Komjen Djoko Mukti Salah Satu Calon Kepala BIN?
23 February 2015 | 9:24 pm | Dilihat : 2379
Djoko Mukti Haryono (Kanan) Saat Sertijab Kapolda Kalteng (Foto: tribunnews.com)
Pada era keterbukaan dan kemajuan teknologi masa kini, rasanya sulit menutupi kerahasiaan aliran informasi. Bahkan informasi yang disandipun tetap saja bisa bocor karena canggihnya peralatan kripto masa kini. Kadang informasi sensitif bisa dimiliki oleh negara lain karena kecanggihan alat sadap yang mereka miliki. Informasi, terlebih yang sudah menjadi intelijen (sudah diolah matang) selalu menjadi incaran pelbagai pihak dengan kepentingannya masing-masing.
Dalam komunitas intelijen, peran insan media dalam pulbaket (pengumpulan bahan keterangan) menempati posisi atas setelah aparat intelijen karena kemampuannya mengendus berkembangnya informasi. Mereka didukung dengan sistem dan dengan tersebarnya jaringan yang dimiliki. Penulis pernah merasakan betapa nilai sebuah analisa atau pendapat informasi intelijen demikian besarnya bagi media. Saat hilangnya MH370, saat penulis berada di kota Cepu, demi kebutuhan analisis, Metro TV mengirimkan mobil khusus satelitnya mengejar dan akhirnya bertemu dengan penulis di kota Lamongan, hanya untuk mendapatkan pendapat, apa perkiraan intelijen dengan lenyapnya pesawat Boeing-777 dari Malaysian Airlines.
Penulis menyatakan dengan beberapa fakta pendukung, bahwa ada aksi teroris dalam kasus tersebut. Kasus secara lengkap penulis analisis di blog ramalan intelijen dan kompasiana, hingga terkumpul menjadi sebuah buku dengan judul "Misteri MH370." Ternyata hingga kini pesawat bongsor itu raib dan pemerintah Malaysia menyerah, hanya menyatakan bahw kasus MH370 adalah kecelakaan. Kecanggihan pelaku serta matangnya perencanaan menyebabkan motif tidak terbuka. Itulah aksi teror canggih sebagai sarana dari sebuah operasi intelijen.
Nah, kini penulis mengajak para pembaca mengikuti perkembangan informasi dalam negeri Indonesia, khususnya penunjukan beberapa pejabat yang dinilai sebagai back bone Presiden Jokowi. Jabatan tersebut adalah Jaksa Agung, Kapolri, Kabin dan Panglima TNI. Empat jabatan tersebut akan menentukan masa depan bangsa ini, karena terkait dengan ancaman terhadap bangsa yaitu Stabilitas Politik dan Keamanan, Korupsi, Narkoba dan terorisme. Yang penulis bahas tiga diantara empat, karena berita penggantian Panglima TNI nampaknya masih adem ayem.
Pejabat Jaksa Agung
Yang digarap pertama oleh Presiden Jokowi mulai dari yang teringan yaitu posisi Jaksa Agung. Pada posisi ini terpilih MH Prasetyo, yang dilantik oleh Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Kamis (20/11/2014) pukul 15.30. Pelantikan ini sempat menjadi tanda tanya beberapa pihak karena Prasetyo berstatus sebagai anggota DPR periode 2014-2019 dari Fraksi Partai Nasdem. Terkait pertanyaan itu, Prasetyo menjawab bahwa dirinya baru keluar dari keanggotaan Partai Nasdem pada pukul 11.00 WIB. Walau tidak terlalu popular dan menonjol karirnya, kontoversi terhadapnya tidak terlalu lama.
Dalam kasus eksekusi Warga Asing terpidana Narkoba, dimana Australia menentang dengan keras, Prasetyo menyatakan dirinya memaklumi adanya tekanan dari Australia, meski pemerintah berharap tidak ada tekanan. Ditegaskannya bahwa eksekusi mati dua WN Australia Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang terlibat jaringan narkoba Bali Nine, ditunda karena untuk mematangkan kesiapan. Jika semua sudah disiapkan (kordinasi dengan kepolisian, kantor wilayah agama, tempat isolasi, rohaniawan dan masalah keamanan), maka eksekusi duo Bali ini akan segera dilakukan.
