Aparat Harus Waspada Peluang Terjadinya Konflik Yang Serius
10 July 2014 | 1:34 pm | Dilihat : 956
Pemilu Presiden sudah berlangsung kemarin 9 Juli 2014 dengan lancar aman dan damai. Sejak pukul 11.00, rakyat yang sudah memilih terus mengikuti berita di media elektronik yang dikenal sebagai pendukung dua kubu capres. Metro TV milik Surya Paloh yang partainya Nasdem anggota koalisi Merah, dikenal mendukung pasangan Jokowi-JK, sementara TV One milik ARB yang partainya Golkar, anggota koalisi merah putih mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Kedua stasiun TV tersebut menyiarkan langsung hasil quick count yang sudah agak dikenal oleh masyarakat, sebagai hitung cepat.
Sebelum masuk ke angka-angka, perlu disampaikan secara singkat tentang quick count sebagai alat hitung. Quick count atau hitung cepat hasil pemilu adalah sebuah metode verifikasi hasil pemilu yang dilakukan dengan menghitung prosentase hasil pemilu di TPS-TPS yang dijadikan sampel. Quick count menghitung hasil pemilu langsung dari TPS target, bukan berdasarkan persepsi atau pengakuan responden.
Tujuan dan manfaat dari quick count adalah agar pihak-pihak yang berkepentingan memiliki data pembanding yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kemungkinan kecurangan yang terjadi pada proses tabulasi suara. Dengan quick count, hasil pemilu dapat diketahui dengan cepat pada hari yang sama ketika pemilu diadakan (Cyrus). Mereka yang menyelenggarakan penghitungan cepat ini harus mengumumkan metodologinya. Dalam pilpres 2014 ini, yang perlu diingat, hasil quick count bukanlah hasil akhir, dimana secara resmi hasil akhir akan diumumkan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) pada tanggal 22 Juli 2014 setelah selesainya penghitungan dengan cara manual .
Setelah melihat hasil quick count di kedua stasiun televisi itu, rakyat kemudian menjadi heran dan bingung karena hasilnya sangat berbeda. Metro TV menyiarkan hasil quick count dari lembaga LSI, RRI, Litbang Kompas dan CSIS-Cyrus dimana ke-empatnya memenangkan pasangan Jokowi-JK. Sementara TV One menyiarkan hasil quick count dari lembaga LSN, IRC, Puskaptis dan JSI.
Inilah data yang kemarin penulis rekam dari Metro TV; LSI (Pasangan Prabowo-Hatta, 46,63 persen, Jokowi-JK, 53,37 persen). RRI (Prabowo-Hatta, 47,32 persen, Jokowi-JK 52,68 persen), Litbang Kompas (Prabowo-Hatta,47,7 persen, Jokowi-JK, 52,3 persen), CSIS-Cirrus (Prabowo-Hatta, 48 persen, Jokowi-JK 52 persen).
Rekaman dari TV One ; LSN (Prabowo-Hatta, 50,60 persen, Jokowi-JK, 49,40 persen), IRC (Prabowo-Hatta, 51,11 persen, Jokowi-JK, 48,89 persen), Puskaptis (Prabowo-Hatta, 52,06 persen, Jokowi-JK 47,94 persen), JSI (Prabowo-Hatta, 50,26 persen, Jokowi-JK 49,74 persen).
Dinamika politik dalam pilpres semakin menggelora, setelah kedua belah pihak menyampaikan bahwa dari hasil penghitungan quick count tadi jagonya yang menang. Ibu Megawati dengan terharu (sempat meneteskan air mata) mengumumkan bahwa pasangan Jokowi-JK menang dan akan menjadi presiden serta wakil presiden. Demikian juga capres Prabowo yang kemudian mengumumkan bahwa dirinya yang berpasangan dengan Hatta Rajasa mendapat mandat rakyat untuk memimpin Indonesia sebagai presiden dan wakil presiden.
Dengan pengumuman, deklarasi kemenangan, kemudian muncul euforia, para relawan, simpatisan bersorak sorai bergembira seakan-akan capres dukungannya sudah pasti akan dilantik. Nah, menurut penulis, ada sebuah bahaya yang tidak disadari oleh para pemimpin di negeri ini yang dibanggakan sebagai negara demokrasi terbesar di dunia setelah India dan AS. Pengetahuan berdemokrasi rakyat masih sangat kurang, memahami apa itu demokrasi saja tidak mengerti. Konflik sangat mudah disulut.
Kini, rakyat bawah, perasaan, emosi, keyakinan, semangat semua tercampur aduk. Belum apa-apa mereka sudah mulai berpesta, dan terus perlahan mereka akan menjadi makin militan. Mereka kini bangga karena pemimpin tertingginya menyatakan menang. Lantas apakah kita sudah berfikir dengan serius, apa ekses apabila nanti KPU mengumumkan Jokowi-JK kalah, atau apa ekses yang muncul apabila Prabowo-Hatta yang kalah? Dapat dipastikan pasti ada tuduhan kecurangan. Dalam memberi gambaran hasil quick count saja lembaga-lembaga itu sudah terbelah dua dan jelas memenangkan jagonya.
Penulis melihat Indonesia berada dalam kondisi agak berbahaya, kalaupun bisa disebut berbahaya. Pemimpin mungkin bisa mengatakan siap menang dan kalah. Tetapi grass root yang kini yakin dengan pegangan quick count menang jelas tidak siap apabila nanti diumumkan jagonya kalah. Para tokoh kedua belah pihak semakin meyakinkan, jago merekalah yang menang. Bisa saja kemudian ada yang mengamuk, belum lagi apabila ada yang menyiram bensin dan mengompori, maka jadilah kasus kompor meleduk. Masih ada saja mereka-mereka yang menginginkan Indonesia itu kisruh bahkan pecah. Indonesia yang kuat yang bersatu mereka pandang akan merugikan kepentingannya, kira-kira begitu.
Apabila terjadi kisruh, siapa yang bertanggung jawab? Jelas semuanya akan mengatakan bahwa itu adalah spontanitas simpatisan mereka yang marah karena kecurangan, kira-kira itu alasannya. Kalau yang pusing ya Presiden SBY pastinya. Sebagai contoh, pelaksanaan pemilu tahun 2009 berjalan aman, mendadak ada bom meledak di JW Marriott Jakarta yang dilakukan oleh teroris. Itu gangguan pemilu yang paling serius. Kalau aparat sampai salah menangani situasi dan kondisi keamanan maka tanggal 22 Juli mendatang bisa menjadi hari kelabu.
Potensi kemungkinan terjadinya konflik sebaiknya dihilangkan atau paling tidak diminimalisir. Konflik harus segera diselesaikan, karena apabila dibiarkan akan menciptakan mereka-mereka yang siap melakukan teror dan siap mati. Inilah bahaya yang penulis khawatirkan. Kunci dari semua ini adalah bagaimana KPU harus bekerja secara profesional, jujur dan terbuka, maksudnya hindari tindak kecurangan sekecil apapun.
Penulis percaya bahwa TNI dan Polri sudah sangat faham dalam menyusun Rencana Kontijensi serta Perkiraan Keadaan dan Rencana Operasi, yang kemungkinan akan dihadapi dan diatasi adalah rakyatnya sendiri yang bisa kalap sewaktu-waktu. Aparat memang harus berfikir the worst condition, maksudnya apabila benar hal itu terjadi, maka mereka tidak terkena unsur pendadakan. Penulis berdoa semoga tidak begitu adanya.
Penulis : Marsda (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, ww.ramalanintelijen.net