Waspadai Kemungkinan Langkah Ekstrem Australia Terkait Eksekusi Mati
19 February 2015 | 11:36 am | Dilihat : 6618
PM Australia Tony Abbott (Foto : news.com.au)
Media di Indonesia kini diramaikan dengan dua berita yaitu konflik Polri versus KPK dan rencana eksekusi mati terpidana kasus narkoba warga negara Australia. Persoalan konflik di tataran nasional kini telah diredakan oleh Presiden Jokowi dengan membatalkan pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri dan mengajukan Komjen Badrodin Haiti sebagai calon baru. Presiden juga mengeluarkan Keppres memberhentikan sementara Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua Bambang Widjojanto, serta mengeluarkan Perppu menunjuk tiga orang sebagai Plt KPK.
Walau kemelut ini belum selesai tetapi paling tidak getaran berupa ancaman terhadap stabilitas keamanan telah mereda. Kesimpulannya masalah nasional lebih mudah diredakan dengan keputusan yang bijak dan dikomunikasikan dengan baik.
Kini menurut penulis, ada hal penting lain yang harus diperhatikan oleh presiden serta unsur polisi dan militer Indonesia (TNI). Penulis mengamati dan mempelajari keberatan pemerintah Australia dengan rencana eksekusi mati dua tokoh pedagang narkoba yang dikenal kelompok Bali Nine. Dua terpidana mati WN Australia telah ditolak grasinya oleh Presiden Jokowi.
Bahaya yang penulis amati dari sudut pandang intelijen demikian serius dan sebaiknya harus dicermati serta dilakukan penilaian dan penyelidikan intelijen agar Indonesia tidak kecolongan atas kemungkinan tindak ekstrem dari Australia. Penulis mencoba mengurai kasus keberatan Australia dengan beberapa fakta serta analisis berikut dibawah ini.
Kelompok ini disebut Bali Nine karena terdiri dari sembilan orang penyelundup narkotika yang ditangkap pada 17 April 2005 di Bali dalam usaha menyelundupkan heroin seberat 8,2 kg dari Indonesia ke Australia. Anggota Bali Nine asal Australia tersebut adalah Scott Anthony Rush, Myuran Sukumaran, Andrew Chan, Renae Lawrence, Tan Duc Tanh Nguyen, Si Yi Chen, dan Mathew James Norman, Michael William Czugaj, dan Martin Eric Stephen.
Setelah melalui pengadilan panjang, kini yang menjadi berita besar, dua orang diputuskan akan segera dieksekusi tembak mati. Keduanya adalah Andrew Chan, disebut sebagai God Father dan Myuran Sukumaran. Pada tanggal 10 Desember 2014 Presiden Jokowi menyatakan dalam pidatonya bahwa ia tidak akan menyetujui setiap pemintaan keringanan karena pelanggaran narkoba. Tanggal 30 Desember 2014, permohonan Sukumaran untuk grasi ditolak, sementara permohonan grasi dari Chan ditolak pada tanggal 22 Januari 2015. Kedua terpidana itu kini ditahan di lapas Kerobokan Bali. Menurut informasi keduanya akan dipindahkan ke Nusakambangan.
Posisi Politik dan Sikap PM Australia Tony Abbott
Pada bulan Januari 2015, PM Australia Tony Abbott serta Menlu Julie Bishop meminta kepada Presiden Jokowi untuk meninjau penolakan grasi kedua WN Australia tersebut. Pemerintah Indonesia bergeming dan menolak permohonan tersebut. Selain Australia, Sekjen PBB , Ban Ki-moon juga mendesak pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Jokowi, untuk menghentikan hukuman mati. Desakan dari Ban Ki-moon itu disampaikan oleh Juru Bicara PBB Stephane Dujarric.
Jaksa Agung Prasetyo menegaskan bahwa Indonesia tetap akan melanjutkan eksekusi. "Tidak akan dibatalkan," kata Prasetyo, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (16/2/2015). Tim eksekutor dikatakannya sudah siap, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk pelaksanaan.
PM Tony Abbott menyatakan bahwa Australia akan menempuh semua opsi hukum untuk menyelamatkan dua warga negaranya dari eksekusi mati di Indonesia. Demikian janji Perdana Menteri Australia Tony Abbott, Senin (16/2/2015). "Saya tidak ingin memberikan harapan palsu, tetapi saya ingin semua orang paham, kami sedang mengupayakan setiap celah untuk membantu orang-orang itu," kata Abbott.
