PDIP Sebaiknya Menghitung Benar Menghadapi Koalisi Gerindra-Golkar

7 May 2014 | 1:56 am | Dilihat : 546

prabowo-jokowi-aburizal-bakrie

Jokowi kini dijepit Prabowo dan ARB (foto: tribunnews.com)

Walau hasil pemilu legislatif belum diumumkan oleh KPU, dengan perkiraan perolehan kursi di DPR, dinamika koalisi semakin mengerucut dan menampakkan bentuk yang semakin menjadi kenyataan. Yang sudah pasti Partai Nasdem telah menyatakan berkoalisi dengan PDIP. Surya Paloh menyatakan siap akan mengikuti ritme dan keputusan PDIP, dan jelas keinginan Bu Mega dan Jokowi. Hanya dengan Nasdem saja perkiraan sementara dari jumlah kursi di DPR, capres Jokowi sudah memenuhi syarat UU Pemilu Pilpres, 20 persen kursi DPR.

Dalam kondisi ganjang-ganjing koalisi, Partai Gerindra setelah mendapat tentangan elit PPP terhadap pernyataan koalisi dari Ketua Umum PPP, nampaknya koalisi Gerindra-PPP telah masuk angin. Parpol lain  yang memberikan indikasi merapat ke Prabowo adalah PKS, walau belum resmi. Mendadak kini Aburizal Bakrie (ARB) yang akrab dipanggil Ical menunjukkan niat siap menjadi cawapres dari Prabowo.

Hari Senin kemarin, ARB menemui Prabowo di kediamannya di Hambalang, Bogor, ARB menyatakan "Saya enggak keberatan (jadi cawapres). Pak Prabowo juga enggak keberatan," katanya. Ditegaskannya, bahwa keduanya sudah menemukan kesepakatan mengenai sikap politik dalam menghadapi pemilu presiden.  "Mau di nomor satu, nomor dua, enggak masalah. Posisi presiden dan wakil presiden hanya instrumen untuk mewujudkan kebaikan bangsa, kebaikan negara," kata Ical.

Keputusan ARB nampaknya merupakan saran dari beberapa elit Golkar, yang realistis melihat peluang yang kecil dibandingkan cawapres lainnya, Jokowi dan Prabowo. Jelas ARB tidak masuk radar PDIP sebagai cawapres Jokowi, karena itu peluang bersama Prabowo merupakan kesempatan menang, walau hanya menjadi cawapres.

Menurut SMRC, baik Prabowo maupun Jokowi cenderung mencerminkan model koalisi popular, di mana keputusan partai mereka mencerminkan aspirasi konstituen partai mereka masing- masing.  Sebaliknya, pencapresan Aburizal dan upaya koalisi yang dibangun untuk mendukungnya sebagai capres lebih mencerminkan model koalisi elitis. Keputusan elite partai tidak mencerminkan keinginan konstituen paling banyak dari partai yang akan mendukungnya. Hanya kepentingan elit semata.

Bergabungnya ARB ke kubu Prabowo kini merupakan sesuatu yang harus dihitung betul oleh pesaing terkuatnya yaitu Jokowi. Elit PDIP harus berhitung dengan teliti, karena lawannya (Golkar dan Gerindra) jelas  merupakan lawan cukup berat, peraih suara terbanyak kedua dan ketiga. Mari kita simak dengan menggunakan dasar survey dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terbaru.

SMRC  pada HARI Minggu (4/5/2014) di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta merilis hasil survei tentang Koalisi Capres, Elite vs Massa Pemilih. Survei yang dilakukan pada 20-24 April 2014, menggunakan sampel 2040 responden, dengan margin of error  2,2% dan tingkat kepercayaan pada 95%.

Disatu sisi survei menunjukkan  bahwa pemilih Jokowi tersebar hampir merata di semua partai.  Jokowi lebih didukung oleh pemilih lintas partai.  Data pemilih menunjukkan Jokowi didukung pemilih PKPI (89%), PDIP (78%), Nasdem (64%), PBB (50%), Demokrat (47%), PKB (44%), PAN (42%), PPP (40%), dan Golkar (38%). Sementara data survei menunjukkan bahwa basis pemilih terbesar Aburizal Bakrie adalah Partai Golkar (23%), PPP (15%), dan PBB (14%). Dukungan terhadap Prabowo paling besar datang dari Gerindra (73%), Hanura (50%), dan PKS (45%).

SMRC juga menyebutkan, partai yang memimpin koalisi adalah PDIP yang mengusung Joko Widodo, Golkar pengusung Aburizal Bakrie, Gerindra dengan Prabowo sebagai capres, Demokrat (Dahlan Iskan) dan atau PKB (Mafhud MD).

Ketika lima nama tersebut diadu, maka elektabilitas Jokowi akan memimpin dengan dukungan 44,3%, Prabowo 28,4%, Aburizal 9,0%, Dahlan Iskan 3,1%, Mahfud MD 1,7%, 13,4% sisanya belum tahu. Namun, jika dikerucutkan hanya pada tiga nama maka Jokowi akan memperoleh 47,1%, Prabowo 32,1%, Aburizal 9,2%, yang menjawab belum tahu turun menjadi 11,5%.

