KAA Selesai, Atlaoui Akan Di Eksekusi, Presiden Hollande Meradang, Sepadankah?
26 April 2015 | 8:02 am | Dilihat : 980
Para Terpidana Mati Narkoba di Indonesia, Atlaoui kanan atas (Foto: bbc.co.uk)
Indonesia dapat dikatakan sukses menyelenggarakan Konperensi Tingkat Tinggi antara negara-negara Asia Afrika (KAA) ke-60 dengan meriah. Walau disana-sini ada saja kekurangan, bisa dimaklumi karena pemerintahan ini masih dikatakan baru. Menurut teman penulis, wartawan senior Kompas, Mas Baz (Budiarto Shambazy), konperensi ini kurang mendapat sorotan media internasional. Dalam perspektif media, KAA dianggap hanya sebagai peringatan dan bersifat normatif.
KAA yang diselenggarakan dari tanggal 19 s/d 24 April 2015, menurut Mas Baz, " dinilai hanya program daur ulang yang tidak menonjolkan hal-hal berbeda. Isu-isu yang disampaikan sudah sering dikumandangkan Bung Karno dan Pak Harto waktu menjalankan kehumasan Asia Afrika," katanya (24/4/2015). Akan tetapi hajat besar tersebut dapat dikatakan sukses. Selamat kepada Mas Luhut Panjaitan (teman satu angkatan penulis, Akabri 1970) sebagai ketua penyelenggara.
Selesainya KAA kini menjadi lonceng kematian sepuluh terpidana mati kasus narkoba. Setelah perhelatan selesai, kini media mendapat berita baru yang hangat, yaitu pelaksanaan eksekusi mati di Nusakambangan. Yang dalam beberapa waktu terakhir eksekusinya ditunda karena beberapa pertimbangan. Penulis pernah diundang oleh TV One sebagai nara sumber dalam sebuah diskusi penundaan eksekusi. Menurut penulis, penundaan disebabkan karena beberapa calon yang akan dieksekusi itu membuat langkah/upaya hukum seperti PK, PTUN misalnya. Semuanya dituruti oleh pemerintah agar proses ini tidak cacat hukum.
Menurut penulis upaya-upaya tersebut hanya 'buying time.' Dari sepuluh orang kini hanya satu proses hukum yang belum selesai yaitu PK yang diajukan terpidana mati asal Palembang, Zainal Abidin belum keluar keputusannya.
Mereka, keluarga, jaringan pendukung, negara bersangkutan mencoba mencari celah agar keputusan mati dapat diubah menjadi seumur hidup misalnya. Celah tersebut mencoba memanfaatkan masalah mental kejujuran para penegak hukum dimana masih adanya tuduhan bahwa keadilan di Indonesia bisa dibeli. Tetapi dengan semakin transparansinya pemberitaan di era demokrasi ini, kesepuluh terpidana itu kini tinggal menghitung hari. Peluru sudah diasah, senjata Brimob penembak sudah diminyaki, para terpidana sudah ditempatkan di sel isolasi, keluarga Sabtu kemarin sudah dipertemukan (mungkin terakhir kali). Menurut informasi dari hasil pertemuan Sabtu kemarin, eksekusi kemungkinan akan dilaksanakan pada hari Selasa (28/4/2015).
Setelah dua negara, Brasilia dan Australia bersuara keras menentang eksekusi mati, kini disaat terakhir akan dilakukan eksekusi, Perancis bersuara keras menentang eksekusi. Presiden Prancis Francois Hollande merespons dan mengancam bahwa eksekusi mati itu bisa memengaruhi hubungan diplomatik. Hollande menyatakan akan mengumpulkan kekuatan bersama negara-negara lain yang menentang eksekusi mati di Indonesia. Hollande memperjuangkan agar Serge Atlaoui, warga Prancis yang divonis mati atas kasus narkoba tidak dieksekusi. Atlaoui akan menjadi warga Prancis pertama yang akan dieksekusi di bagian dunia dimana saja, dalam waktu hampir 40 tahun terakhir.
Kesepuluh calon yang akan ditembak mati, adalah satu asal Indonesia dan 9 orang berasal dari negara asing. Daftar tunggu ditembak tersebut adalah; Mary Jane Fiesta Veloso (WN Filipina), Myuran Sukumaran alias Mark (WN Australia), Serge Areski Atlaoui (WN Perancis), Martin Anderson alias Belo (WN Ghana), Zainal Abidin (WN Indonesia), Raheem Agbaje Salami (WN Spanyol), Rodrigo Gularte (WN Brasil), Andrew Chan (WN Australia), Silvester Obiekwe Nwolise (WN Nigeria) dan Okwudili Oyatanze (WN Nigeria).
Media di Uni Eropa mengakui bahwa hukum narkoba di Indonesia adalah salah satu yang paling keras di dunia dan Presiden Joko Widodo, yang menjabat sebagai presiden sejak bulan Oktober 2014 semakin kukuh dan mendukung hukuman mati bagi pedagang narkoba, dengan alasan negara sedang menghadapi darurat narkotika.
Presiden Perancis Francois Hollande (foto : telegraph.co.id)
Kini Hollande mengancam, rencana kerja sama yang telah dibahas antara dia dengan Presiden RI Joko Widodo saat KTT G20 pada November 2014 lalu, juga bisa ditunda. Dia mengatakan akan bertemu PM Australia Tony Abbott pada hari Senin (27/4/2015) untuk membicarakan khusus hukuman mati warganya. Nampaknya Perancis dan Australia mengetahui bahwa eksekusi akan dilaksanakan pada hari Selasa, karena itu kedua pimpinan negara itu akan bertemu pada hari Senin.