Pejabat Kapolri
Jabatan kedua yang agak berat proses penggantiannya adalah Kapolri. Kita lihat kemelut pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) melalui jalan berkerikil tajam. Seperti penulis tuliskan dalam artikel, akhirnya benar bahwa BG di schackmatt oleh KPK (Abraham Samad). Baca "Budi Gunawan Di Schackmatt Oleh KPK" (http://ramalanintelijen.net/?p=9441). Budi Gunawan calon tunggal yang diajukan oleh Presiden Jokowi batal dilantik menjadi Kapolri karena ditetapkan sebagai tersangka korupsi (gratifikasi) oleh KPK. Walau kemudian BG memenangkan sidang praperadilan atas sangkaan KPK, posisinya sebagai calon Kapolri akhirnya batal. Presiden kemudian mengajukan Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai calon baru.
Dalam konperensi pers di Istana Merdeka Jakarta, Rabu (18/2), Presiden Jokowi mengatakan, "Mengingat bahwa pencalonan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai Kapolri telah menimbulkan perbedaan pendapat di masyarakat. Maka untuk menciptakan ketenangan serta memperhatikan kebutuhan kepolisian negara Republik Indonesia untuk segera dipimpin oleh seorang Kapolri yang definitif, maka hari ini kami mengusulkan calon baru yaitu komisaris jenderal polisi Badrodin Haiti untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Kapolri," tegasnya.
Persoalan penggantian Kapolri hampir selesai, hanya menunggu persetujuan dari DPR saja dan Presiden bisa melantik Badrodin. Masalah Kapolri akan kembali ruwet lagi apabila DPR tidak menyetujui fit and propper test pada bulan Maret mendatang setelah masa reses DPR selesai. Bagaimana dengan nasib Komjen Pol Budi Gunawan? Dalam sambutan presiden saat pembatalannya, Jokowi menyatakan agar BG siap untuk mendapat penugasan lainnya. Menurut penulis kemungkinan Budi Gunawan berpeluang menggantikan Badrodin sebagai Wakapolri.
Intelijen Negara dan Kepala BIN
Jabatan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara) hingga kini masih diduduki oleh Letjen (Pur) Marciano Norman yang menjabat sejak era pemerintahan SBY periode kedua hingga kini. Dalam buku Marciano yang berjudul "Mengawal Indonesia Menuju Demokrasi Yang Terkonsolidasi," menyebutkan bahwa Intelijen negara itu berfungsi sebagai dasar pembuatan suatu kebijakan (policy). Fungsi lain adalah memberi peringatan dini atau early warning dan perkiraan keadaan (estimasi) tentang berbagai perkembangan yang mungkin akan terjadi di kemudian hari yang akan menjadi ancaman terhadap bangsa Indonesia.
Intelijen harus tetap berpedoman pada konstitusi negara. Intelijen bekerja tidak hanya untuk kepentingan pemerintah yang berkuasa, tetapi lebih terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana ancaman ke depan makin kompleks dan rumit. Dengan munculnya ancaman-ancaman cyberspace, cyber war, cyber spionase, information at your fingertips, information superhighway, era digital society. maka intelijen harus bekerja dengan paradigma baru, yaitu mengedepankan pendekatan ilmiah,dan profesionalitas.
Intelijen akan selalu mewarnai kehidupan sosial politik, ekonomi, budaya serta pertahanan keamanan suatu negara, tak terkecuali Indonesia yang selalu mengalami pasang surut. Betapa sulitnya Presiden menentukan kebijakan tanpa dukungan informasi intelijen yang akurat. Setiap kebijakan pemerintah akan mengandung risiko dan dampak bagi masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri. Sesuatu yang tentu saja harus dilakukan dengan perhitungan yang matang dan terukur.
Penulis sempat melakukan kerjasama dengan BIN, kemudian melakukan kordinasi bersama BNPT dan Pejabat Kabinda di beberapa daerah, serta pejabat kontra teror dari BIN. Dalam program dari Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT untuk meningkatkan kemampuan aparat intelijen di daerah dalam menangani terorisme, semua unsur terjalin dan tertata dengan rapih baik unsur TNI, Polri serta pejabat sipil terkait lainnya.
Seiring dengan perkembangan lingkungan strategis, bila dinilai dari sembilan komponen intelijen strategis, ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional tidak lagi bersifat tradisional, tetapi lebih banyak diwarnai ancaman nontradisional. Hakekat ancaman telah mengalami pergeseran makna, bukan hanya meliputi ancaman internal dan/atau ancaman dari luar yang simetris (konvensional) melainkan juga asimetris (nonkonvensional) yang bersifat global dan sulit dikenali serta dikategorikan sebagai ancaman dari luar atau dari dalam. Inilah tantangan berat kedepan bagi pemangku Kabin.
