Presiden Jokowi Perlu Diselamatkan

16 February 2015 | 7:35 am | Dilihat : 1118

jokowi merdeka

Presiden Jokowi dan Teriakan  Merdeka Saat Pelantikan (Foto : tempo.co)

Konflik Polri ( terkait BG) dengan KPK  kini coba diselesaikan pada koridor hukum, walau koridor politik terus membayanginya. Koridor politik dan sosial budaya penulis perkirakan  akan bergerak aktif bak puting beliung bila sudah sampai pada saatnya. Yang menarik perhatian penulis, kini muncul koridor terkait  keamanan, berupa aksi teror ke tubuh atau pegawai KPK.

Presiden Jokowi beberapa kali  sebagai Kepala Negara menyatakan  ia sudah membuat kalkulasi berkembangnya situasi yang kurang kondusif pada akhir-akhir ini sebelum mengambil keputusan. Presiden menyatakan bahwa Polri dan KPK perlu diselamatkan. Apakah demikian dan hanya itu ? Justru penulis kini melihat, Presiden Jokowi yang perlu kita selamatkan.

Terganjalnya  Komjen Pol Budi Gunawan yang dia ajukan ke DPR untuk uji kelayakan karena ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, kini justru menjadi pemicu yang potensinya sangat besar  menjadi penyebab terjadinya  benturan, selain politik dan hukum, dan bahkan bisa mengganggu stabilitas keamanan. Kita jangan menyederhanakan masalah, karena pemberantasan korupsi sudah menjadi salah satu bagian jiwa rakyat, terkondisikan selama sepuluh tahun pada pemerintahan SBY. Jokowi menang dan menjadi presiden karena dinilai bagian dari rakyat yang butuh pemimpin yang jujur.

Dari penilaian intelijen, ada yang sangat perlu kita waspadai bersama,  kasus tersebut kini menyentuh titik rawan presiden sebagai simbol Negara. Mengapa Presiden Jokowi demikian lama belum juga memutuskan  akan melantik tidaknya BG sebagai Kapolri. Menggantungnya keputusan memberikan peluang pengondisian yang semakin kuat. Terlihat adanya perdebatan sengit terjadi di sidang praperadilan Jakarta Selatan, yang hari Senin ini  akan diputuskan oleh hakim. Para ahli hukum berdebat dengan dalil-dalil yang sahih, menyangkut hak prerogatif presiden, kemungkinan pelanggaran konstitusi, sumpah jabatan dan segala pernik hukum yang menakutkan, tetapi juga menunjukkan, penerapan hukum kita itu ada celah kelemahannya.

Dengan menggunakan beberapa komponen intelstrat, khususnya komponen sejarah, demografi, sosial budaya, politik, keamanan,  bangsa Indonesia kembali harus belajar mengenal dan bahkan menjaga pemimpinnya yang baru menjadi pemimpin seratus hari lebih, dimana  karakter, sifat, budaya dan juga ukuran norma-normanya berbeda dengan para pendahulunya.

Dalam kasus BG, Presiden Jokowi yang keturunan suku Jawa, kini menerapkan sikap “tepo seliro”, yaitu menenggang perasaan orang lain. Pemahaman sikap sebagai orang Jawa ini pada umumnya  diterjemahkannya sebagai  dasar untuk dapat bertindak adil. Pada umumnya orang Jawa berpendapat seseorang itu  dapat bersikap adil kalau bisa memahami perasaan orang lain. Lebih dari itu, tepo seliro juga akan menciptakan sikap yang pantas, wajar, tidak neko- neko (macam-macam). Kalau ia seorang pemimpin, inilah awal sikap yang aspiratif, dan kemudian dia akan memperjuangkan aspirasi orang yang dipimpinnya (Pelita).

Sikap seperti itu, barangkali yang mendasari pemikiran Jokowi  dalam menyikapi konflik Polri-KPK. Presiden menghargai dan mempercayai usulan Kompolnas yang diketuai oleh Menko Polhukam tentang usulan calon Kapolri, yang kemudian memilih dan mengajukan Budi Gunawan ke DPR, juga setelah mendapat informasi bahwa BG tidak ada masalah dari Polhukkam dan Polri.

Banyak pihak yang ‘gemas’ kepada Jokowi, karena dinilai sangat lamban dalam memutuskan nasib BG. Pertemuan, masukan serta diskusi sudah dilakukannya dengan banyak pihak, para sesepuh, tokoh-tokoh dan ahli-ahli hukum. Tetapi belum juga muncul keputusannya. Sidang praperadilan adalah kunci baginya dalam mengambil keputusan. Sidang itu difahaminya sebuah  upaya mencari keadilan bagi Budi Gunawan.