Lantas, takutkan Indonesia? Menanggapi ancaman itu, Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan ancaman maupun tekanan merupakan hal yang biasa terjadi dalam hal eksekusi mati di suatu negara. Prasetyo menegaskan pelaksanaan eksekusi mati tidak akan dibatalkan. "Eksekusi mati jalan terus, tekanan seperti ini sudah biasa terjadi," kata Prasetyo , Sabtu (25/4/2015).
Analisis
Indokasi pelaksanaan eksekusi mati semakin jelas, dimana persiapan-persiapan sudah semakin lengkap. Keluarga sudah diberitahu, perwakilan negara sudah diminta bertemu, tokoh agama sudah mulai menuntun para calon yang akan diseksekusi.
Mendadak Presiden Perancis Francois Hollande mengeluarkan pernyataan keras menentang eksekusi mati terhadap warganya Atlaousi. Bahkan mengancam bahwa hukuman mati akan memengaruhi hubungan kedua negara, menurunkan derajat hubungan dengan menarik duta besarnya di Jakarta. Apakah seorang Atlaousi sepadan dia perjuangkan?
Kadang kita tidak faham bahwa negara sebesar Perancis mau mengorbankan hubungan negara demi seorang tersangka narkoba yang jelas-jelas terbukti mempunyai pabrik di Indonesia. Memang hukum mereka di Uni Eropa soal narkoba berbeda dengan di Indonesia. Disana narkoba menjadi barang biasa mungkin, banyak yang terkena, tetapi karena mereka sudah pintar, side efeknya tidak sebesar Indonesia.
Disini narkoba jelas sudah menjadi barang umum yang tanpa disadari akan menghancurkan generasi penerus. Banyak yang memakai karena tidak faham, dan dengan naifnya menjadi korban, bahkan tergiur menjadi pedagang. Jalan pintas dagang narkoba menjadi pilihan karena cukup banyak pengganggur dan sulitnya mencari pekerjaan. Itulah kondisi di Indonesia yang disebut Presiden Jokowi sebagai darurat narkoba.
Nah, pemerintah memang harus tegas, tetangan pasti akan tetap muncul, karena setuju dan tidak hukuman mati adalah dua kutub yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Pemerintah harus siap dan waspada pastinya, kini Indonesia harus menghadapi tiga negara dari tiga benua yang menentang eksekusi. Jelas Perancis akan memengaruhi kelompok negara-negara lain di Uni Eropa, demikian Australia akan mengajak bersatu negara-negara persemakmuran Inggris, dan Brazilia akan memengaruhi negara-negara Amerika Latin.
Indonesia harus tegar, berani, bukan hanya sekedar nekat tanpa perhitungan, kemungkinan efek dibelakang hari dalam beberapa bidang. Demi menyelamatkan negara sendiri, hukum harus tetap ditegakkan, jangan surut.
Sebuah pesan penulis kepada Presiden Perancis Francois Hollande, sebaiknya keberatan terhadap hukuman mati cukup disampaikan keberatan diplomatik, tidak perlu dengan mengeluarkan ancaman segala macam. Demikian juga dengan PM Tony Abbott upaya anda-anda sudah maksimal, anda berdua akan dihargai warga masing-masing dalam memperjuangkan nyawa warga masing-masing. Tidak sepadan rasanya apabila anda-anda melakukan langkah ekstrem hanya untuk menyelamatkan warga anda penjahat narkoba yang jelas-jelas merusak Indonesia.
Bagi pemerintah Indonesia, apabila mereka melakukan langkah-langkah tidak senonoh, berlakukan saja langkah resiprocal. Tidak perlu gentar. Yang terpenting, ketegasan keputusan hukuman mati dan penolakan grasi harus konsisten dilaksanakan, dan bukan hanya bagian dari pencitraan. Jelas Indonesia dimasa mendatang akan menghadapi tekanan-tekanan berat dari banyak negara. Penegakkan hukum serta menegakkan keadilan harus benar-benar dilaksanakan. Beberapa contoh kasus anak pejabat tinggi serta public figure menabrak orang mati akhirnya bebas, sedang nenek-nenek tua dihukum karena dituduh mencuri kayu yang seuprit.
Bagaimana apabila di masa mendatang ada anak petinggi terlibat seperti 10 orang itu, akankah mereka dihukum mati juga? Sekali saja hukum di Indonesia soal menghukum mati tersangka narkoba cacat maka dimasa depan Indonesia akan tidak dipercaya dunia dan akan menjadi bulan-bulanan negara lain. Point terpentingnya, hukum dan presiden harus "konsisten" dalam menghukum tersangka narkoba.
Bagi Kemenhan dan TNI, terkait ancaman Presiden Hollande, sebaiknya jangan memasukkan rencana pembelian pesawat tempur pengganti F-5E Tiger dari negara-negara Uni Eropa. Bisa-bisa kita di embargo di masa mendatang. Hilangkan rencana pembelian pesawat tempur asal Eropa seperti Eurofighter Typhoon, JAS 39 Gripen, khususnya juga pesawat tempur Rafale buatan Perancis. Siapa takut? Begitu saja kok repot.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net
Artikel terkait :
-Waspadai Kemungkinan Langkah Ekstrem Australia Terkait Eksekusi Mati, http://ramalanintelijen.net/?p=9517
-Ratu Mariyuana Corby Kurir Sindikat akan Dibayar Mahal, http://ramalanintelijen.net/?p=8059
-Antara Kontroversi si Ratu Marijuana Corby dan Kebutuhan Diplomasi, http://ramalanintelijen.net/?p=5425
-Banyak Wanita Indonesia Divonis Mati di LN Akibat Narkoba, http://ramalanintelijen.net/?p=4705