Dalam hal ini, Badan Intelijen Negara bertugas memberikan input kepada pimpinan nasional (presiden), berupa analisis intelijen strategis serta hasil intelijen taktis. Intelstrat yang dimaksud adalah analisis menyangkut sembilan komponen yaitu Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan, Biografi, Demografi serta Sejarah. Pendidikan intelstrat merupakan kewajiban para perwira intelijen TNI dan kemudian dikembangkan dalam kurikulum Sekolah Intelijen BIN. Oleh karena itu maka BIN dituntut memberikan analisis intelstrat kepada Kepala Negara.
Pemimpin BIN jelas harus memenuhi kriteria essensial seperti kredibilitas, kompetensi, kejujuran, bersih tidak bermasalah dan setia. Intelijen mensyaratkan kesetiaan tunggal karena prinsip single client hanya kepada user. Kepala BIN mempunyai tugas memimpin BIN dalam melaksanakan tugas dan fungsi BIN, bertanggung jawab kepada presiden. Disamping itu Kepala BIN harus mampu mengordinasikan informasi intelijen dengan berkordinasi cepat dan tepat dengan komunitas intelijen lainnya yang ada.
Tercatat sejak era reformasi, jabatan Kepala BIN selalu diduduki oleh purnawirawan TNI AD hanya sekali dijabat oleh mantan perwira tinggi Polri. Kabin Era Reformasi ; Letjen (Pur) ZA Maulani (1998-1999), Mayjen (Pur) Arie J Kumaat (1999-2001), Jenderal AM Hendropriyono (2001-2004), Mayjen (pur) Syamsir Siregar (2004-2009), Jenderal Pol (Pur) Soetanto (2009-2011), Letjen (Pur) Marciano Norman (2011-sekarang).
Sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi, telah muncul beberapa nama sebagai calon Kepala BIN. Bahkan disebut nama Letjen Pur Sutiyoso, Jenderal Purn Fachrul Rozy, Mantan Wakabin As'ad Ali. Penulis pernah menyarankan nama Marsdya Pur Ian Santoso (Mantan Kabais TNI) sebagai salah satu calon. Nampaknya Presiden Jokowi kini akan menyelesaikan dahulu pergantian Kapolri yang butuh enersi khusus diskusi konflik dengan KPK, baru kemudian akan melakukan penggantian Kepala BIN.
Nah, penulis mendapat informasi bahwa kini muncul nama baru sebagai calon Kepala BIN yaitu Komjen Pol Djoko Mukti Haryono, yang sejak 3 Oktober 2014 menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri (Kabaintelkam Polri) menggantikan Komjen Pol. Suparni Parto yang memasuki masa pensiun. Djoko, adalah alumnus Akabri 1981, dilahirkan 17 April 1958 di Malang.
Djoko adalah perwira tinggi yang mempunyai sejarah panjang sebagai perwira intelijen Polri. Diantaranya jabatan yang disandangnya adalah, Dir Intelkam Polda Kalsel, Dir Intelkam Polda Sulselbar, Dir Intelkam Polda Jabar (2008), Wakil Direktur B/Ekonomi Baintelkam Polri (2010), Analis Kebijakan Utama Bidang Kamneg Baintelkam Polri (2010), Kapolda Kalteng (2013), Wakabaintelkam Polri (2013) dan terakhir Kabaintelkam Polri (2014).
Melihat sejarah para pejabat Kepala BIN, nampaknya perwira tinggi TNI mayoritas yang pernah menduduki posisi penting tersebut. Belum lagi apabila dilihat jauh kebelakang, terdapat nama-nama seperti Jenderal Pur Sutopo Yuwono, Jenderal Pur Yoga Sugama, Jenderal Pur Benny Moerdani, yang adalah tokoh-tokoh besar intelijen strategis yang menguasai sarang di Pejaten itu.
Kini dengan munculnya nama Komjen Djoko Mukti Haryono sebagai salah satu calon kuat ke Pejaten, bagaimana perkiraan kedepannya?. Memang Djoko adalah perwira polisi yang merupakan penegak hukum tetapi erat dan berpengalaman dalam penugasan di bidang intelijen. Mencermati cara berfikir dan bertindak polisi lebih mendasar apabila sebuah kasus atau peristiwa sudah terjadi. Titik beratnya lebih kepada penyelesaian taktis, berupa tindakan hukum. Law enforcement lebih diutamakan, sebagai penegak hukum prinsip ini tidak bisa dilanggar. Berangkat dari TKP kemudian meluaskan penyelidikan dan penyidikan keluar, kearah nasional, regional dan baru internasional. Sementara dilain sisi cara berfikir intelijen strategis melakukan penilaian dari lingkup internasional, melingkar kedalam kearah regional, nasional dan terakhir menuju ke TKP. Disinilah perbedaan prinsipnya.
