Antara Ramalan Intelijen Presiden 2014 dan Jokowi
29 March 2014 | 6:49 am | Dilihat : 13404
Pada tanggal 15 November 2011 penulis menyusun sebuah artikel dengan judul "Ramalan Intelijen dan Ramalan Jayabaya Presiden 2014," (http://ramalanintelijen.net/?p=4315), yang akhirnya menyimpulkan Ibu Megawati Soekarnoputri yang akan menjadi presiden pada pilpres 2014 menggantikan SBY.
Secara mengejutkan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati pada hari Jumat (14/3/2014) telah memberikan mandat kepada Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon Presiden 2014. Puan membacakan mandat itu didampingi Sekjen PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo. Pembacaan mandat kepada Jokowi sebagai capres dilakukan pada Jumat (14/3/2014) di Kantor DPP PDIP Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Mandat ini tertuang dalam Perintah Harian Ketua Umum DPP PDI Perjuangan
Setelah mendapat mandat tersebut, Jokowi yang sedang blusukan di Jakarta Utara menyatakan, "Saya telah mendapatkan mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk jadi capres. Dengan mengucap bismillah, saya siap melaksanakan," katanya di Rumah Si Pitung, Marunda, Jakarta Utara, Jumat (14/3/2014).
Pengumuman Ketua Umum PDIP dilakukan dengan sederhana dan disebarkan melalui kaun twitter resmi PDIP, tetapi efeknya bak petir yang menggelegar. Banyak pihak yang tidak memperkirakan pengumuman tersebut, karena Bu Mega selama ini menegaskan bahwa capres PDIP akan diumumkan setelah berlangsungnya pileg 9 April 2014.
Penulis menjadi teringat saat berbincang dengan Ibu Mega pada tahun 2011 dan menjelaskan artikel tentang Ramalan Intelijen Presiden 2014 adalah Megawati, Bu Mega mengatakan ada faktor "X" beliau tidak menjadi presiden. Penulis hanya mengatakan faktor "X" tersebut adalah apabila Bu Mega tidak dicalonkan PDIP sebagai capres. Sedangkan PDIP secara penuh sebenarnya sudah memberikan mandatnya kepada Ketua Umum untuk menetapkan siapa capresnya. Nah kini ternyata Jokowi yang diajukan menjadi capres. Penulis kemudian bertanya di dalam hati nampaknya Bu Mega sudah sejak 2011 memahami faktor X tersebut.
Bisa difahami bahwa berpolitik diantaranya mengadu strategi kemenangan, dan pada tahun 2011 ternyata Bu Mega sudah mendahului parpol lainnya dua dan bahkan tiga langkah dimuka. Semua tidak ada yang memperkirakan bahwa PDIP akan memunculkan sosok Jokowi sebagai kader yang sederhana, bermula dari Walikota Solo, beranjak menjadi Gubernur DKI dan kini tampil percaya diri dan menakutkan kandidat parpol lain sebagai capres 2014.
Terlepas dari semua gosip, rumors dibelakang ini semua, memang apabila ini sebuah strategi clandestine mirip operasi intelijen yang tertata demikian sempurna, para konstituen telah berhasil tersihir dengan langkah conditioning "biarkan mereka berfikir dan biarkan mereka memutuskan."
Nah, kini Jokowi nampaknya mampu mementahkan para capres lainnya dalam soal popularitas dan elektabilitas. Beberapa lembaga survei bahkan berani menyatakan pilpres hanya akan satu putaran, dan Jokowi efek akan menyebabkan kurang dari 10 parpol yang akan lolos ke Senayan, karena suaranya dibawah ketetapan Parliamentary threshold sebesar 3,5 persen.
Direktur pol-tracking institute Hanta Yuda menyatakan di Cikini,Sabtu (15/3/2014), "Hampir semua partai tidak happy dengan pencapresan jokowi, kalau PDI-P mengalami penambahan suara, partai-partai lain terancam mengalami penurunan," katanya.