Disini terlihat Jokowi terus menjaga (menenggang rasa) banyak pihak. Bisa disebutkan perasaan dari  BG, Ibu Mega, Polri, beberapa elit PDIP, partai koalisi KIH, tokoh-tokoh pendukungnya saat pilpres,  para anggota Dewan Pertimbangan Presiden, dan banyak lagi yang lainnya. Presiden dengan tepo selironya hanya ingin menunjukkan pemimpin yang adil dalam memutuskan masalah yang mudah tetapi ribet tersebut. Biar lambat asal selamat, kira-kira begitulah.

Pemikiran  Intelijen

Penulis mencoba mengukur situasi dan kondisi yang berlaku dari sudut pandang intelijen dan mencoba memberi masukan yang mungkin bermanfaat bagi Pak Presiden. Kita menyadari bahwa Jokowi tidak bisa lepas dengan sikap tepo seliro yang memang sudah mendarah daging. Sebagai pemimpin nasional, Jokowi ingin memajukan, mensejahterakan bangsa ini, dan bertindak adil. Menghadapi masyarakatnya dia selalu berusaha adil tidak berat sebelah.

Dilain sisi, dalam menghadapi ancaman terhadap bangsanya dia tidak berkompromi, dengan berani dia memerintahkan menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan (illegal), dia juga menolak pemberian grasi atas hukuman mati terpidana narkoba. Keras dan tegas itulah sikap yang ditunjukkannya, tanpa banyak bak-bik-buk. Menurut penulis, resiko internasional dampaknya akan jauh lebih besar dibandingkan dengan kasus BG, tetapi resiko itu ditempuhnya dengan gagah berani. Disini memang banyak pihak yang lebih faham dan berkepentingan dalam pertentangan Polri-KPK dibandingkan dengan ATHG soal eksekusi mati Bandar Narkoba asing asal Australia misalnya.

Nah, dengan intelijen yang sebaiknya dilakukan adalah langkah dari fungsi intelijen yaitu penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Penyelidikan menyangkut, kedalaman informasi atas kasus calon Kapolri ini. Seberapa jauh pengaruh perseteruan Polri vs KPK, seberapa jauh keterlibatan PDIP dalam kemelut, serta dimana posisi Ibu Ketua Umumnya. Presiden harus mendapatkan fakta dan analisis intelijen, bukan hanya sekedar masukan indikasi atau informasi mentah belaka.

Berdirinya Jokowi sebagai presiden, karena dia sudah resmi dilantik sebagai presiden, sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan. “Power” sudah ada di gegamannya, hanya terserah bagaimana dia menggunakan dan memainkan power demi kesinambungan kepemimpinannya. Dalam kasus BG, apakah Jokowi didukung penuh PDIP? Mengapa ada elit PDIP yang berbicara di publik justru sepertinya menyulitkannya. Ini pokok utamanya, karena dia oleh elit PDIP disebut sebagai petugas partai. Ada juga yang mengupayakan kesan, memisahkan Jokowi dari PDIP, apabila PDIP tidak waspada, para elitnya bisa termakan info pembusukan yang terus ditiupkan.

Yang terpenting hasil penyelidikan harus mampu menyebutkan Siabidiba plus yang terpenting Me (Mengapa?). Nah, apabila hasil penyelidikan itu sudah menjadi fakta intelijen, maka intelijen memberikan langkah pengamanan yang harus diambilnya. Jangan disepelekan kebutuhan langkah pengamanan berupa counter, karena penulis melihat adanya aksi teror yang menyerang beberapa petugas KPK (Presiden memerintahkan pelaku teror supaya ditangkap). Aksi teror cenderung menginginkan hasil kerusakan secara psikologis. Walaupun eskalasi ancaman ke KPK baru berupa Pusprop (Perang Urat Syaraf dan Propaganda), yaitu upaya menakuti dan ancaman jiwa.

Sebuah saran intelijen dipastikan akan berangkat dari pemikiran the worst condition (kondisi terburuk). Dalam kasus kemelut BG yang terbaca kemudian  adanya  upaya pelemahan KPK.  Aksi clandestine (tertutup) semua menjurus agar para komisioner KPK dijadikan tersangka dan harus berhenti. Dalam intelijen, langkah ini dimasukkan sebagai langkah insurjensi.