Apakah ada hambatan yang akan ditemui apabila seorang perwira polisi menjadi Kepala BIN? Bisa ada dan bisa tidak. Apabila dalam dirinya sudah terpateri bahwa penindakan baru bisa dilakukan apabila sudah kejadian, maka disitulah akan muncul hambatan. Apabila BIN hanya melakukan fungsi penyelidikan (lid) dan pengamanan (pam), konflik dalam penugasan tidak akan muncul. Tetapi apabila BIN juga melakukan fungsi penggalangan (conditioning), maka apabila tidak dilakukan dengan penuh kesadaran penugasan fungsi, akan timbul konflik bathiniah pastinya. Intelijen strategis cara berfikirnya lebih kepada tindakan preventif, sebelum kejadian maka dia harus mampu memberikan saran tindak kepada end user agar masalah tidak muncul dan menjadi bahaya bagi bangsa dan negara. Dalam langkah counter intteligence, perang bawah tanah yang senyap bisa terjadi setiap saat. Inilah sesuatu yang mesti dipikirkan demi suksesnya mission imposible.
Persoalan internal jelas tidak akan muncul apabila pejabat Kepala BIN mampu melakukan kordinasi erat dan "momong" pejabat serta bawahan serta bebarapa pihak terkait. Disitu banyak bertugas para anggota TNI dan purnawirawan yang sudah lama dan cukup makan garam soal intelijen. Walaupun terdapat juga beberapa perwira polri diantaranya.
Penulis dalam hal ini masih mempercayai bahwa siapapun yang terpilih dan duduk sebagai Kepala BIN adalah pejabat yang sudah melalui tahapan penelitian dan penilaian dari para pejabat terkait dan inner circle presiden. Penulis percaya sebagai sesama komunitas intelijen, Djoko Mukti yang alumnus Akabri 1981 bisa menyesuaikan diri dengan suasana Pejaten apabila dia memang terpilih, dia cukup lama sebagai orang intel. Rumus orang intelijen sederhana tetapi mengikat, yaitu kesetiaan dan kecepatan menyalurkan informasi. Kemampuan bergaulnya haruslah tinggi.
Bagi penulis pribadi, siapapun yang diangkat tidak menjadi masalah, karena presiden mempunyai hak prerogatif menentukan beberapa posisi kunci. Dalam hal ini penulis hanya mengamati masalah intelijen, dan memberikan masukan yang mungkin bermanfaat. Yang perlu dipikirkan oleh presiden hanyalah kemungkinan munculnya rasa tidak nyaman beberapa fihak. Ini yang perlu diwaspadai. Jangan sampai apa yang telah diputuskan oleh presiden terpaksa harus dirubah lagi hanya dalam waktu yang relatif tidak lama seperti kasus pencalonan BG sebagai Kapolri.
Kerugian hanya akan didapat oleh Presiden Jokowi yang akan dinilai banyak pihak sebagai pimpinan ragu-ragu dan bisa berubah pikiran, tidak tegas dan terkait dengan kemampuan karena mempunyai ketergantungan dengan banyak pihak. Kesimpulannya, yang perlu dijaga adalah keseimbangan. Itu saja. Semoga masukan ini ada manfaatnya.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net
Artikel Terkait :
-Saran Untuk Presiden Jokowi ; Purn AD Menhan, AL Menko Polhukam, AU Diberi Porsi Kabin?, http://ramalanintelijen.net/?p=9339
-Bentrok Anggota TNI-Polri Bukan Hanya Didamaikan Tapi Dicari Akar Masalahnya, http://ramalanintelijen.net/?p=9293
-Presiden Jokowi Perlu Diselamatkan, http://ramalanintelijen.net/?p=9510
-Konspirasi Untuk Menjatuhkan Jokowi, http://ramalanintelijen.net/?p=9496
-Jokowi Seperti SBY Digiring ke Killing Ground, http://ramalanintelijen.net/?p=9452
-Komjen Budi Gunawan Calon Terkuat Sebagai Kapolri, http://ramalanintelijen.net/?p=9345