Hati-Hati dengan Prabowo, Elektabilitasnya Terus Naik
11 May 2014 | 10:17 pm | Dilihat : 777
Prabowo dan Jokowi (Sumber : m.jakartapress.com)
Akhirnya KPU berhasil memenuhi jadwal pemilu legislatif yang harus mengumumkan perolehan suara parpol peserta pemilu pada tanggal 9 Mei 2014. Tepat pada tanggal 9 Mei 2014, Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan keputusan NOMOR: 412/Kpts/KPU/ TAHUN 2014 yang menetapkan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014 yang memenuhi dan tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sah Partai Politik Peserta Pemilihan Umum secara nasional. Total suara sah partai politik pada pemilu 2014 ini berjumlah 124.972.491.
Dari lampiran keputusan tersebut, Partai Nasdem mendapat presentase suara nasional 6,72%, PKB 9,04%, PKS 6,79%, PDIP 18,95%, Partai Golkar 14,75%, Partai Gerindra 11,81%, Partai Demokrat 10,19%, PAN 7,59%, PPP 6,53%, Partai Hanura 5,26 %, PBB 1,46%, PKPI 0,91%.
Dari 12 parpol, secara resmi KPU telah menetapkan, bahwa parpol yang lolos dan memenuhi syarat ketentuan ambang batas ke DPR (3,5%) hanya 10 parpol. Untuk PBB dan PKPI tidak memenuhi syarat.
Apabila dibandingkan dengan pemilu 2009, parpol yang mengikuti pemilu adalah Nasdem (2009;-,2014; 6,72%), PKB (2009; 4,94%, 2014; 9,04%), PKS (2009; 7,88%, 2014; 6,79%), PDIP (2009; 14,03%, 2014; 18,95%), Partai Golkar (2009; 14,45%, 2014; 14,75%), Partai Gerindra (2009; 4,46%, 2014; 11,81%), Partai Demokrat (2009; 20,85%, 2014; 10,19%), PAN (2009; 6,01%,2014; 7,59%), PPP (2009; 5,32%, 2014; 6,53%), Partai Hanura (2009; 3,77%, 2014; 5,26%), PBB (2009; 1,79%, 2014; 1,46%), PKPI (2009; 0,90%, 2014; 0,91%).
Dari data-data tersebut, terlihat yang menonjol adalah Nasdem, baru pertama ikut pemilu sudah mendapat 6,72%, jelas peran Ketua Umumnya Surya Paloh yang memiliki media sangat besar. PKB mengalami kenaikan cukup signifikan 50% dari hasil pileg tahun 2009, atau 5,10% suara nasional. Jelas disini peran dan strategi Cak Imin yang cerdik memainkan kartu Rhoma Irama, Mahfud MD dan JK yang digadang-gadang sebagai capres, serta pendekatan aktif ke kaum Nahdliyin.
Sementara PKS mengalami penurunan dibanding pemilu 2009, sebanyak 1,09% suara nasional, dimaklumi karena adanya kasus keterlibatan Mantan Ketua Umumnya Luthfi Hasan dalam kasus korupsi. PDIP mengalami kenaikan 4,92 % suara nasional karena keteguhan Bu Mega, selama dua pemilu menjaga PDIP sebagai oposisi. Partai Golkar stagnan hanya naik 0,30% suara nasional, dinilai gagal dalam strateginya.
Partai Gerindra mengalami kenaikan luar biasa 6,35% suara nasional, hampir tiga kali lipat perolehan suara pemilu 2009. Kenaikan Gerindra terutama peran dan daya tarik Prabowo sebagai Ketua Dewan Pembina, disamping aktifnya mesin partai yang diawaki kaum muda-muda. Parpol ini paling banyak diminati para purnawirawan TNI.
PAN mengalami kenaikan 1,58% suara nasional, sejak pemilu 2004 PAN adalah parpol yang stabil. PPP sebagai parpol lama hanya mengalami kenaikan 1,21% suara, dam kini muncul kemelut diantara para pengurusnya. Sementara Partai Hanura hanya mengalami kenaikan 1,49% suara nasional. Walau Hanura sudah mendapat vitamin Hari Tanoe, nampaknya konstituen kurang berminat. Harri Tanoe kini menjadi tokoh yang disalahkan karena kecilnya perolehan suara Hanura. Untuk PBB dan PKPI, sejak sebelum pemilu, keduanya diramal tidak akan lolos ke Senayan.
Nah, dari 12 parpol tersebut, yang menonjol adalah PDIP, Gerindra dan PKB. Ketiganya mengalami kenaikan cukup besar dibandingkan pemilu 2009. PDIP sudah mempunyai capres Jokowi, dan capres Gerindra adalah Prabowo, kedua parpol ini nasionalis. Sementara PKB kini menjadi parpol yang disukai karena berbasis masa Islam dan suaranya naik cukup tinggi.
Mengapa penulis menyebut para pesaing harus hati-hati dengan Prabowo? Gerindra mengalami kenaikan luar biasa, 6,35 % suara nasional. Berarti ada sesuatu yang harus dicermati oleh parpol lawannya. Para elit politik sangat memahami bahwa kemajuan dan kebesaran sebuah parpol banyak dipengaruhi oleh kharisma serta daya tarik tokoh utama di parpol tersebut. Partai Demokrat meledak dari 7,45% pada pemilu 2004 menjadi 20,85% pada pemilu 2009, ini hanya karena pengaruh SBY.
