Untuk Pak Jokowi, Kesetiaan Berpolitik Itu Tidak Kekal

16 June 2015 | 8:18 am | Dilihat : 928

politik kompasiana

Politik Seperti Inikah ? (Foto : politik-kompasiana.com)

Penulis tertarik dengan cuitan  Tommy Soeharto (Hutomo Mandala Putra),  di tweeternya yang berbunyi, "Kesetiaan dalam politik bukan dinilai dari perkataan, sifat militan politisi bisa dilihat dari kuatnya pertahanan prinsip politiknya...Kesetiaan Politik tidak bisa dilihat dari kesetiaan terhadap tokoh atau kelompok, kesetiaan politik berpegang pada prinsip Politik itu sendiri."

Ini menarik, karena Tommy adalah putra mantan Presiden Soeharto (Alm) yang demikian fenomenal saat menjadi presiden RI selama 32 tahun. Seorang anak sedikit banyak akan belajar dari bapaknya tentang banyak hal, walaupun mungkin saat itu dia tidak langsung terlibat. Paling tidak putra bungsu Pak Harto ini banyak mendengar dan mendengar pembicaraan politik di rumahnya.

Nah, berbicara tentang kesetiaan seseorang dalam berpolitik, bagaimana kita menilainya? Penulis sependapat dengan Tommy, bahwa pertahanan prinsip politik seseorang merupakan warna orang tadi di posisi mana sebenarnya dia berada. Ini pendapat idealis  seperti yang terjadi di negara lain,sekali dia menjadi anggota Partai Republik, maka sampai akhir hayatnya dia tidak akan bergeser ke Partai Demokrat, kira-kira begitu.

Penulis menjadi teringat saat menjadi penasihat intelijen dari Menteri Pertahanan (Bapak Matori Abdul Djalil, Alm). Saat beliau berkonflik dengan Gus Dur, Pak Matori dengan gigihnya  tetap bertahan  di lingkungan  PKB. Kalaupun mau, saat itu  beberapa parpol lain membuka tangan lebar-lebar menerimanya. Itu prinsip politik beliau, sulit dan tidak akan nyaman katanya kalau pindah kamar. Ada yang dikorbankan, idealisme berpolitik dan harga diri tegas almarhum.

Suatu hari penulis menjadi terkejut ketika ada salah satu tokoh dari  parpol beliau mengatakan, "Hari ini kita bersama karena kita mempunyai kesamaan pandangan dan kepentingan membantu Pak Matori. Tetapi suatu saat nanti apabila kita berbeda pandangan dan kepentingan, maka kita bisa menjadi musuh."

Saat itu penulis seperti dipukul dengan besi, disadarkan,  bahwa berpolitik jelas tidak sesuai dengan hati nurani baik sebagai purnawirawan, terlebih sebagai insan intelijen yang mengutamakan loyalitas. Dalam perkembangannya kita melihat kini, di era kebebasan, parpol mulai pecah seperti berebut tulang, mereka yang dahulu berteman, bersahabat, berjuang membesarkan parpolnya kini berseberangan, dan terjadilah konflik, bahkan konflik fisik dikalangan grass root.

Dari cuitan Tommy,  yang menarik, salah satu follower-nya seorang wanita (@erepindonesia) memberikan tanggapan cuitan Tommy itu, "Itu (prinsip politik) dulu, kalau sekarang kesetiaan dalam politik itu wani piro." Nah, kata wani piro ini populer, uang itu adanya di politik.

Apabila kita melihat dunia politik di Indonesia saat ini, penulis melihat politisi loncat pagar adalah hal yang lumrah. Salah seorang teman bahkan mengatakan bahwa di dunia politik, oportunisme adalah biasa. Kini timbul pertanyaan di benak penulis, apakah terhadap mereka yang kemudian loncat pagar politik merapat ke presiden bisa dipercaya penuh olehnya? Presiden Jokowi pada awalnya dipercaya dan diusung oleh PDIP hingga menjadi presiden. Dia adalah kader PDIP yang sangat dipercaya oleh Ibu Megawati, tidak hanya sekedar diusung sebagai Walikota atau Gubernur, tetapi calon presiden RI.