Hasil survei terbaru Charta Politika menyatakan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memimpin perolehan elektabilitas dengan 21,2 persen karena didukung oleh pengaruh tokoh atau figur Joko Widodo. Partai Golkar menyusul 16,4 persen dan Partai Gerindra 12 persen. Posisi Partai Demokrat di papan tengah dengan 8 persen, PKB 7,2 persen dan PPP 5,1 persen.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menjelaskan, "Sebanyak 57,8 persen mengaku memilih PDIP karena tertarik dengan figur Jokowi, naik dari survei sebelumnya pada Desember 2013 di mana 38,1 persen yang mengaku memilih karena Jokowi." Sementara itu, sebanyak 47,9 persen pemilih mengaku memilih Gerindra karena tertarik pada figur Prabowo Subianto. Demikian juga pemilih Partai Demokrat masih menyukai SBY (38,2 persen).
Perkembangan tersebut jelas membuat persaingan antar capres lebih mencuat dibandingkan persaingan antar parpol. Prabowo sebagai capres Partai Gerindra nampak terus melakukan serangan kepada Jokowi. Prabowo yang penulis kenal keras dan suka marah ini saat ditanya kriteria cawapresnya, kembali menyindir sosok Jokowi. "Kita berharap pada kebersihan kejujuran, dan akhlak pemimpin yang selalu pegang teguh janji. Ucapannya bisa dipegang. Jangan bicara A tapi tidak dilaksanakan. Saya kira berbahaya jika pemimpin Indonesia mencla-mencle. Satu hari bilang A lalu bilang B, jam 2 tahu lalu jam 3 tempe," katanya.
Prabowo terus menggunakan strategi menyerang, baik kepada Bu Mega tentang perjanjian Batuitulis ataupun menyebut Jokowi sebagai boneka. Apakah ini sebuah strategi atau dikarenakan sudah tidak ada harapan menang? Tetapi walaupun demikian, nampaknya Partai Gerindra yang banyak diawaki kader muda menjadi bersemangat karena mempunyai pemimpin yang nekat dan berani menyerang, bahkan setelah Jokowi, sosok Prabowo diulas juga di koran utama AS Washington Post.
Sosok ARB (Aburizal Bakrie) juga diserang dengan berita berlibur dan berpelukan dengan Marcela Zalianti yang cantik. Selain itu pada Partai Golkar, nampak beberapa tokoh menginginkan pencapresan ARB ditinjau, bahkan Akbar Tanjung juga mendeklarasikan diri.
Bagaimana dengan koalisi parpol?Partai papan atas nampaknya hanya dua (PDIP dan Golkar) dan keduanya akan membangun koalisi sendiri. Sementara koalisi lainnya diperkirakan akan coba dibangun oleh Partai Gerindra. Gerindra jelas tidak akan berkoalisi dengan Partai Demokrat dan PDIP. Kemampuan koalisi Gerindra hanya dengan beberapa parpol papan tengah lainnya. PDIP merupakan parpol paling mungkin di dekati Golkar atau Demokrat serta parpol berbasis Islam. Hanya itulah perkiraan koalisi.
Kembali membahas ramalan intelijen, walaupun sejak 2011 percaya Bu Mega yang akan menjadi capres, dengan penetapan Jokowi sebagai capres, semua bisa saja terjadi. Sebuah ramalan tidak selamanya akurat 100 persen, demikian yang terjadi pada ramalan intelijen. Perkembangan situasi dapat berubah sewaktu-waktu, terlebih di dunia politik yang sarat dengan kepentingan. Apabila Tuhan memang menghendaki, Indonesia akan mempuyai Presiden yang bernama Joko Widodo pada tahun ini. Bahkan seorang rekan penulis sesama analis intelijenberani menyatakan mengatakan bahwa pilpres sudah selesai.
Walaupun demikian, dengan keyakinan kekuatan daya tarik Jokowi baik popularitas dan elektabilitasnya, PDIP tetap harus waspada. PDIP sebaiknya tetap berkaca pada pemilu tahun 1999, sebagai pemenang pemilu legislatif tidak berhasil menjadikan Bu Mega menjadi Presiden, hanya menjadi wakil presiden, itupun dengan upaya serta strategi politik seorang Matori Abdul Djalil (Alm) yang saat itu Ketua PKB.
Kita akan melihat beberapa hari mendatang, perkembangan berita politik yang tumpang tindih dengan pemberitaan hilangnya pesawat Malaysia Airlines MH370. Yang penting masyarakat bersemangat menyukseskan pemilu dan bersama-sama menjaga keamanan, tidak perlu kisruh. Jangan main curang, karena kini jaman transparansi, sehingga apabila terbongkar, konsekwensinya akan berat dikemudian hari.
Oleh : Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net