Ketika disimulasikan kepada dua nama, Jokowi vs Prabowo, maka elektabilitas Jokowi  51,6% dan Prabowo 35,7%, yang menyatakan belum tahu  12,7%. Namun, bila diukur tren head to head antara mereka berdua, dalam empat bulan (Desember 2013-April 2014), elektabilitas Jokowi cenderung menurun, dari 62% menjadi 52%. Kebalikan dari itu, Prabowo justru punya tren positif, dari 23% ke 36%.

Berdasar survei SMRC ini, baru koalisi PDIP dan Nasdem yang mencerminkan aspirasi pemilih mereka. Jika elit PPP dan PAN memutuskan untuk mendukung Prabowo, maka keputusan tersebut adalah keputusan elitis yang tak mencerminkan aspirasi konstituen PPP dan PAN. Keputusan yang hanya merupakan kepentingan elit semata.

Bagaimana dengan posisi  Jokowi setelah ARB bersedia menjadi cawapres dari Prabowo? SMRC menyatakan, dalam kondisi menurunnya tren elektabilitas Jokowi dalam empat bulan terakhir, sebelum ARB memberikan indikasi bergabung dengan Prabowo, Jokowi bisa kalah oleh Prabowo jika salah memilih pasangan dan salah dalam berstrategi kampanye. Ini point terpenting dari survei SMRC, Prabowo terus menggempur disegala lini dan nampaknya selangkah demi selangkah mampu meyakinkan masyarakat dalam menentukan pilihannya, siapa pasangan ideal capres dan cawapres yang akan dipilih masyarakat.

Yang perlu diingat oleh elit serta tim sukses PDIP, walaupun terdapat pendukung Jokowi yang tersebar dibeberapa parpol, pengalaman pahit PDIP pada pilpres 1999 patut selalu diingat. PDIP saat pemilu legislatif memperoleh 33,74 persen suara nasional atau 33,12 persen kursi di DPR. Tetapi saat itu yang menang dalam pemilihan (di DPR) adalah Gus Dur dan hampir saja Bu Mega tidak menjadi Presiden, setelah elit PDIP patah arang. Saat itu PDIP diselamatkan oleh Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil (Alm) yang berjibaku dengan mencalonkan Bu Mega menjadi cawapres.

Walau kasus tahun 1999 merupakan pilpres tidak langsung oleh rakyat dan hanya dilaksanakan diantara anggota DPR, kejelian para elit PDIP penulis nilai agak kurang tajam. Nah, kini dalam menghadapi pasangan Prabowo-ARB, maka pemilihan cawapres Jokowi jelas harus dihitung dengan sangat cermat. Waktu semakin sempit menuju ke pendaftaran, sebaiknya dasar yang dipergunakan tetap dengan hitungan survey. Karena hanya itulah alat terbaik saat ini. Walaupun beberapa lembaga survey gagal dalam membuat ramalan dalam pileg.

Kekuatan Jokowi sebaiknya terus dimaksimalkan, dalam mengadakan pertemuan, kemungkinan munculnya faktor negatif sebaiknya dihindari. Bagi pemilih pada umumnya, kualitas personal Jokowi setidaknya lebih mencerminkan karakteristik personal rakyat Indonesia, "bukan dari kelas ningrat, aristokrat, atau darah biru politik." Jokowi disukai karena dia dinilai sebagai bagian dari rakyat.  Jokowi tidak punya rekam jejak pernah melakukan kejahatan atau perbuatan tercela. Kualitas lain  seperti penguasaannya dalam bidang ekonomi makro, penataan penegakan hukum, dan pergaulan di kancah politik dunia sebaiknya dapat ditutup oleh cawapresnya.

Tiap kandidat pasti mempunyai kekurangan serta kelemahan. Menurut ilmu intelijen, sebuah kelemahan bisa merupakan kerawanan. Dan kerawanan apabila dieksploitir akan dapat menyebabkan kelumpuhan, baik sistem, citra maupun nilai sosok di mata konstituen. Kita akan melihat seberapa ampuh strategi kedua kubu yang semakin mendekati bentuk nyata. Jokowi kini mulai banyak diserang black campaign.

Sebuah masukan untuk memenangkan persaingan penulis sering pergunakan dengan teori perang dari ahli strategi perang Tiongkok Sun Tzu. Cuplikan karya yang menarik dari Sun Tzu, diantaranya menyebutkan, barang siapa yang memiliki pengetahuan mendalam tentang dirinya sendiri dan musuh, dia ditakdirkan untuk memenangi pertempuran.

Barang siapa memahami dirinya sendiri tetapi tidak memahami musuhnya, dia hanya memiliki peluang sama besar untuk menang. Barang siapa tidak memahami dirinya sendiri dan musuhnya, dia ditakdirkan untuk kalah dalam pertempuran. Ditegaskan oleh Sun Tzu, "Kenalilah musuh Anda, kenalilah dirimu, dan kemenangan Anda tidak akan terancam."

Tim Jokowi sebaiknya waspada, Prabowo sebagai purnawirawan TNI sangat faham dengan teori ini, karena itu dia setuju menerima ARB menjadi wakilnya. Dia faham bahwa kemungkinan dia akan kalah melawan Jokowi, peluangnya lebih kecil. Karena itu semua strategi akan dimainkannya, ini adalah wilayah politik, kadang-kadang politik suka juga menghalalkan cara.  Kata mbah saya dulu "waspada Mas."

Oleh : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net

This entry was posted in Politik. Bookmark the permalink.