Lone Wolf Akan Terus Mengancam Amerika Serikat
22 June 2015 | 12:49 am | Dilihat : 829
Homegrown Terrorism (Foto : dcxposed.com)
Peristiwa runtuhnya menara kembar World Trade Center di New York dalam peristiwa serangan teror 11 September 2001 merupakan ancaman mengejutkan dan menakutkan warga AS. Menara kembar WTC yang merupakan kebanggaan rakyat AS berhasil diruntuhkan. Sejak Perang Dunia pertama, pemerintah Amerika selalu berusaha agar perang tidak menyentuh mainland mereka.
Dengan kemampuan pulbaket, penjejakan, monitoring serta spionase, badan intelijen AS terus ditata dengan apik, diberi biaya tak terhingga dan juga wewenang yang sangat besar, untuk membantu mengamankan negara dan mendukung presiden AS dalam pengngambilan keputusan penting.
Terkait itu, sebuah pertanyaan intelijen, apakah dengan demikian kemudian warga AS benar-benar terlindungi? Nampaknya tidak cukup terlindungi, ada ancaman senyap dan mematikan yang gagal diantisipasi aparat intelijen. Seperti diketahui trend perang saat ini telah bergeser seiring perkembangan teknologi. Perang dimana Amerika Serikat terlibat adalah perang yang diciptakannya sendiri, seperti perang di Afghanistan dan perang di Irak misalnya.
Dalam waktu satu setengah dekade berjalan, AS menghadapi lawan yang disebut sebagai kelompok teroris yang melakukan serangan mematikan dan menakutkan. Mereka dikejar, tetapi kini mereka mampu melakukan pembalasan dengan aksi terornya. Oleh karena itu intelijen AS di-set up agar mampu melakukan monitoring selain kemungkinan ancaman perang dari negara lain juga ancaman teror spesifik.
Pada masa mendatang, kemungkinan perang konvensional antar dua negara dapat dinilai kecil kemungkinannya. Namun dengan adanya tuntutan kepentingan kelompok, kemudian terciptalah teori perang jenis baru, yang kini dikenal diantaranya perang asimetris, perang hibrida dan perang proksi (proxy war).
Nah, kini dengan perkembangan ancaman di-mainland-nya, sebenarnya apa yang akan terus mengganggu ketenangan hidup warga AS di dalam negeri?. Dari beberapa kejadian ancaman teror, the National Consortium for the Study of Terrorism and Responses to Terrorism (START) di Universitas dari Maryland membuat The Global Terrorism Index (GTI) yang merupakan produk dari Institute for Economics and Peace (IEP).
Amerika Serikat menduduki ranking 22 dari survei GTI, China ranking 26, Inggris ranking 28, sementara Indonesia berada pada ranking 31 dari 131 negara. Makin kecil nilai rankingnya, maka dapat dikatakan makin tidak aman negara tersebut. Menurut GTI, urutan lima besar negara yang paling tidak aman di dunia dari serangan teror dari peringkat tertinggi di urutan satu adalah Irak (skor :13) disusul oleh Afghanistan (skor : 9.39), Pakistan (9.37), Nigeria (8.58) dan Syria (skor 8.12).
Serangan Teror Menonjol di AS
Pemberitaan besar terkait aksi teror di AS terkait dengan aksi radikal dengan latar belakang teroris ISIS (kini bernama Islamic State). ISIS mirip dengan Al-Qaeda, menciptakan jaringan teror jauh di belakang garis perbatasan. Dengan pimpinan Abu Bakr-al Baghdadi yang mengumumkan khilafah (negara Islam) maka banyak warga di dunia, termasuk di AS yang terpengaruh. Kemampuan media sosial ISIS demikian canggih, sehingga tanpa mendapat arahan dari Baghdadi mereka mau melakukan serangan yang berdiri sendiri (lone wolf). Propaganda yang dilakukan IS sudah demikian canggih.