Lantas, kini siapa mereka yang berada disekitar Jokowi? Siapa kader PDIP yang berperan di-inner circle? Pertanyaannya apakah tidak ada kader PDIP yang dianggap  mampu berkiprah, atau Jokowi bukan kader murni? Beberapa waktu lalu muncul informasi kurang baiknya komunikasi Istana dengan Teuku Umar, walau sudah dibantah, residunya masih tersisa nampaknya. Hanya dua tokoh militer yang dekat dengan Megawati dan PDIP sejak lama dan  kini  membantu presiden,  Jenderal Pur Ryamizard Ryakudu (Menhan) dan Jenderal Pur Hendro Priyono.

Sementara beberapa lainnya bukan berasal dari PDIP, tetapi menduduki jabatan strategis dan sangat menentukan, yaitu Jenderal Pur Luhut, Kastaf Kepresidenan (ex Golkar), Laksamana Pur Tedjo, Menko Polhukkam (ex Nasdem) dan Letjen Pur Sutiyoso, calon jadi Kabin (ex Ketua Umum PKPI).

Disinilah Jokowi mesti waspada, bagaimana dia mengelola soliditas serta kesetiaan para pembantu terdekatnya. Yang penting dukungan PDIP jangan sampai turun, karena disitulah basis awalnya. Menurut pakem intelijen, secara tertutup presiden sebaiknya melakukan pemeriksaan sekuriti, melakukan pemeriksaan keamanan. Periksa hubungan dengan parpolnya, periksa keamanan para pembantu-pembantu terdekatnya.  Siapa pelaksananya? Yaitu orang yang tidak dimunculkan, langkahnya clandestine, dia harus menganut prinsip single client dan end user-nya hanya presiden.

Sulit dan berat memang menjadi presiden, stafnya harus kuat walau yang terbentuk gado-gado, tetapi loyalitas mereka harus dinilai nomor satu. Apabila tidak, maka dengan setumpuk pekerjaan, akan banyak masalah-masalah yang tidak terpantau olehnya, dan pada akhirnya yang bertanggung jawab adalah presiden. Presiden bisa saja disesatkan dengan informasi, demi sebuah kepentingan politik atau lainnya, kira-kira begitu. Oleh karena itu, setinggi apapun kepercayaannya, pada waktu-waktu tertentu tetap  harus dilakukan pemeriksaan.

Dilain sisi, presiden penulis nilai tepat dengan memilih Jenderal TNI Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI. Penulis sedikit banyak pernah bertukar pikiran dengannya, dimana Jenderal Gatot kini dapat dikatakan Jenderal terbaik di TNI. Gatot tidak mempunyai beban politik, karena dia selalu menjaga profesionalisme militer murni. Dia tidak ingin TNI AD khususnya terkontaminasi politik,  menginginkan penggantinya murni militer yang profesional, tidak disusupi kepentingan politik tertentu. Nah, Jenderal Gatot hingga masa pensiunnya akan menjadi truf card presiden dan bangsa ini, karena dia  memegang kodal TNI, dia yang memegang pasukan.

Itulah sedikit masukan penulis. Apakah kita curiga dengan mereka yang berpolitik? Sebagai insan intelijen ya harus seperti itu cara berfikirnya. Politik itu oportunis, politik itu kotor, dan beberapa teman di komunitas intelijen bahkan mengatakan bahwa berpolitik di negara tercinta ini sangat kotor. Presiden harus tetap cermat karena politik itu unpredictable. Sekali saja Pak Jokowi terkontaminasi dengan kekotoran itu, maka selesailah sudah. Semoga bermanfaat Pak Jokowi.

Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Analis Intelijen www.ramalanintelijen.net

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.