Selanjutnya Abbott mengatakan akan melakukan balasan diplomatik yang setimpal jika Indonesia mengeksekusi warganya. Ia mengatakan bahwa warga negara Australia sudah muak dengan langkah Indonesia tersebut. Warga negara Australia bahkan membuat petisi yang meminta Indonesia mengampuni Chan dan Sukumaran. Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop bahkan mengancam memboikot Indonesia, termasuk melarang warganya berkunjung ke Pulau Bali.
Mengapa pemerintah Australia demikian gencar mengupayakan agar kedua warganya lepas dari regu tembak? Nampaknya ini dapat dikatakan lebih dilatar belakangi dengan posisi politik dari PM Abbott yang kurang baik beberapa waktu terakhir. Tony Abbott yang baru 17 bulan menjadi perdana menteri itu terancam di impeach. Pada awal Februari sebagian dari warga Australia, menganggap Abbott gagal dalam meningkatkan perekonomian Australia, disamping kebijakannya dibidang perpajakan yang dinilai tidak sejalan dengan harapan warga Australia.
Dia lolos dari vonis,”mosi tidak percaya”, dan tetap bertahan dalam posisinya sebagai PM Australia setelah selamat dari upaya voting di internal Partai Liberal, yang dilakukan hari Senin (9/2/2015) pagi di Canberra. Dalam voting yang dihadiri 101 dari 102 anggota Partai Liberal yang memiliki hak suara, 61 menyatakan menolak mosi dan 39 menyatakan menerimanya. Satu suara diberikan secara informal dan 1 anggota tidak hadir karena sedang cuti. Walau selamat, tetapi karir politiknya dinilai cedera (Tjiptadinata, Kompasiana).
Nah menurut penulis, disinilah kesempatan Abbott untuk mengembalikan kepercayaan warga Australia dalam memperjuangkan jiwa warganya yang akan dieksekusi mati di Indonesia, tetangga dekatnya. Oleh karena itu kini terlihat dia berusaha mati-matian akan menyelamatkan Chan dan Sukumaran. Ini sebuah pertaruhan nama serta karir politik Abbott pastinya.
Lobi politik Australia jelas sangat kuat, karena kini Sekjen PBB juga sudah ikut meminta agar hukuman mati itu dibatalkan, kita faham bahwa apa kata PBB itu juga kata AS. Selain itu pemerintah sebaiknya waspada, pada pemerintahan SBY, Australia adalah negara penyadap presiden SBY dan beberapa pejabat pemerintah. Hasilnya disetorkan ke AS. Australia tergabung dalam jaringan intelijen lima negara (five eyes) dengan AS, Inggris, Canada dan New Zealand.
Artinya, kini semua pembicaraan baik Presiden Jokowi serta beberapa pejabat terkait penulis perkirakan sudah disadap oleh intelijen Australia. Yang penulis khawatirkan, pemerintah (baca : Jokowi) kini lebih sibuk dengan urusan BG, Badrodin, konflik Polri-KPK, ancaman DPR, Kompolnas, tekanan elit PDIP dan pernik politik yang ringan tapi dibuat kusut oleh berbagai pihak. Pemerintah terlalu menganggap ringan ancaman Australia, negara yang pernah memonitor hingga bumbu dapur dan masakan dirumah Ibu Negara Ani Yudhoyono. Dengan menyadap, mereka akan menguasai kekuatan, kemampuan dan kerawanan si target.
Penulis agak mencurigai, bahwa Australia bisa saja melakukan langkah ekstrem untuk menyelamatkan kedua warganya tersebut. Australia selama ini merasa sebagai negara besar, kuat, Deputy AS dikawasan Asia. Penulis saat bertugas mendampingi Menhan Matori Abdul Djalil (Alm) sebagai penasihat intelijen pernah diminta membuat analisis apa resiko apabila Menhan akan membuat pernyataan bahwa bom Bali-1 (oktober 2002) sebagai serangan Al-Qaeda dengan Jamaah Islamiyah. Ternyata dibalik itu semua, Australia serta AS yang marah karena banyak warganya yang tewas, bisa melakukan langkah preemtive strike ke Indonesia.
Mereka mempunyai konsep mengejar terorisme hingga jauh ke garis belakang sebuah negara, apabila sebuah negara menjadi ancaman keamanan nasionalnya. Ini berarti mereka selalu menyiapkan kemampuan melakukan intervensi baik dalam skala terbatas maupun besar ke sebuah negara. Operasi bisa dilakukan mandiri ataupun berupa gabungan. Dikawasan Asean, Australia masih tergabung dalam pakta pertahanan FPDA (Five Power Defence Arrangements) disamping pakta ANZUS (kini antara Australia dan AS). Dengan demikian maka Indonesia dikelilingi tetangga yang tergabung dalam pakta pertahanan.