Pemboman Boston Marathon
Serangan Bom Boston Marathon (Foto: nydailynews.com)
Pada tanggal 15 April 2013 saat dilangsungkan lomba marathon tahunan di Boston, telah terjadi serangan bom. Pemboman menewaskan tiga orang dan melukai 264 orang. Pelaku pembomam adalah Tamerlan Anzorovich Tsarnaev dan saudaranya Dzhokhar. Kedua pelaku diketahui keturunan setengah-Chechnya dan setengah Avar. Kedua pelaku dan keluarganya berimigrasi ke Amerika Serikat sebagai pengungsi pada tahun 2002.
Pada saat pengeboman, menurut pihak kepolisian, Tamerlan dipercaya baru saja menjadi pengikut Islam radikal. Tamerlan tewas saat akan ditangkap dalam baku tembak dengan aparat keamanan, sementara adiknya Dzokar berhasil ditangkap. Dzokar dalam interogasi mengakui bahwa ia dan Tamerlan bermaksud akan meledakkan bahan peledak di Times Square di New York City. Dia juga mengatakan kepada pihak berwenang bahwa ia dan saudaranya menjadi radikal, setelah menonton pidato Anwar al-Awlaki (Al-Qaeda).
Penyerangan Bersenjata di Garland, Texas
Elton Simpson dan Nadir Soofi (Foto: christianpatriot.org)
Serangan bersenjata lain terjadi di Garland, Texas pada hari Minggu (3/5/2015) saat dilaksanakannya kontes kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad. Lembaga Inisiatif Pembelaan Kebebasan Amerika (AFDI) yang berbasis di New York telah mengadakan kontes di Curtis Culwell Center dengan hadiah US$10.000 untuk kartun terbaik. AFDI mengatakan kontes ini adalah sebuah acara yang mengusung kebebasan berpendapat, tercatat lebih dari 350 kartun yang diterima. Mereka dengan bangga menyatakan, "Ini menunjukkan bahwa Amerika tidak takut dengan intimidasi kekerasan Islamis."
Saat acara sedang berlangsung, dua orang warga AS yang bernama Elton Simpson, 31 tahun, dan Nadir Soofi, 34 tahun melakukan serangan penembakan di lokasi kegiatan yang melukai seorang anggota polisi. Kemudian dalam baku tembak keduanya tewas ditembak oleh seorang polisi.
Beberapa saat sebelum serangan, Simpson memosting di tweeter dengan hashtag #texasattack: "Semoga Allah menerima kita sebagai mujahidin." Penegak hukum menyatakan menemukan dua senjata laras panjang dan empat pistol yang disimpan di mobil mereka. Dikatakan senjata-senjata itu dibeli secara legal. Dokumen-dokumen pengadilan menunjukkan bahwa Simpson berada dalam pengawasan FBI sejak 2006 dan dikenai hukuman percobaan tiga bulan karena berbohong kepada FBI mengenai niatannya untuk bergabung dengan kelompok militan di Somalia.
ISIS mengumumkan klaimnya terkait penembakan tersebut pada hari Selasa (5/5/2015) di stasiun radio Al-Bayan miliknya, menyatakan "dua tentara khalifah" melaksanakan serangan hari Minggu terhadap sebuah acara kebebasan berekspresi di kota Garland.
"Kami mengatakan kepada Amerika bahwa yang akan datang akan lebih besar dan lebih pahit," katanya. Ini merupakan pertama kalinya ISIS mengaku bertanggung jawab atas sebuah serangan di wilayah negara Amerika Serikat. Pernyataan ini kemudian ditepis oleh pemerintah AS. Juru bicara Gedung Putih Josh Earnest mengatakan pemerintahan Obama belum menyimpulkan bahwa ISIS telah tiba di Amerika Serikat
Seorang mantan anggota FBI, Tim Clemente menyatakan, "Mereka mungkin tidak memiliki kontak resmi. Mereka mungkin memiliki komunikasi email atau membaca komunikasi dari ISIS, tapi saya tidak berpikir mereka diarahkan oleh ISIS,” katanya.
