika telah mengirimkan pesawat tempur siluman canggih F-22 Raptor yang anti radar. Dipastikan pesawat tempur Rusia manapun di Suriah akan runtuh apabila konflik dengan Raptor.
Presiden Perancis, François Hollande, yang kini terlibat secara aktif menyerang IS di Suriah mengatakan bahwa kegagalan untuk bertindak di Suriah mengandung risiko memicu timbulnya "perang total" di Timur Tengah. "Apa yang terjadi di Suriah menyangkut Eropa, apa yang terjadi di sana akan menentukan keseimbangan seluruh wilayah untuk waktu yang lama," katanya dalam pidato kepada parlemen Eropa di Strasbourg. Perancis kini masuk secara aktif dalam koalisi AS.
Selain itu pemerintah Inggris menangapi leterlibatan Rusia di Suriah, Menteri Pertahanan Inggris, Michael Fallon, mengatakan bahwa intervensi Rusia telah membuat "situasi yang sangat serius di Suriah menjadi jauh lebih berbahaya".
Bagaimana sebenarnya peluang Rusia dalam keterlibatannya di Suriah? Sebenarnya Rusia sedang mengalami kesulitan di bidang politik dan ekonomi akibat mendukung aneksasi Krimea dari Ukraina yang terjadi pada bulan Maret 2014. Rusia mengalami blokade ekonomi dari Uni Eropa, Amerika Serikat dan Kanada yang melumpuhkan. Uni Eropa melanjutkan blokade setelah kembali terjadi konflik di wilayah Donbass, Ukraina Timur pada bulan April 2014 dimana dalam konflik antara pemerintah Ukraina melawan separatis yang didukung Rusia mengakibatkan jatuhnya korban tewas lebih dari 8.000 orang. Selain itu juga Rusia sedang mengalami kesulitan yang disebabkan turunnya harga minyak dunia hingga di bawah US $ 50 per barel.
Presiden Rusia Putin dengan ekspresi marah mengatakan akan membalas kepada Turki, tetapi harus sadar posisi politik Rusia di Suriah terlemah (Foto: edition.cnn)
Dalam operasinya di Suriah, diberitakan bahwa Rusia harus mengeluarkan dana sebesar US$5 juta hingga US$7,5 juta per hari. Jelas ini semakin memberatkan pengeluaran pemerintahan Putin. Oleh karena itu kini Rusia agak mengendurkan dukungan terhadap pemberontak di Krimea, agar dapat mempertahankan operasinya di Suriah. Beberapa pengamat militer mengatakan bahwa Rusia kemungkinan tidak akan mampu bertahan menangani operasi militer di dua negara dalam waktu jangka panjang.
Pada masa-masa mendatang, Rusia akan terus menghadapi tiga lawan berat dalam upayanya mendukung pemerintahan Bashar al-Assad. Di samping Rusia akan menghadapi tekanan dari koalisi AS berupa tekanan berat diplomasi, politik, ekonomi maupun serangan teror. Kasus serangan teror terhadap Rusia terkait dengan peran tempurnya di Suriah, telah terjadi, dimana pesawat Airbus A-321-200 milik maskapai Kogalymavia, Rusia jatuh di Sinai pada hari Sabtu (31/10/2015) dalam melakukan penerbangan dari resort Sharm el-Sheikh di Mesir menuju St Petersburg. Otoritas Rusia menyatakan bahwa pesawat jatuh disebabkan sabotase bom.
Pihak Islamic State afiliasi di Sinai mengakui mereka yang telah menyelundupkan bom. Dalam kejadian yang menewaskan 224 penumpang dan crew dari Rusia, inilah tekanan psikologis yang kuat terhadap Rusia. Walaupun belum terbukti bahwa IS yang melakukan aksi teror, karena IS belum pernah menyerang pesawat terbang komersial. Diperkirakan kejadian serupa bisa berlanjut, karena Rusia tidak hanya berhadapan dengan kelompok militan IS, tetapi juga jaringan al-Qaeda yang terkenal dan berpengalaman serta mampu menyerang dengan cara-cara teror profil tinggi.
Perang di Suriah menurut penulis bukan tujuan sebenarnya dari Moscow, akan tetapi tetapi lebih merupakan alat yang dirancang untuk menegaskan bahwa Rusia masih menjadi negara terbesar kedua di dunia yang harus diperhitungkan. Mereka menegaskan bahwa blokade ekonomi AS dengan sekutunya mampu mereka atasi dan masih mampu berkiprah. Rusia harus menyadari kini, bahwa mereka kini terlibat langsung dalam pertempuran ideologis antar Muslim serta kekuatan ekstremis yang memang diciptakan oleh Israel, AS dan Inggris. Dalam hal ini, Rusia harus memahami semesta simbolis dimana dia telah ditarik kedalamnya. Inilah proxy war dalam arti operasi intelijen yang sebenarnya.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen www.ramalanintelijen.net
Artikel Terkait :
-Indikasi Kuat Sabotase Bom Pada Kecelakaan Metrojet Airbus A-321-200 Kogalymavia Rusia, http://ramalanintelijen.net/?p=10095
-Rusia Harus Mewaspadai Serangan Teror Lanjutan Terhadap Pesawat Komersialnya, http://ramalanintelijen.net/?p=10112
-Rusia Harus Mewaspadai Serangan Teror Lanjutan Terhadap Pesawat Komersialnya, http://ramalanintelijen.net/?p=10112
-Uni Emirat Arab Rilis Daftar 82 Kelompok Teroris, Al Qaeda dan ISIS Yang Utama, http://ramalanintelijen.net/?p=927
-“The Siege of Kobane,” Islamic State Menggabungkan Antara Terorisme, Perang Gerilya dan Perang Konvensional, http://ramalanintelijen.net/?p=9165