Australia sudah sejak lama selalu aktif mendukung AS dalam pelbagai operasi militer di pelbagai belahan dunia, seperti serangan ke Afghanistan dan Irak misalnya. Demikian juga kini dalam operasi serangan udara terhadap ISIS di Irak dan Syria Australia mengirimkan pesawat tempur Hornet. Pasukan khususnya sangat berpengalaman terlatih bertempur di negara lain.
Nah, dengan sense of intelligence yang dimiliki (cara berfikir intelijen adalah kondisi terburuk agar kita tidak terkena unsur pendadakan), apakah bukan tidak mungkin pemerintah Australia akan melakukan langkah ekstrem menyelamatkan Chan dan Sukumaran?. Dimasa lalu, saat operasi Timor Timur, intelijen militer Australia diketahui juga melakukan infiltrasi dalam mendukung Fretilin. Ini disebabkan karena masih ada wilayah Indonesia yang belum ter-cover radar di wilayah Timur. Tetapi kini dapat dikatakan semua wilayah sudah dapat dimonitor radar Kohanudnas dan sipil.
Pertanyaannya, bagaimana kalau pasukan khusus Australia melakukan upaya penculikan dan membawa lari kedua tersangka tersebut? Dari pengalaman pengamanan lapas, nampak sistem keamanannya sangat lemah apabila dilakukan ambush oleh anggota militer terlatih. Peristiwa Cebongan menunjukkan bahwa keamanan lapas sangat mudah ditembus hanya dengan sebuah team terdiri dari beberapa orang terlatih yang hanya dipersenjatai dengan sebuah AK-47. Mision acomplish.
Australian S.A.S.R di Phuoc Tuy Vietnam 1967 (foto:cachesspel2.rssing.com)
Apakah mereka mampu menyerang? Kemampuan SAS (Pasukan Khusus Australia) yang diantaranya dikenal sebagai The Special Air Service Regiment adalah pasukan khusus yang sangat terlatih. Belum lagi apabila mereka didukung oleh teknologi intelijen Australia dan juga AS (NSA dan CIA). Mereka bisa melakukan raid baik dengan serangan dukungan laut, atau bisa juga serangan udara mirip "raid on Entebbe" saat pasukan khusus Israel membebaskan sandera warga Israel di lapangan terbang Entebbe Uganda. Misi juga sukses.
Dalam operasi lintas negara, yang menonjol adalah saat penyergapan Osama bin Laden pemimpin Al-Qaeda yang bersembunyi di negara Pakistan (Abottabat), dimana penyerang hanya terdiri dari empat helikopter dan didukung beberapa pesawat tempur serta monitoring satelit. Pemerintah Pakistan yang tidak mengira negaranya akan diinfiltrasi, ternyata kebobolan. Pertahanan udara Pakistan, intelijen militernya serta pesawat tempurnya dikenal cukup canggih, tetapi toh mereka kecolongan karena mereka tidak siap dan tidak memperkirakannya. Misi senyap pasukan khusus anti teror US Navy, Navy Seals X-Team (DEVGRU) sukses tanpa korban. Kerugian hanya satu heli rusak.
Nah, apakah Australia berani dan akan nekat menculik warganya dari Indonesia? Ini sebuah pekerjaan rumah Polri dan TNI, karena menurut penulis yang dipertaruhkan adalah harkat, martabat dan kedaulatan Indonesia. Sebaiknya kita siap dan memperkuat pengamanan kedua napi tersebut. Yang terpenting kerahasiaan informasi harus dijaga, dimana kini semua dibuka di media. Lihat saja penjara Kerobokan terbuka bagi keluarga dan insan pers, bukan tidak mungkin ada unsur intelijen yang menyusup dan membuat pemetaan.
Saran penulis, penjara Kerobokan jangan hanya dijaga oleh sipir penjara dan polisi saja, tempatkan pasukan khusus (Gultor Kopassus, Denjaka Marinir, Den Bravo Paskhasau serta Densus) untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk. Demikian juga radar Kohanudnas, pesawat tempur serta kapal perang perlu disiapkan disekitar daerah dimana kedua napi berada. Termasuk apabila kedua napi itu digeser ke lokasi lainnya. Sebaiknya mulai dilakukan kini hingga eksekusi selesai.
Pertimbangan penulis, apabila tidak di antisipasi sejak awal dan pasukan khusus Australia mampu membawa lari Chan dan Sukumaran ke Australia, apakah kita akan perang dengan Australia? Kalau terjadi, apa keputusan pemerintah? Memutuskan persoalan BG saja dibutuhkan waktu yang cukup lama. Ini dimonitor juga oleh Australia pastinya.