Penembakan di Gereja Charleston
Dylann Roof, pelaku penembakan (Foto : stuff.co.nz)
Pada hari Rabu (17/6/2015) telah terjadi kasus penembakan jarak dekat di dalam gereja Emanuel Afrika Methodist Episcopal, Charleston Carolina Selatan. Dalam kasus tersebut dilaporkan sembilan orang tewas. Korban tewas terdiri dari enam wanita dan tiga pria, semua berkulit hitam. Korban tewas termasuk Clementa Pinckney 41 tahun pendeta gereja, anggota Senat Partai Demokrat dari Carolina Selatan. Korban lainnya yang mengalami luka parah dalam serangan itu adalah Cynthia Hurd, manajer perpustakaan umum Charleston dan Sharonda Coleman-Singleton, ahli terapi bicara dan pelatih atletik sekolah tinggi.
Diketahui sebelumnya pada tanggal 26 April, saat acara yang diselenggarakan oleh Emanuel AME, Pinckney memperkenalkan beberapa pembicara termasuk anggota Kongres AS Jim Clyburn. Selama doa pembukaan, ia meminta bimbingan untuk membasmi kekerasan, fanatisme dan rasisme.
Diketahui Pinckey yang tewas ditembak, pada bulan April lalu berkampanye agar polisi dilengkapi dengan kamera tubuh. Kampanye dilakukan setelah seorang pria kulit hitam, Walter Scott, ditembak mati oleh seorang perwira polisi kulit putih Charleston saat mencoba untuk melarikan diri.
Dalam kasus penembakan di Gereja itu, dari rekaman CCTV yang dirilis oleh polisi menunjukkan pelaku adalah pria yang diidentifikasi bernama Dylann Roof yang memasuki gereja pada pukul 20:17/LT dan sekitar lima puluh menit dia bergabung dengan jamaah gereja mengikuti misa malam, dan kemudian baru melepaskan tembakan.
Kepala polisi Charleston, Greg Mullen, mengatakan pada hari Kamis (18/6/2015) pada konferensi pers, Roof berhasil ditangkap dan ditahan pada hari Kamis sekitar pukul 11:30/LT di kota Shelby, North Carolina sekitar 400 km sebelah Utara-Barat dari Charleston.
Pihak berwenang mengatakan mereka belum mengetahui motif serangan itu, namun divisi hak-hak sipil AS Departemen Kehakiman, bersama dengan FBI dan kantor pengacara AS, melakukan penyelidikan formal menjadi penyelidikan kejahatan potensial rasial.
Dilaporkan oleh Reuter, paman pelaku mengatakan bahwa senjata yang digunakan oleh Roof adalah jenis pistol semi otomatis merek Glock dan merupakan senjata legal yang merupakan hadiah orang tua dari pelaku. Tindakan Roof kini sedang diselidiki sebagai kejahatan dengan latar belakang kebencian, dan dia didakwa dengan sembilan pembunuhan, dengan ancaman hukuman mati.
Presiden Barack Obama menyerukan langkah peningkatan kontrol senjata di belakang tragedi tersebut. "Sekarang adalah waktu untuk berkabung," katanya di Gedung Putih. "Di negara ini kita harus mendamaikan situasi, merupakan fakta bahwa jenis kekerasan massa tidak terjadi di negara-negara maju lainnya."
Analisis
Dari ketiga kasus penembakan yang mengakibatkan korban tewas dan luka-luka, terdapat sebuah persamaan latar belakang peristiwa. Dari dua kasus di Boston dan penembakan di Garland, Texas dapat dikatakan adanya kaitan (langsung ataupun tidak) terhadap kelompok teroris di kawasan Timur Tengah. Pelaku di Boston terkait tidak langsung dengan Anwar al-Awlaki, tokoh Al-Qaeda, dimana pengaruh pidato tersebut telah mempengaruhinya menjadi radikal.
Para pelaku di Garland kasusnya serupa dengan penyerangan koran Satir Charlie Hebdo yang diserang dan para jurnalisnya tewas ditembak. Dalam kasus di Texas tersebut, nampaknya pelaku utama (Simpson) terinspirasi dan mempunyai hubungan melalui dunia maya dengan warga AS yang berada di Suriah. Simpson dengan tegas menyatakan dalam cuitannya di twitter kalau dia adalah mujahidin.