Si perencana dan sponsor insurjensi dalam skala kecil (pelemahan KPK), mengondisikan agar citra KPK buruk, menyalahi hukum, mempunyai kepentingan selain pemberantasan korupsi. Metoda atau cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan aksi teror sebagai sarana intelijen penggalangan berupa pengaruh, propaganda, atau cara-cara lain agar masyarakat patuh dan mengikuti kemauannya. Kita lihat dan rasakan kini bahwa KPK mulai tidak disukai oleh beberapa kalangan bangsawan (mereka yang berduit dan para pemain), karena menilai pejabatnya sekelas LSM tetapi terus mengontrol kaum bangsawan itu. KPK dinilai sebagai institusi super, tidak ada yang mengontrol, ini yang dikembangkan.

Nah, dalam skala besar, insurgensi bisa diarahkan kepada Presiden Jokowi. Apakah Jokowi akan digulingkan? Kemungkinannya jelas selalu ada. Dalam aksi sebenarnya, insurgensi selalu mengunakan massa untuk melakukan revolusi kecil. Kasus BG ini  hanya dipakai sebagai momentum penurunan citra presiden.

Mereka pertama akan memperlemah kepemimpinan nasional, kemudian meyakinkan masyarakat bahwa insurgensi adalah kelompok/golongan terkuat dan pantas mengambil kekuasaan presiden. Mereka terus mempengaruhi masyarakat, bahwa bersama Jokowi tidak hanya merugikan tetapi akan menyengsarakan. Selanjutnya mereka akan menggalang aksi kekacauan agar system pemerintah tidak stabil. Bila kelompok insurgensi sudah kuat dan memperoleh dukungan masayarakat, maka Jokowi akan sulit mengatasi. Kekuatan pemerintah terkait dengan insurgensi akan dipengaruhi oleh factor politik, ekonomi, sosial, dan pertahanan serta keamanan negara.

Bagaimana kondisi kekuatan Presiden Jokowi? Secara politis dukungan terhadapnya masih cukup kuat. Jokowi masih bersandar kepada rakyat yang walaupun hanya 50 persen lebih (hasil pilpres 2014). Kepercayaan rakyat patut terus  dijaganya. Parpol PDIP nampaknya juga tidak terlalu solid mendukungnya, beberapa elit dengan bebas menyuarakan anti kebijakannya, bahkan cenderung melakukan tekanan dalam kasus BG.

Apakah partai Koalisi dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) terus solid dan setia sebagai pendukungnya?  Belum tentu juga, ini wilayah politik, dimana kepentingan serta oportunisme sangat kental dalam benak elit yang terlibat. Jokowi sebaiknya waspada, yang perlu diukurnya adalah upaya penurunan citranya dimata pendukungnya. Kekuatan atau benteng Jokowi adalah resminya posisi presiden yang dilindungi oleh konstitusi serta dukungan rakyat. Disini dia bisa digarap. Pengarapnya ya para insurgent itu. Dia akan dipisahkan, seperti ikan dengan air.

Nah, yang dilakukan oleh intelijen adalah pembalikan situasi, menjaga kepercayaan rakyat kepada Presiden Jokowi.  Mengukur kesuksesan insurgensi bisa dilihat dari seberapa besar upaya pelumpuhan terhadap KPK. Apabila komisionernya habis, Presiden harus mengeluarkan kepres pemberhentian serta mengeluarkan Perppu, itulah bukti bahwa insurgensi ke KPK selesai dan sukses. Dapat dikatakan itu merupakan awal bergesernya insurgensi kearah Jokowi.

Kasus BG sebenarnya  bukanlah kasus berat, banyak bintang tiga yang bisa ditunjuknya sebagai Kapolri, dengan hak prerogatifnya, Jokowi bisa mengatasi kemelut tersebut. Kasus KPK apabila benar semua komisionernya menjadi tersangka, maka sebagai penguasa, presiden bisa mengeluarkan Perppu. Nah, bahaya yang harus menjadi fokusnya adalah gelombang serangan terkait penurunan citra, kesalahan pengambilan keputusan, kekeliruan meng-counter isu atau rumors terkait dengan soal kejujuran dan dukungan anti korupsi. Citranya akan diturunkan sebagai tokoh yang tidak mampu mengambil keputusan, peragu, lambat, tidak jujur dan terakhir tidak pantas sebagai pimpinan nasional.

Apabila kondisi matang sudah tercapai, maka Jokowi bisa dilengserkan oleh DPR, terlebih apabila tiga parpol pendukung koalisi KIH merapat dan berkolaborasi dengan KMP bisa menjatuhkannya, dengan pelbagai cara. Seperti Gus Dur dimasa lalu, rakyat tidak akan marah apabila Jokowi diturunkan. Disinilah intelijen semestinya berperan, mengamankan bangsa dan Negara serta kepemimpinan lima tahunan. Sebagai penutup, pertanyaan penulis ; “ Jokowi itu lebih kuat atau lebih lemah dari Gus Dur?”

Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen www.ramalanintelijen.net

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.