Elektabilitas Capres, Siapa Lebih Unggul?
16 June 2014 | 11:14 pm | Dilihat : 1418
Capres Jokowi dan Capres Prabowo (Foto : angpao888.com)
Waktu penentuan siapa yang akan terpilih menjadi pimpinan nasional bangsa Indonesia tersisa 22 hari lagi. Rangkaian menuju hari pemilihan yang akan diselenggarakan pada tanggal 9 Juli 2014 sudah memasuki acara debat antara pasangan capres/cawapres maupun masing-masing berdiri sendiri. Pertanyaannya, apakah debat berpengaruh terhadap elektabilitas? Menurut beberapa pengamat politik, debat ini juga bisa mempengaruhi undecided voters atau juga pemilih ragu-ragu.
Berdasarkan data KPU, total suara yang dinyatakan sah pada Pemilu 2014 berjumlah 124.972.491 jiwa. Menurut Ketua KPU Husni Kamil Manik pada hari Sabtu, 10 Mei 2014, "Angka partisipasi bisa mencapai 75,11 persen atau melebihi target yang telah ditetapkan, yaitu 75 persen," Ini berarti ada 24,89 persen pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya alias golput. Sementara total pemilih dalam Pemilu 2014 adalah 185.822.255. Angka golput lebih rendah dibandingkan dengan pemilu 2009, dimana jumlah golputnya sebanyak 49.677.07 7 (29,1 persen).
Hasil Survei Kedua Pasangan Capres/Cawapres
Dalam melihat posisi elektabilitas kedua pasang calon, maka dari segi keilmuwan, instrumen yang dipergunakan adalah hasil sebuah survei. Memang diakui bahwa survei elektabilitas hanya bisa diukur melalui sebuah survei. Persepsi publik itu pada akhir-akhir ini banyak diragukan karena pada pemilu legislatif 2014 pada umumnya banyak yang meleset hasilnya. Beberapa mencurigai survei adalah alat untuk menaikkan citra dan popularitas pasangan.
Beberapa pihak terutama elit serta pengamat politik kini meragukan keberadaan hasil survei. Bahkan mengatakan, hasil survei hari ini, bukan kenyataan esok hari. Yang lebih keras lagi bahkan mempertanyakan, "Lembaga Survei, Membela yang Bayar?"
Penulis tertarik kepada sebuah artikel yang ditulis oleh Adrian (21/3/2014) yang menyebutkan Anomali Lembaga Survei. Dia menuliskan, "Mengapa survei dan hasil nyata jauh berbeda?" Anomali prediksi dari lembaga survei terjadi karena warga mengubah pilihan di detik-detik terakhir. Saat survei mereka pilih partai O, saat mencoblos mereka memilih partai P.
Mengapa berubah? Ada faktor psikologis di mana saat disurvei, warga cenderung tertutup, mereka main aman saja. Selisih yang mencolok antara survei dengan pemilihan nyata di lapangan, juga bisa disebabkan oleh dinamika pemilih akibat gencarnya kampanye. Terjadi perubahan opini di masyarakat menit demi menit, khususnya di media sosial pada hari – hari terakhir jelang pencoblosan.
Lembaga survei kadang terburu nafsu untuk memprediksikan siapa pemenang Pemilu (Legislatif/Presiden), sehingga sering mengabaikan temuan-temuannya sendiri. Dalam survei selalu ditemukan adanya pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided vooters) atau pemilih yang akan mengubah-ubah dukungannya (swinging vooters). Tetapi lembaga survei kadang mengabaikan temuan ini dan tidak menyampaikan analisisnya kepada publik.
Nah, berdasarkan beberapa informasi diatas, mari kita lihat hasil beberapa lembaga survei yang bertolak belakang:
Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Merilis hasil survei di kantor LSI, Rawamangun, Jakarta timur, Rabu (4/6/2014) yang dilakukan di tujuh provinsi besar dari 33 propinsi di Indonesia. LSI mengidentifikasi 7 provinsi strategis yang akan menjadi wilayah pertarungan dan akan menentukan kemenangan. Ketujuh provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara.