Keberanian pimpinan nasional menjadi ukuran langkah tindakan berani mereka kedepan. Karena itu pemikiran the worst condition harus dimulai dari Presiden, Menhan, Panglima TNI, BIN, Bais TNI, agar kita tidak dipermalukan. Kunci keputusan terakhir ada pada intelijen, seberapa jauh dapat memonitor apa yang akan dikerjakan oleh pihak Australia. Selain info intelijen kekuatan, kemampuan dan kerawanan, intelijen perlu tahu apa "niat" mereka. Yang penting, jangan kita dipermalukan di negara kita sendiri.
Langkah Antisipasi
Keributan serta kesibukan Australia menurut penulis adalah sesuatu yang biasa dan wajar, karena itulah yang harus dikerjakan PM Abbott. Kepentingan dirinya dalam kondisi menurunnya karir politiknya digabungkannya kedalam kepentingan nasional Australia.
Penulis sempat bertanya kepada salah satu pejabat di BKPM apa kerugian Indonesia apabila Australia melakukan embargo ekonomi misalnya. Dari informasinya, masalah utama adalah kita akan kekurangan suplai daging sapi. Sementara perdagangan lainnya tidak terlalu besar dan mengganggu. Demikian juga, walaupun warga Australia diimbau melakukan boikot ke Bali, nampaknya tidak akan "mempan" karena Bali rumah kedua warganya yang ingin berlibur.
Nah, berbicara langkah antisipasi, persoalannya adalah komunikasi atau diplomasi politik belum tertata dengan rapih. Disinilah peran para diplomat kita untuk meyakinkan negara akreditasi dimana mereka ditugaskan. Perlu menjelaskan bahwa Indonesia seperti dikatakan Presiden Jokowi sudah darurat narkoba, karena itu sudah tiada maaf bandar besar akan dihukum mati. Perdagangan, produksi dan konsumsi narkoba sudah demikian besar dan mengakar di Indonesia. Kita tidak akan mau mengorbankan bangsa dan negara hanya untuk menyelamatkan dua bandar narkoba. Ketegasan Indonesia karena kita tidak ingin mafia narkoba serta jaringannya menguasai harkat hidup rakyat banyak.
Jadi langkah antisipasi preventif jauh hari sebelum pelaksanaan eksekusi menjadi tanggung jawab para diplomat kita. Dilain sisi, unsur pertahanan dan keamanan sebaiknya menyiagakan kekuatannya untuk menghidari raid pendadakan. Intelijen sebaiknya terus memonitor apa langkah yang akan dilakukan Australia serta sekutunya. Apa resiko yang akan didapat Indonesia dalam kondisi yang berlaku. Tentang sudut pandang analisis, apabila tidak terjadi, paling tidak kita sudah terus bersiaga menghadapi kondisi terburuk. Dan apabila kita siap siaga, Australia akan berfikir ulang apabila di benaknya terfikir akan melakukan langkah penyelamatan ekstrem. Semoga saja tidak. (Tetapi pikiran ini menyatakan "who knows?").
Australia terlatih melakukan intervensi ke negara lain. Kinipun tanpa ijin pemerintah Syria, mereka juga bergabung dengan AS melakukan penggempuran udara di negara tersebut. Penulis mengingatkan bahwa resiko kerugian besar bisa terjadi apabila Abbott nekat mau mencoba semacam operasi Geronimo di sini. Jangan pandang enteng Indonesia, jangan sepelekan Indonesia. Yang penting mari sepakat kita berantas Narkoba. Kalau ada warga Indonesia tertangkap di Australia terkait narkoba, kita ikhlas-ikhlas saja, kita wakafkan mereka, hukum saja yang berat.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net
Artikel Terkait :
-Ratu Mariyuana Corby Kurir Sindikat akan Dibayar Mahal, http://ramalanintelijen.net/?p=8059
-Antara Kontroversi si Ratu Marijuana Corby dan Kebutuhan Diplomasi, http://ramalanintelijen.net/?p=5425
-Banyak Wanita Indonesia Divonis Mati di LN Akibat Narkoba, http://ramalanintelijen.net/?p=4705
-Australia makin Gundah dengan Modernisasi Alutsista TNI AU,http://ramalanintelijen.net/?p=6833
-Australia Mengirimkan SAS Dan F/A-18 Super Hornet Dalam Operasi Gabungan Bersama AS di Irak, http://ramalanintelijen.net/?p=9089
-Ibu Ani Yudhoyono,Target Operasi Utama Intelijen Australia, http://ramalanintelijen.net/?p=7835
-Apa Target Spionase Kedubes Australia di Jakarta?, http://ramalanintelijen.net/?p=7640