Gerindra meledak karena peran Prabowo sebagai tokoh sentral, banyak menyampaikan aspirasi serta visi misi, janji dan banyak hal lain yang sebenarnya berbahaya tetapi karena kurang difahami masyarakat yang sederhana, akhirnya dia justru mendapat simpati.
Sebagai contoh Prabowo pintar tapi berbahaya, Pak SBY menyatakan dalam wawancara yang diunggah di Youtube, Rabu (7/5/2014), dia akan mendukung calon presiden yang bisa memberikan perubahan dan janji-janji yang tidak muluk. Menurut dia, visi misi dan juga janji politik sangat penting dalam mempertimbangkan pilihan terhadap calon presiden. SBY melihat, saat ini janji-janji calon presiden ada yang sangat berbahaya.
“Kalau didengarkan janji-janji kampanye sekarang menurut saya ada yang berbahaya. Misalnya, kalau seorang capres ada yang mengatakan, kalau saya jadi presiden, akan saya nasionalisasi semua aset, diambil alih semuanya. Nanti yang perjanjiannya sudah di era Bung Karno dan Pak Harto dan sekarang, hari ini dinasionalisasi aset asing di Indonesia, besok kita akan dituntut di arbitrase internasional. Lusa kita akan kalah. Kalahnya akan memorak-porandakan perekonomian kita, dampaknnya sangat dahsyat,” kata SBY.
Oleh karena itu, SBY menyatakan, jika ada calon presiden yang bersikukuh akan melakukan nasionalisasi, maka dia tidak akan memilih capres itu. Nah, yang dikatakan SBY itu nampaknya ditujukan kepada Capres Prabowo. Tetapi menurut Ketua Umum Gerindra Suhardi, sindiran itu bukan menyerang capresnya. Dikatakannya, salah satu visi Prabowo untuk menasionalisasi perusahaan asing adalah bagian dari niat Partai Gerindra agar perusahaan-perusahaan itu bersikap adil.
Dari hasil survei SMRC (20-24 April 2014), apabila disimulasikan tiga capres yang akan bertanding, Jokowi elektabilitasnya 47,1%, Prabowo 32,1%, Aburizal 9,2%, yang menjawab belum tahu turun menjadi 11,5%. Apabila diadu antara Jokowi vs Prabowo, maka elektabilitas Jokowi 51,6% dan Prabowo 35,7%, yang menyatakan belum tahu 12,7%. Perbedaan diantara keduanya 15,9%.
Namun, bila diukur tren head to head antara mereka berdua, dalam empat bulan (Desember 2013-April 2014), elektabilitas Jokowi cenderung menurun, dari 62% menjadi 52%. Kebalikan dari itu, Prabowo justru punya tren positif, dari 23% ke 36%. Waktu masih dua bulan lagi, Prabowo masih bisa berbuat banyak untuk menarik simpati publik. Dalam 4 bulan Prabowo naik 13%, sementara Jokowi turun 10%. artinya selisi perbedaan elektabilitas menjadi berkurang 23%. Apabila trend terus berlanjut secara konsisten, maka dalam sisa waktu dua bulan kemungkinan perbedaan hanya berkisan 5%, sebuah angka yang rawan bagi Jokowi.
Dimanakah letak kuncinya? Beberapa hasil survei dan pengamat menyatakan bahwa siapa yang akan dipilih sebagai cawapres akan menjadi faktor yang ikut menentukan kemenangan. Menurut penulis, faktor gerak langkah, sikap, janji perubahan serta penonjolan citra dan kharisma capres-lah yang akan sangat menentukan kemenangan. Dalam hitungan kasar, walau nanti akan muncul koalisi baru dan muncul pasangan capres-cawapres baru, persaingan hanya akan berada pada dua capres terkuat yaitu Jokowi dengan Prabow0.
Walau secara psikologis penulis masih sangat percaya akan sulit mengalahkan Jokowi, tetapi tim pemenangannya jangan memandang enteng Prabowo. Dari sejarah pilpres 2004, SBY dengan parpol Demokrat hanya memperoleh suara 7,45%, sementara Bu Mega dengan parpol PDIP sudah memperoleh 18,53%, dimana SBY yang menang. Ini berarti besarnya suara parpol tidak mampu menyelamatkan capresnya. Berarti elektabilitas capres harus diangkat setingi-tingginya agar terus naik. Semua ini lebih tergantung kepada si capres itu sendiri.
Prabowo penulis nilai masih sangat berbahaya bagi Jokowi karena dia merupakan antitesa SBY. Banyak yang berpandangan bahwa disaat kondisi seperti saat ini, Indonesia membutuhkan pemimpin yang berani, tegas dan keras. Nah, Prabowo menjawab ini dengan beberapa visi yang lebih nasionalis, intinya akan merubah kondisi menuju sejahtera dan tidak dibohongi oleh asing. Rakyat kecil jelas sangat tertarik, karena janji perubahan adalah janji surga. Disinilah Jokowi harus menghitung dengan cermat.
Oleh : Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net