Peneliti LSI, Rully Akbar menyebutkan, pasangan Prabowo -Hatta unggul di dua provinsi yakni DKI Jakarta dan Banten, sedangkan Jokowi-JK unggul di lima provinsi yakni Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Lembaga survei Cyrus Network. Merilis hasil survei pada haru Selasa (10/6/2014) di Menteng, Jakarta Pusat, menyebutkan elektabilitas Prabowo -Hatta Rajasa sebesar 41,1persen, dan elektabilitas duet Jokowi-Jusuf Kalla memiliki tingkat keterpilihan 53,6 persen. Kubu Prabowo-Hatta tertinggal sebesar 12,5 persen dari duet Jokowi-JK. Survei dilakukan selama kurun waktu 25-31 Mei 2014. Survei terbaru ini memiliki angka unidentified voters sekitar 5%.
Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis). Dari hasil survei yang diadakan sejak 6-12 Juni, elektabilitas pasangan Prabowo - Hatta mencapai 44,64 persen, sedangkan duet Jokowi-Jusuf Kalla 42,79 persen. Direktur Puskaptis, Husin Yazid di Jakarta mengumumkan, "Prabowo-Hatta unggul sekitar 1,67 persen. Data ini menunjukkan duet Prabowo-Hatta memasuki fase trend positif (naik) sekitar 5,36 persen. Sedangkan Jokowi-JK mulai stagnan dan cenderung masuk fase trend negatif (turun) sekitar 1,75 persen," katanya.
Prabowo unggul di Jawa, Sumatera, Bali dan NTT. Sedangkan Jokowi-JK unggul di Sulawesi, Kalimantan dan Papua-Maluku. Survei juga memperlihatkan Prabowo unggul di tiga daerah yakni Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan Jokowi unggul di Jakarta, Jawa Barat dan Yogyakarta.
Lembaga Survei Nasional (LSN). Hasil survei LSN yang dilaksanakan pada 1-8 Juni 2014 di 34 provinsi se-Indonesia, melibatkan 1.070 responden dengan tingkat kesalahan 3 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil survei menghasilkan, elektabilitas Prabowo-Hatta 46,3 persen dan 38,8 persen memilih Jokowi-JK. Sisanya 14,9 persen belum punya pilihan, dikatakan oleh Dipa Pradipta, peneliti LSN, saat menggelar jumpa pers di Le Meridien Hotel, Jakarta, Kamis, 12 Juni 2014.
Bahkan LSN berani memperkirakan pasangan Prabowo -Hatta bakal menang dalam pemilu presiden 2014. Perkiraan itu berdasarkan survei lembaga ini yang menyebut elektabilitas Prabowo-Hatta mengalahkan elektabilitas pesaingnya, yakni Jokowi-JK.
Analisis
Dari keempat lembaga survei tersebut terlihat bahwa ada dua lembaga yang menyebutkan pasangan Jokowi-JK lebih unggul, sementara dua lembaga survei lainnya mengeluarkan hasil survei dan menyebutkan pasangan Prabowo-Hatta yang lebih unggul. Apa yang terlihat dari hasil-hasil survei tersebut? Hasil survei adalah sebuah persepsi publik dimana sejak tahun 2004 mulai dikenalkan dalam pemilu dan pilpres langsung.
Penulis sejak tahun 2004 selalu menggunakan hasil survei untuk menganalisa elektabilitas baik parpol maupun pasangan capres/cawapres yang maju. Penulis terus memperhatikan dan mempelajari, memang ada beberapa hasil survei yang mengeluarkan hasil terlalu ekstrem, berbeda jauh dengan hasil survei lainnya. Nah, lembaga-lembaga survei banyak yang kemudian disewa untuk meneliti baik popularitas atau elektabilitas. Ada yang masih murni, independen, tetapi kemudian ada yang menjadi konsultan mereka yang menyewanya. Karena itu wajar adanya tuduhan lembaga itu membela yang bayar.
Nah, apabila kita melihat hasil tersebut diatas, apakah kita menjadi curiga diantara keempat lembaga tersebut sudah menjadi bagian tim sukses? Bisa dan sangat mungkin. Walaupun demikian, ada suatu celah, terlihat pasangan Prabowo-Hatta yang selama ini selalu jauh dibawah pasangan Jokowi-JK, kini menunjukkan trend naik mendekati dan bahkan berhasil mengatasi elektabilitas pesaingnya.
Nampaknya mesin parpol koalisi dari pihak Prabowo-Hatta benar-benar demikian serius bekerja. Parpol nasionalis dan parpol berbasis Islam di kubu ini bersatu menggalakkan pendukungnya untuk memenangkan persaingan. Apabila dinilai dari kekuatan dan jumlah parpol koalisi dan mesin parpol, kubu ini jelas unggul. Sementara koalisi dari kubu Jokowi-JK, kekuatan disandarkan kepada kader dan simpatisan PDIP, karena parpol koalisinya kurang terlalu kuat. Dapat dikatakan Nasdem sebagai parpol baru, Hanura posisinya sebagai parpol bawah dan PKB sulit mengharapkan dukungan penuh kaum nahdliyin, karena beberapa tokoh NU justru bergabung ke kubu Prabowo-Hatta.