Yang menarik, kelompok teroris ISIS menyatakan bahwa dua tentara khalifah mereka yang melakukan penyerangan. Jelas pengakuan pertama serangan ISIS di AS dibantah oleh Gedung Putih, karena efek psikologisnya akan besar bagi simpatisan lainnya. Dengan demikian maka dapat dikatakan serangan teror pada kedua tempat tersebut sebagai serangan teror serigala tunggal (Lone Wolf). Mereka melakukannya tanpa kodal resmi dan senjata pribadi yang digunakan secara legal mereka miliki.
Khusus mengenai kasus penyerangan di Gereja Charleston, nampaknya seperti yang disampaikan oleh FBI, bahwa kasus nampaknya lebih kepada tindakan rasial (warga kulit putih menyerang warga kulit hitam). Ini akan memunculkan residu lama dimana pertentangan ras kembali akan memunculkan konflik. Disini terlihat yang melatar belakangi peristiwa kekerasan adalah dua hal yang sensitif yaitu masalah agama dan ras.
Dengan fakta tiga kasus diatas, maka pemerintah AS nampaknya akan menghadapi homegrown terrorism, yaitu bentuk serangan teror yang dilakukan oleh warga AS terhadap warga AS lainnya. Yang akan menjadi sangat berbahaya, dan akan mendukung terjadinya serangan susulan pada masa mendatang terutama adanya kebebasan berekspresi dalam sistem demokrasi liberal yang dianut. Warga AS tidak peduli dan tidak mau belajar dari kasus Charlie Hebdo Perancis. Dilain sisi, kelompok teror Timur Tengah sangat anti dengan demokrasi.
Mestinya mereka sadar dan waspada, bahwa tradisi Islam mainstream menyatakan bahwa setiap penggambaran fisik Nabi Muhammad adalah penghujatan, dan gambar seperti yang ditampilkan di Garland telah dan akan terus memicu kekerasan di seluruh dunia. Siapa yang diuntungkan? Jelas teroris ISIS, karena mereka yang berani mengakui penyerangan terhadap mereka yang menghina Nabi Muhammad. ISIS akan ditasbihkan menjadi pahlawan oleh umat Islam. Ini yang ditakuti oleh pemerintah AS.
Serangan itu dikatakan merupakan pola terkenal ISIS dalam kegiatan perekrutan dan hasutan; "Mendorong simpatisan melalui kampanye media sosial yang canggih untuk bergabung dengan perang di Suriah, atau, jika mereka tidak dapat pergi, mereka agar melakukan serangan teror sendiri di rumah." Dengan rangsangan diantaranya kontes pembuatan kartun Nabi Muhammad, tindakan teror akan sangat mungkin terjadi atau berulang.
Nah, kini pemerintah AS harus mewaspadai kemungkinan meningkatnya kekerasan kelompok ekstrim pengaruh ISIS serta konflik rasial antara kulit putih dan kulit hitam di negaranya. Ancaman perang antara Pemerintah AS dengan teroris sudah berubah, tidak seperti masa lalu. Teroris sudah semakin canggih, mampu membentuk penyerang-penyerang lone wolf tanpa perlu dikendalikan. Senjata mereka adalah propaganda melalui media sosial.
Presiden Obama menyadari bahwa kontrol senjata di negaranya perlu diperketat, ancaman teror sudah semakin nyata dan senjata mudah didapatkan secara legal di AS. Ini juga yang perlu diwaspadai aparat keamanan.
Yang nampak disini, aparat keamanan dan badan intelijen AS yang demikian hebat dengan anggaran yang demikian besar ternyata beberapa kali gagal menangkal serangan teror dari serigala tunggal. Mengapa? Karena lone wolf berdiri sendiri dan tidak terikat secara organisasi dengan kelompok teror manapun, sehingga sulit dalam menemukan dislokasinya. Inspirasi menjadi teroris itulah lawan intelijen. CIA dan NSA jelas yang lebih tahu.
Dengan kata lain, ada juga celah rawannya di negara super power itu. Akan sangat berbahaya apabila aksi simpatisan ISIS berkolaborasi dengan aksi rasial, bisa diramalkan aparat keamanan akan terus sibuk menangani serangan demi serangan. (Best regards to Air Marshal (Ret) James Clapper, Good luck.)
Penulis : Air Vice Marshal (Ret) Prayitno Ramelan, Intelligence Analist, www.ramalanintelijen.net