Walau survei mengeluarkan hasil apapun, yang terpenting dari semuanya (kunci kemenangan pilpres) akan berada pada figur capres. Pada tahun 2014 penulis membuat ramalan, bahwa capres terkuat adalah Ibu Megawati, karena dalam dua pilpres beliau selalu menjadi runner up dan salah satu syarat yang sering diabaikan oleh kita, bahwa rakyat akan memilih pimpinan nasionalnya apabila dia diakui menjadi patron. Karena budaya paternalistik masih sangat kental di sini.
Menurut penulis, Bu Mega pada tahun 2014 ini sebenarnya satu-satunya tokoh yang diakui menjadi patron, dimana patron lainnya adalah SBY dan dipastikan tidak mungkin mencalonkan kembali. Sementara tokoh lainnya belum diakui sebagai patron. JK, ARB, Wiranto, Hatta bukanlah patron, terbukti pada pilpres 2009 yang berada di posisi satu SBY-Boediono (60,80 persen), dan posisi dua Mega-Prabowo (26,79 persen), sementara pasangan JK-Wiranto hanya berada di posisi tiga dan hanya mendapat dukungan 12,41 persen.
Jadi, pada pilpres 2009 itu yang kini muncul sebagai tokoh senior adalah Prabowo dan JK. Prabowo setelah bergabung dengan Mega pada pilpres 2009, kini muncul sebagai capres, sementara JK yang pada 2009 sebagai capres kini muncul sebagai cawapres. Karena itu tokoh yang dapat dikatakan agak memenuhi syarat sebagai patron adalah Prabowo. Oleh karena itu Prabowo terbukti kini lebih mampu maju sebagai capres dibandingkan ARB yang sudah mendeklarasikan sebagai capres. Nah, kini Prabowo bersaing dengan Jokowi sebagai capres. Kekuatan Jokowi terutama karena dia menjadi media darling sejak muncul sebagai cagub DKI Jakarta.
Ada sesuatu yang menarik dari Jokowi, "tampil beda" dengan istilah blusukan di Jakarta maka Jokowi menjadi tokoh rakyat yang diidolakan. Maka popularitasnya terus melambung ditambah dengan gayanya yang merakyat, simbol jujur. Nilai popularitas secara perlahan akan mengangkat elektabilitas. Karena itu maka selama ini elektabilitas Jokowi demikian melambung sejak pilkada hingga menjelang pilpres.
Nah, begitu mendekati pilpres dengan segala tahapan-tahapannya, baik kampanye maupun debat, maka konstituen akan kembali kepada rumus dasar dan budaya yang berlaku. Bagian terberat Jokowi dalam pilpres adalah membuktikan bahwa dia kini adalah patron, mampu menggantikan Ibu Megawati sebagai patron. Dia akan tumbang bila gagal, atau dia berhasil dan mampu menumbangkan Prabowo. Seberapa besar si tokoh (Prabowo dan Jokowi) diakui sebagai patron? Disinilah persaingan utamanya.
Beberapa pemilih parpol belum tentu akan taat kepada arahan elit parpolnya. Mereka akan memilih tokoh sesuai dengan apa yang disimpulkannya, budaya paternalistik akan sangat besar perannya disini. Mesin parpol memang diakui besar pengaruhnya dalam pilpres, tetapi media juga perannya sangat besar sehingga disebut sebagai silent revolution yang mengalahkan pengaruh jejaring partai.
Para konstituen sudah menetapkan pilihannya diantara nomor satu atau dua, walaupun demikian yang jelas masih ada pemilih yang ragu-ragu menentukan pilihannya. Kunci menarik mereka hanyalah pada kharisma dan performance si capres pada saat debat. Jadi debat lebih menentukan para undecided voters itu dalam menentukan pilihannya. Kekuatan pokoknya memilih siapa kini sudah mengkristal dan sulit diubah. Mereka yang faham sebenarnya sudah dapat bayangan siapa capres yang akan unggul. Hanya kita tidak boleh mendahului Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita hanya berdoa yang menang nanti memang ditentukanNya dalam memimpin Indonesia.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen. www.ramalanintelijen.net